Lagu Komunis Tak Cuma Genjer-Genjer
Pada era pemerintahan Soekarno, Genjer-Genjer adalah lagu populer yang banyak dilantunkan dan hidup di tengah-tengah masyarakat. Lagu gubahan seniman Osing dari Banyuwangi M. Arief ini berkisah tentang kehidupan sehari-hari rakyat jelata di zaman Jepang.
Genjer-Genjer makin populer setelah dinyanyikan oleh Bing Slamet dan Lilis Suryani pada 1962 sebagai lagu kampanye. Lagu ini berfungsi sebagai media kritik atas penjajahan dengan menggambarkan penderitaan rakyat kecil yang cuma bisa makan dengan lauk genjer.
Anda mungkin sudah mendengar informasi ini ribuan kali, setidaknya setiap bulan September karena lagu ini selalu dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Padahal terlalu banyak informasi yang membantah jika lagu tersebut tidak berasal dari tahun 1960-an, masa ketika PKI meroket.
Dalam perjalanan Indonesia sebagai bangsa, musik difungsikan sebagai stimulan nasionalisme. Contoh teratas tentunya Indonesia Raya garapan W.R. Supratman yang dibuat pada 1924. Empat tahun setelahnya, saat ikrar Sumpah Pemuda dibacakan pada 1928, Indonesia Raya hadir sebagai bensin penyemangat kalangan muda. Percikan api semangat itu berlanjut terus disadari betul oleh Bung Karno saat menjadi presiden.
Bagi Bung Karno, musik Indonesia tak sebatas bebunyian apalagi hiburan belaka. Musik mengemban tugas revolusi, seperti yang diterangkan Bung Karno di Hari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1959 di Surabaya. Putra Sang Fajar ini mengimbau agar kebudayaan Indonesia sanggup mencerminkan kebudayaan nasional. Imbauan Bung Karno pun diamini Lekra.
Pada masa itu Lekra merasa cocok dengan misi Bung Karno. Bagi Lekra, yang punya pandangan ideologis seni untuk rakyat, Indonesia harus membentuk budayanya sendiri yang anti-imperialis.
Beberapa seniman Lekra pun membikin karya yang kelak akrab di telinga khalayak. Tak cuma di tanah air, Lekra membawa semangat ini ke luar negeri. Pada 1963, Lekra membawa misi kebudayaan ke berbagai negara seperti Tiongkok, Korea Utara dan Uni Soviet dengan membawa cenderamata sebuah album dalam format piringan hitam. Judulnya: Pilihan Lagu-Lagu jang Diperdengarkan oleh Rombongan Njanji dan Tari Lekra Indonesia di Tiongkok.
Berikut saya pilihkan beberapa lagu di album ini, supaya Anda tak melulu berpikir PKI sebatas Genjer-Genjer.
12 November
Dalam sejarah resmi Indonesia, peristiwa 12 November 1926 dimaknai sebagai pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Berhubung propaganda Orde Baru mencitrakan PKI sebagai iblis, jadilah pemberontakan ini terlupakan begitu saja. Tenang saya tak akan berpanjang lebar soal itu.
Lagu ini memperingati kejadian 12 November. Tak hanya sekadar memperingati, tiba-tiba saya begitu optimisme menghadapi hari, selaras dengan optimisme yang ditawarkan lagu ini untuk hidup tanpa penindasan. Kaki saya bergoyang-goyang, badan juga. Mood-nya bikin happy.
Api Cubana
Pencipta lagu ini adalah Mochtar Embut yang namanya sering muncul di buku pelajaran sekolah. Ia meninggal dunia pada usia yang relatif muda, 39 tahun, ketika karier musiknya sedang naik.
Semasa hidup, Mochtar Embut juga tercatat sebagai anggota Lembaga Musik Indonesia (LMI) yang berada di bawah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Pada 1963, ia turut dalam misi kebudayaan bersama Ansambel Gembira ke Tiongkok, Vietnam, dan Korea.
