Kuliah Itu Penting, tapi Kenapa Biayanya Bikin Genting?

Di tengah huru-hara pro-kontra Citayam Fashion Week, ada Roy yang menolak beasiswa dari Sandiaga Uno. Alasannya ia ingin lebih fokus ‘ngonten’ untuk membantu orangtuanya. Tentu banyak yang tidak setuju dengan keputusan Roy. Bagaimana tidak, pepatah kuliah sebagai tiket emas menuju kelas menengah masih dipegang erat. 

 

Meskipun begitu, keputusan Roy sebetulnya bukan keputusan yang asing. Roy hanyalah satu dari sekian ribu pelajar yang lebih memilih bekerja dibanding kuliah. Data yang dikeluarkan oleh Jabatan Perangkaan Malaysia menunjukkan 72,1% pelajar yang lulus Sijil Pelajaran Malaysia (semacam UN SMA-nya Malaysia) tidak mau kuliah. Pemerintah Malaysia menuduh influencer sebagai biang kerok. Mereka dianggap memberikan contoh buruk: sukses tapi tidak kuliah.  

 

Hasil survei ini membuat berang banyak orang. Salah satu dosen universitas swasta negeri jiran bahkan menulis op-ed yang intinya tak terima anak-anak muda Malaysia memilih menjadi influencer daripada kuliah. Influencer, tulisnya, membuat realitas palsu dimana pengikut mereka juga bisa sukses seperti mereka.

 

Dibalik semua keributan ini, ada pertanyaan yang lebih penting untuk dijawab: masih pentingkah kuliah?

 

Untuk Kuliah Atau Tidak Kuliah

 

Nilai kuliah seolah terus diremehkan oleh para motivator. Mereka akan menunjuk Steve Jobs, Bill Gates, dan segudang tokoh sukses lainnya sebagai contoh bahwa kuliah tidak lagi relevan jika kita mau sukses. Meskipun contoh mereka buruk—Steve Jobs dan Bill Gates bisa sesukses itu karena bantuan otak encer sekaligus koneksi dan kekayaan orangtua—penelitian yang ada menunjukkan titel sarjana masih membawa keuntungan. Secara garis besar, lulusan universitas mendapatkan gaji bulanan yang lebih tinggi dibandingkan lulusan SMA atau lebih rendah. Hal inilah yang disebut college earning premium. 

 

College earning premium (CEP) sendiri dihitung dari perbedaan rasio gaji per jam antara lulusan S1 vs lulusan SMA. Penelitian yang dilakukan oleh Winters (2020) menunjukkan lulusan S1 Amerika Serikat memiliki rata-rata pendapatan 84,7% lebih tinggi dibandingkan lulusan SMA. Perbedaan pendapatan ini cukup tinggi, mengingat lulusan D3 hanya memiliki rata-rata pendapatan 19,1% lebih tinggi dari rata-rata pendapatan SMA. 

 

Tren yang sama juga bisa dilihat di pendidikan Indonesia. Data BPS per Februari 2022 menunjukkan lulusan universitas yang bekerja 35-44 jam/minggu rata-rata gaji sebesar Rp4.931.558/bulan. Sedangkan lulusan SMA dengan jam kerja sama mendapatkan Rp3.194.695 dan SMK mendapatkan Rp3.214.597. Perbedaan pendapatan ini semakin tinggi di kalangan yang bekerja di atas 45 jam/minggu, dengan pekerja lulusan universitas mendapatkan kenaikan gaji yang lebih tinggi dibanding pekerja SMA/SMK. 

 

Perbedaan gaji yang mencolok ini membuat bangku perkuliahan masih menjadi tiket emas menuju kehidupan kelas menengah. Sayangnya, hanya 38% pelajar Indonesia bisa melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah. Permasalahan ekonomi dan akses masih menjadi alasan utamanya. Banyak yang tidak bisa membayar biaya kuliah dan kesulitan mengakses universitas karena jarak yang jauh dari tempat tinggal. Masalahnya, keluarga para pelajar ini hanya bisa memilih salah satunya–biaya kuliah saja atau biaya hidup selama merantau. 

 

Tentunya ini masalah yang serius, mengingat universitas Indonesia masih terkonsentrasi di pulau Jawa. Tak hanya itu, permasalahan ekonomi seperti uang kuliah tunggal (UKT) alias biaya kuliah yang terus naik tiap tahunnya serta tuntutan anak untuk menjadi pemenuh kebutuhan keluarga setelah lulus SMA. 

