Langkah Ganjar Terganjal Oligarki PDIP
Ganjar Pranowo berulang kali menyebut “partai” selama 35 menit sesi wawancara khusus dengan Najwa Shihab yang tayang pada 4 April 2023. Salah satunya, ketika ia menyatakan loyalitas terhadap partai sebagai salah satu alasan utamanya menolak timnas Israel berlaga di Piala Dunia U-20 yang sedianya digelar di Indonesia tapi dibatalkan FIFA.
“Setidaknya iya (karena loyalitas ke partai). Tidak hanya loyalitas pada partai, tapi juga sikap kita yang sangat jelas secara konstitusional. Bahkan regulasi pun seperti peraturan menteri sangat jelas. Aturan ini. Kalau gak (menaati peraturan menteri) saya melanggar loh ini,” kata Ganjar.
Partai yang dimaksud Ganjar tentu saja PDIP, tempat ia tercatat sebagai anggota. Ganjar pun tak ragu menyebut dirinya sebagai “anggota partai yang taat” untuk menegaskan bahwa sikapnya selaras dengan ideologi politik PDIP. Ia pun menyatakan, PDIP sebetulnya telah lama menyampaikan penolakan kepada pemerintah, tapi tak mendapat respons. Oleh karena itu ia kemudian memutuskan turut bersuara sebagai bentuk “bonding kepada partai.”
Kendati dalam kesempatan tersebut Ganjar membantah diperintah langsung Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, tapi pernyataan-pernyataannya sudah cukup menjelaskan penolakan timnas Israel terkoordinasi di PDIP. Apalagi ia bukan satu-satunya kader PDIP yang bersikap demikian, tapi juga Gubernur Bali I Wayan Koster dan Bupati Trenggalek Mochammad Nur Arifin.
Selain itu, pernyataan Ganjar menunjukkan bahwa dirinya hanyalah petugas partai yang wajib setia kepada pimpinan dan keputusan partai, meskipun dirinya sebagai Gubernur Jawa Tengah adalah pejabat publik. Dengan kata lain, ia terjebak hukum besi oligarki partai politik di tubuh PDIP.
Cara Oligarki Partai Politik Bekerja
Istilah hukum besi oligarki partai politik pertama kali diperkenalkan Robert Michels pada awal abad ke-20 dalam Political Parties: A Sociological Study of The Oligarchical Tendencies of Modern Democracy (1911). Michels mengkritisi Partai Sosial Demokrat Jerman, tempat ia bergabung sebagai anggota, yang menurutnya tak demokratis di internal organisasi meskipun membawa nilai demokrasi.
Michels mengidentifikasi kekuasaan di dalam partainya hanya berada di tangan segelintir orang, bukan di tangan seluruh anggota. Praktik inilah yang kemudian disebutnya sebagai hukum besi oligarki partai. Ia pun menegaskan, apabila demokrasi internal tak bisa ditemukan dalam partai yang mengklaim diri demokratis, maka mustahil menemukannya di partai lain yang tak mengklaim diri demokratis.
Secara umum, menurut Michels, hukum besi oligarki partai politik bekerja sebagai berikut:
Pertama, dengan alasan fungsional segelintir orang mendapat mandat untuk menentukan keputusan atas rencana dan kebijakan partai politik, bahkan ketika sebetulnya secara formal wewenang untuk itu berada di tangan mayoritas anggota.
Kedua, segelintir orang yang mendapat mandat tersebut atau yang disebut Michels sebagai pimpinan partai, cenderung mengambil peran dan kuasa lebih banyak daripada anggota yang memilihnya. Mereka pun akan berupaya bertahan selama mungkin di jabatannya dan menjadi relatif kebal dari pengaruh gejolak anggota di bawah.
Ketiga, para pimpinan partai tersebut secara bertahap menerapkan nilai yang berlawanan dengan kesepakatan anggota dan lebih konservatif. Michels berpendapat, ini mungkin terjadi karena mereka lebih terorganisir dibanding anggota partai biasa, punya akses informasi terkini tentang kondisi di dalam dan luar organisasi, dan akses lebih tinggi ke sumber daya.
