Pada penghujung 1990an ketika epidemi HIV/AIDS menginjak usia belasan tahun, seorang kerabat pindah dari Indonesia ke Belanda. Di sana dia harus bekerja serabutan untuk menghidupi diri dan istrinya ketika ekonomi anjlok. Ia mengaku bekerja dengan seorang tetangganya yang ODHA (Orang dengan HIV/AIDS). Selagi mereka bekerja, istrinyalah yang bertugas membersihkan rumah. Satu hal yang saya ingat dari cerita tersebut adalah, orang-orang ini selalu memisahkan cucian pakaian tetangganya dengan cucian mereka.
Bagian dari cerita ini menarik bagi saya, karena saya tahu saudara saya bukanlah orang yang berprasangka karena orientasi seksual tetangganya atau kondisi kesehatannya, toh mereka tetap bersahabat dan bekerja sama dengan baik. Ketika epidemi HIV/AIDS meledak pada 1981 dan menyebar ke seluruh dunia, komunitas gay menjadi kambing hitam, dianggap biang kerok utama penyebaran HIV/AIDS. Saat itu masih minim informasi mengenai HIV/AIDS. Soal bagaimana virus menyebar, mereka yang tidak berprasangka bahkan punya banyak alasan untuk bersikap paranoid.
Berpuluh-puluh tahun kemudian, kita sekarang tahu bahwa siapa saja bisa menjadi ODHA. Bahkan, data Kementrian Kesehatan 2015 menunjukkan bahwa mayoritas dari ODHA adalah ibu rumah tangga, yang kemungkinan besar tertular oleh suami suami mereka yang ‘jajan’. Tak lagi menjadi vonis mati, stigma terhadap ODHA pun berkurang ketika diketahui bahwa virus tersebut tidak hanya menyerang satu komunitas tertentu dan hanya menyebar dengan cara tertentu.
Kemudian, pada 2022 ini, muncul isu monkeypox alias cacar monyet. Berdasarkan berita-berita internasional, vaksinasi terhadap cacar monyet (yang sama dengan vaksin cacar pada umumnya) sudah mulai bermunculan dengan meningkatnya kasus. Sama seperti HIV/AIDS, mereka yang disoroti publik lagi-lagi adalah komunitas gay. Akhirnya, banyak sekali anggapan yang kira-kira bunyinya begini: Anda tidak usah khawatir terhadap cacar monyet jika Anda bukan gay. Dengan kata lain, muncul asumsi seputar ‘perilaku’ khas komunitas gay yang menyebabkan mereka sangat rentan terhadap cacar monyet. Terdengar seperti lagu lama, ya?
Media-media konservatif berbahasa Inggris pun mengabarkan sentimen yang sama bahwa cacar monyet hanya bahaya bagi komunitas gay. Padahal, 41 tahun sejak awal epidemi HIV/AIDS tidak ada satu komunitas berorientasi seksual tertentu yang secara spesifik rentan terhadap suatu penyakit. Sayangnya, berita-berita tersebut turut diamplifikasi oleh beberapa media Indonesia. Mengapa prasangka ini muncul? Apa karena pengasosiasian komunitas gay dengan kontak fisik yang banyak? Bagaimana dengan para suami yang menularkan HIV/AIDS ke istri mereka karena sering berhubungan seks sembarangan dengan orang lain? Kurang kontak fisik apa itu?
Ketika isu cacar monyet sudah muncul dan dikabarkan bahwa ada kemungkinan kasus sudah muncul di Jawa Tengah pada awal Agustus. Indonesia masih hidup dalam cengkeraman COVID-19. Walaupun sempat surut beberapa bulan yang lalu, tak butuh waktu lama bagi COVID-19 untuk kembali merajalela. Pada 3 Agustus 2022, sebanyak 6.216.621 orang terkonfirmasi positif COVID-19, dan 157,028 orang meninggal dunia.
Itulah hasil dari mengatribusikan suatu penyakit ke kelompok sosial tertentu dan menganggap yang lainnya kebal. Pasalnya, banyak sekali orang yang dikategorikan rentan dan sudah mengikuti protokol kesehatan, tapi tetap kena. Ketika pandemi COVID-19 menjalar di Indonesia, banyak sekali sentimen terhadap kalangan lansia dan disabilitas. Karena usia lanjut kerap diasosiasikan dengan perilaku menyebalkan, misalnya perilaku pejabat senior yang dianggap merugikan rakyat, tidak jarang muncul omongan bahwa COVID-19 akan ‘membereskan’ para dinosaurus tersebut.
Tumbal Sosial Pandemi Ketika Cacar Monyet Berkunjung ke Indonesia
Narasi anti-lansia tersebut segera luntur ketika korban bermunculan dari kalangan muda dan sehat. Namun, penyakit lain bernama cacar monyet kembali mendatangkan stigma, yang kali ini menyasar kalangan gay.
Ketika berita cacar monyet menyebar, informasi di media massa, sumber-sumber resmi pemerintah, dan badan-badan kesehatan sangat minim. Kesiapan Indonesia sangat tertinggal dari kawasan barat dan tengah Afrika. Negara-negara di dua kawasan ini telah puluhan tahun menemukan banyak kasus cacar monyet. Namun, mereka melakukan mitigasi dan intervensi yang tidak bergantung kepada obat—memantau kasus dan kegiatan masyarakat, membantu orang yang terdampak berisolasi, melacak kontak sejak infeksi, dan membagikan hasil penemuan mereka. Tidak jauh berbeda dengan Indonesia, bukan? Sementara itu di Amerika Utara dan Eropa, mitigasi tersebut bisa dibilang longgar. Ketika itu terjadi, tentu hanya komunitas tertentu yang akan paling kelihatan—mereka yang paling rentan, dan jadilah tumbal sosial.
Komunitas paling rentan akan selalu ada dan mereka cenderung menjadi sorotan sampai semua orang paham bahwa semua bisa terinfeksi dalam pandemi. Ide bahwa penyakit cacar monyet menular secara seksual muncul dari asumsi terjadinya hubungan seks manusia dan monyet. Namun, tidak semua penyakit bermula dari seks. Cacar sapi (cowpox), misalnya, yang kemudian menjadi bahan vaksin variola (cacar biasa, smallpox). Virus ini bisa sampai ke manusia karena kegiatan memerah susu sapi di peternakan. Pada dasarnya, virus-virus cacar ini menyebar melalui kontak dekat dan kadang melalui udara. Namun, kebetulan menurut laporan-laporan pers dari Amerika Utara dan Eropa, komunitas gay melaporkan kasus yang banyak.
Hasilnya, cacar monyet berhasil ‘lolos’ ke khalayak umum karena banyak dokter menghubungkan penyakit ini dengan orientasi seksual. Dengan kata lain, dokter-dokter ini mengabaikan sikap ilmiah dan mengabaikan fakta bahwa cacar monyet sudah ada sejak 1970an.
Lalu apa respons yang harus diambil? Pada akhirnya, kita harus membuat situasi yang kondusif agar semua orang bisa melaporkan gejala mereka ke pihak yang terkait dengan aman dan bebas prasangka agar masyarakat kita terhindar dari epidemi. Walaupun banyak yang protes, tentu kita lihat betapa efektifnya ketika masyarakat saling bekerja sama untuk kebaikan bersama sebagaimana yang telah ditunjukkan selama pandemi COVID-19 in lewat berbagai protokol kesehatan.
Akhirnya, lingkungan kita tidak pernah bebas patogen. Penyakit apapun akan membahayakan orang banyak ketika solidaritas dan kapasitas gotong royong kita lenyap.