Sepanjang hidupnya, ia menciptakan lebih dari 200 lagu, termasuk Api Cubana. Ia mungkin pencipta lagu “pesanan” yang apik. Bayangkan, ia menciptakan lagu yang menceritakan perjuangan Kuba membebaskan diri melengserkan diktator Kuba saat itu, Fulgencio Batista. Lagu itu juga menceritakan begitu solidnya solidaritas Jakarta - Havana. Simak saja liriknya:
Api Cubana dengarkan dunia
dari Havana berkorbar nyala
membakar semangat rakyat merdeka
menentang nafsu angkara murka
dengar Cubana membelah bumi
menggugah insan yang cinta damai
dengan suara bunyi genderang
pertanda bangsa sedang berjuang
Rakyatmu bangkit (bersatu padu)
wanita pria (serentak maju)
martabat Bangsa (dalam bahaya)
musuh mengintai menanti mangsa
Api Cubana pasti gemilang
¡Venceremos! kita kan menang
patriot muda merintis jalan
sampai tetes darah penghabisan
Meski liriknya oke, saya sih kurang cocok dengan notasi dan paduan suara di lagu ini. Lagu terasa seperti lagi sekte di telinga saya. Alih-alih saya terbawa ke momen-momen indah persahabatan Kuba-Indonesia, saya malah merinding.
Djamila/Aljazair Merdeka
Lagu yang didedikasikan untuk seorang pejuang kemerdekaan Aljazair, Djamila Bouhired, pun diciptakan oleh Mochtar Embut. Ketika Djamila berusia 22 tahun, ia bergabung dengan Front de la Libération Nationale (FLN), kelompok nasionalis kiri yang dibentuk pada 1954. Pada 1957, sebelum demonstrasi besar-besaran yang direncanakan di Casbah, dia ditangkap oleh Prancis dan disiksa selama 17 hari.
Solidaritas kemudian mengalir deras buat dirinya, termasuk dari Indonesia lewat lagu ini. Lagu ini dibuka dengan menyerukan alunan piano dan kemudian paduan suara menyerukan nama Djamila. Djamila dalam bayangan saya bercucuran air mata tapi ia menolak kalah. Berkali-kali mendengar lagu ini, saya makin jatuh hati kepada sosoknya.
Nasakom Bersatu
Lagu ini merupakan diciptakan Subronto K. Atmodjo yang menjelaskan konsep politik Presiden Sukarno yaitu persatuan kekuatan politik bernama Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme), sebuah perkembangan dari pemikiran yang ia tulis pada 1927 berjudul Nasionalisme, Islam, dan Marxisme.
Jujur saja, mendengar lagu ini membuat saya teringat tentang mars partai yang sering diputar di televisi. Tidak menarik. Liriknya sangat sloganistik: “Ayo, Maju!” atau “Nasakom Bersatu!” itu kurang bikin saya merinding.
Ganyang Inggris Amerika
Lagu ini menjelaskan gagasan Sukarno dalam melawan Nekolim (Neo Kolonialisme Imperialisme) yang ditujukan kepada Inggris dan Amerika.
Ganyang Inggris Amerika yang diciptakan Cornel Simanjuntak ini sebetulnya sudah beredar sejak zaman penjajahan Jepang. Awalnya dikenal sebagai lagu Propaganda Asia Timur Raya, lagu ini dimodifikasi kurang lebih pada 1960-an. Pada tahun-tahun itu, Sukarno mengobarkan politik anti-Nekolim dan berseberangan dengan negara-negara Blok Barat.
Dari segi mood, lagu ini hampir-hampir mirip “12 November” yang bikin happy. Saya membayangkan ikut bersorak bernyanyi lagu ini di Lapangan Ikada yang terik. Bung Karno terus berpidato usai lagu ini dikumandangkan. Saya bergelora.
“Ganyang Inggris, ganyang Amerika,” kata saya sambil mengepalkan tangan.
Asia Afrika Bersatu
Lagu Asia-Afrika Bersatu diciptakan oleh Sudharnoto, seniman LEKRA. Lagu ini sengaja dibikin untuk menyambut penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika (KAA).