 

Membongkar Populasi Mahasiswa Indonesia

 

Meski CEP terlihat menggiurkan, hanya sedikit yang bisa merasakannya. Data dari BPS (2021) menunjukkan hanya 9,67% penduduk Indonesia—dengan breakdown 13,03% berdomisili di perkotaan dan 5,17% berdomisili di pedesaan—yang merupakan lulusan universitas. Penduduk disabilitas memiliki capaian pendidikan yang jauh lebih rendah dibanding non-disabilitas, dengan 4,54% penduduk disabilitas yang berhasil lulus kuliah. Tandanya, perguruan tinggi belum inklusif, baik bagi penduduk berpenghasilan cekak maupun untuk difabel. 

 

Itu baru demografinya. Bagaimana dengan kemampuan finansial para orangtua?

 

Survei yang dilakukan Kompas menunjukkan mayoritas orangtua Indonesia menganggap kuliah mahal. Bahkan perguruan tinggi negeri (PTN) yang sering dianggap lebih terjangkau dibanding perguruan tinggi swasta (PTS) dianggap mahal oleh 62,4% responden. Ini tak mencengangkan mengingat UKT terus naik tiap tahunnya. Sebagai gambaran, saat saya kuliah di UGM tahun 2015, kelompok UKT hanya ada terbatas di 6 kelompok. Sekarang? Beranak menjadi 8 kelompok.

 

Kalau ini dibiarkan terus, bukan tak mungkin bangku kuliah semakin mustahil untuk dicapai. Kompas membuat simulasi kenaikan biaya kuliah vs pendapatan dan tabungan orangtua yang lulusan SMA maupun S1. Hasilnya? Lulusan SMA yang bekerja dari tahun 2013-2040 hanya bisa mengumpulkan Rp 177,2 juta. Sedangkan lulusan universitas bisa mengumpulkan Rp 299,2 juta. Terlihat besar, tapi perlu dicatat kalau kuliah 8 semester membutuhkan biaya… Rp 430 juta. 

 

Melihat angka biaya yang mahal dan terus-terusan naik, maka tak mengherankan kalau mayoritas orangtua Indonesia meminta anaknya untuk berkuliah di jurusan-jurusan yang terlihat “menjanjikan” seperti Teknik, Keguruan, Kedokteran, dan Hukum. Memang jurusan ini cukup mahal, tapi dianggap bisa “mengembalikan modal” lebih cepat dibanding jurusan-jurusan lain yang dianggap tidak jelas masa depannya.

 

Student Loan, Sebuah Solusi?

 

Kalau besaran angka UKT tidak diredam, bisa saja kemungkinan angka pelajar yang bisa menikmati bangku perkuliahan makin sedikit. Memang selalu ada opsi untuk meminjam atau bahkan mengimplementasikan skema student loan atau kredit kuliah secara nasional. Setidaknya 3 bank negara yang telah meluncurkan skema kredit kuliah, yaitu Bank Mandiri, Bank BRI, dan Bank BTN.  

 

Tentunya kebijakan ini terinspirasi dari kebijakan skema kredit yang sudah ditetapkan di Amerika Serikat. Negara tersebut mengimplementasikan skema ini sebagai cara untuk mendorong lebih banyak anak muda untuk mengakses pendidikan tinggi. Skema kredit, menurut mereka, bisa meratakan akses pendidikan ke seluruh populasi, terutama ke populasi miskin dan minoritas. 

 

Pada awalnya kredit membantu lebih banyak anak muda untuk kuliah. Biaya kuliah pun masih terhitung murah dan para sarjana bisa mengembalikan hutang sekolah mereka dengan cepat. Sayangnya regulasi yang diambil oleh pemerintahan Reagan—yang pada dasarnya memangkas persentase pajak dan pembiayaan sektor publik, termasuk pendidikan—membuat biaya kuliah naik tajam. Alih-alih memperbaiki hal ini, penerus Reagan seperti Bush justru memperparah situasi. Alhasil subsidi pemerintah untuk kampus merangkak dan biaya kuliah membengkak. 

 

 

Sumber: Student Loan Debt Statistics [2022]: Average + Total Debt (educationdata.org)

 

Skema kredit kuliah, yang awalnya dibuat untuk mempercepat dan meratakan pertumbuhan ekonomi malah menjadi bumerang. Total kredit mahasiswa Amerika Serikat (AS) sekarang berada di angka $1,748 triliun. Hutang ini datang dari 43 juta penduduk AS dan mayoritas peminjam merupakan penduduk kulit hitam. 

 

Melihat buruknya efek skema kredit kampus di negeri Paman Sam, masih maukah kita menerima skema kredit kuliah sebagai solusi?