Pada akhirnya, menurut Michels, adalah legitimasi penuh keputusan partai politik di tangan segelintir pimpinan partai. Sebaliknya, orang-orang yang tak sepakat dengan keputusan mereka lantas disebut sebagai “faksi” dan “sempalan” yang tak mewakili sikap partai.
Di PDIP, legitimasi penuh tersebut berada di tangan Megawati. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Pasal 28 ayat (1) Anggaran Dasar (AD) PDIP bahwa “ketua umum sebagai sentral kekuatan politik partai berwenang, bertugas, bertanggung jawab dan bertindak baik ke dalam maupun ke luar atas nama partai dan untuk eksistensi partai, program, dan kinerja partai.”
Sebagai sosok sentral, Megawati bahkan mendapat hak prerogatif membuat aturan di luar hierarki aturan partai yang ada. Soal ini termaktub dalam Pasal 84 AD PDIP yang berbunyi sebagai berikut:
“Ketua umum partai dalam rangka menjaga, mengamankan, dan mempertahankan Pancasila, pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika, dan eksistensi partai memiliki hak menetapkan peraturan-peraturan di luar hierarki aturan partai (….)”
Sementara, frasa “eksistensi partai” sangat ambigu yang pada akhirnya memberi ruang Megawati mengendalikan partai secara penuh. Termasuk membuat aturan main penentuan calon presiden dari PDIP yang pernah disebut Megawati sebagai “hak ketua umum.”
Sedangkan, Megawati tak pernah secara gamblang menyebut kriteria calon presiden PDIP. Dalam HUT ke-50 PDIP pada 10 Januari 2023 lalu, Megawati hanya menegaskan bahwa siapapun yang dipilihnya nanti pasti baik untuk partai.
“Pokoke nggak mungkin ibu jebloskan kalian ke sumur. Kita kalau sudah bekerja pasti menang,” kata Megawati.
Hal itu membuat orang seperti Ganjar yang berhasrat mendapat tiket pilpres dari PDIP, apapun risikonya mau tak mau harus membuktikan loyalitas kepada Megawati. Meminjam adagium yang berkembang di antara kader PDIP, pejah gesang kedah nderek ibu.
Megawati Luluh?
Upaya Ganjar menunjukkan loyalitas ke Megawati tampaknya berhasil. Kabar terbaru dari mulut pejabat teras PDIP, Megawati telah merestui Ganjar sebagai calon presiden dari partai banteng. Salah satu yang mengatakannya adalah Ketua DPC PDIP Solo FX Hadi Rudyatmo dan Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno.
“Ya sudah jelas (dapat restu), nanti tinggal nunggu waktu resminya aja,” kata Rudy pada 11 April 2023 seperti dilansir Kumparan.
Rudy menyatakan Ganjar mendapat restu karena telah berhasil membuktikan loyalitas sebagai kader dengan menolak timnas Israel, meskipun berdampak elektabilitasnya anjlok.
Lembaga Survei Indonesia (LSI) dalam survei periode 31 Maret-4 April 2023 terhadap 1.299 responden, menemukan elektabilitas Ganjar memang turun. Dalam simulasi terhadap 19 nama, tingkat elektabilitas Ganjar sebesar 19,8 persen, menurun dari survei bulan Februari yang 27,1%.
Penurunan lebih dalam terjadi pada simulasi tiga nama. Tingkat elektabilitas Ganjar menurun dari 35 persen pada Februari menjadi 26,9 persen. Sebaliknya, elektabilitas Prabowo Subianto dan Anies Baswedan menguat masing-masing 3,6 persen dan 1,3 persen dibandingkan survei Februari.
Namun berbeda dengan Rudy, Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno membantah kabar Ganjar telah mendapat restu dari Megawati. Menurut Hendrawan, sebelum ada pengumuman resmi dari Megawati, seluruh kabar seputar rekomendasi calon presiden PDIP adalah spekulasi.
Sampai saat ini belum terlihat indikasi Megawati bakal mengumumkan calon presiden dari partainya. Lagi-lagi, ini menunjukkan tak ada seorangpun di PDIP yang lebih berkuasa dari Megawati. Kalaupun nanti benar Ganjar mendapat tiket, ia mungkin tidak akan jauh-jauh dari dekapan oligarki di PDIP.