Mendengar lagu ini, saya langsung membayangkan betapa tidak enaknya jadi bangsa yang dijajah seperti yang dialami bangsa Asia dan Afrika. Penjajahan membuat kita menderita. Di sisi lain, spirit anti-penjajahan pada 1950-an membuat kita menyadari betapa pentingnya bersolidaritas.
Njoto, Budayawan Komunis
Siapa orang yang berpikir keras melahirkan lagu-lagu dengan tema di atas. Ya, anda benar. Lukman Njoto-lah orangnya.
Di antara dua tokoh komunis yang lain, Aidit dan MH Lukman, Njoto diketahui punya ketertarikan berlebih terhadap seni. Sejak kecil, ia sudah akrab dengan musik. Sang ayah mengajarinya bermain biola. Njoto dewasa juga bisa bermain saksofon. Menurut adik Nyoto, Windarti, Nyoto punya kemampuan bermain gitar dan drum dan menggubah beberapa lagu.
Menjelang remaja, Nyoto banyak menghabiskan waktu mendengarkan musik klasik dan jazz. Pada masa pendudukan Jepang, Njoto, Windarti, dan tiga gadis lainnya membentuk sebuah band bernama Suara Putri. Bersama empat wanita sebagai vokalis dan Njoto sebagai gitaris dan membawakan lagu “Wanita Asia”, sebuah lagu yang memuji Jepang.
Berbekal perjalanan musik itulah ia sadar akan pentingnya kesenian. Ia juga seniman yang cakap menulis puisi, meniup saksofon dan berbusa-busa saat membicarakan musik.
Bersama D.N. Aidit, dan sejumlah seniman lain, Nyoto mendirikan Lekra di Jakarta pada 1950. Tak hanya aktif di PKI, Njoto juga dikenal sebagai Pemimpin Redaksi Harian Rakyat. Njoto memberi kebebasan bagi seniman-seniman Lekra untuk menulis dan mengekspresikan pandangan. Njoto pula yang menjaga batas tegas agar Lekra lebih luwes dari PKI. Njoto tahu tak semua anggota Lekra komunis dan dia ingin tetap mempertahankan posisi Lekra yang lebih independen.
Tapi yang terang bagi Nyoto, musik dan politik adalah saudara sepersusuan. Hal ini ia sampaikan di di depan rombongan paduan suara ”Tak Seorang Berniat Pulang” yang telah selesai berlomba dalam Ulang Tahun Konferensi Seni dan Sastra Revolusioner (KSSR).
“Musik adalah sendjata, sendjata jang menggembleng barisan sendiri, memperkuat front dengan sekutu maupun mengobrak-abrik lawan, sendjata dalam ”djor-djoran” dengan kawan maupun dalam ”dor-doran” dengan lawan,” ujar Njoto.
Di lain waktu, Njoto dalam Harian Rakjat edisi 4 Maret 1964, berkata dengan berapi-api, ”Barang siapa masih berkata djuga bahwa seni itu ‘non-politik’, sesungguhnja dia itu reaksioner. Bukan saja jurnalistik, tetapi sport (olahraga) pun tidak bisa disangkal lagi bertautan erat sekali dengan politik. Kalau sport sudah politik, apalagi sastra dan seni!”
Njoto juga mengungkapkan bahwa tanpa adanya faktor politik, mungkin lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh WR Soepratman tidak akan pernah muncul. Njoto menambahkan bahwa selama kapitalisme di Indonesia belum berkembang secara signifikan, maka tidak akan ada kesenjangan antara sastra dan seni di satu sisi, seni-seni yang berorientasi pada massa rakyat. Keadaan ini memiliki potensi untuk mendukung upaya penggabungan budaya dengan masyarakat tanpa menghilangkan kekhasan seni masing-masing daerah.
Saya membayangkan, seandai Njoto dikasih kesempatan mendengar 126 lagu yang viral di TikTok di hari ini, apa kira-kira reaksi beliau?