Lebaran Usai, Kesepian Orang Tua Berlanjut
Musim Lebaran telah usai, tapi perasaan-perasaannya masih tertinggal, dan akan terulang lagi tahun depan. Cerita-cerita lebaran, mulai dari berkumpul bersama keluarga, semringahnya senyum bocah saat dapat amplop, hingga pertanyaan-pertanyaan yang tak ingin ditanyakan jadi bumbu mengapa lebaran, bagi umat muslim di Indonesia, begitu khas dan berkesan.
Tapi tidak dengan Is, seorang tua yang menjadi tokoh utama dalam cerpen Lebaran di Karet, di Karet karangan Umay Kayam. Menjelang Lebaran, ia merasakan bangunan rumahnya semakin besar, berbanding terbalik dengan penghuninya. Rumah besar dengan empat kamar tidur itu hanya ia sendiri yang menempati. Istrinya, Rani, sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Anak-anaknya menetap di luar negeri dan punya kehidupan masing-masing. Ruang tamu sudah lama tak disinggahi orang.
Di masa-masa menjelang lebaran, ia tak lagi menanti anak-anaknya akan datang. Ia berdamai dan sekadar menunggu sepucuk surat dari anak-anaknya tiba. Surat itu ia jadikan obat dan pelipur lara dari segala kesepian ini. Setelah surat ia terima, alih-alih bahagia, ia malah bersungut-sungut lantaran kecewa dengan isinya yang sekadar basa-basi.
Is menarik napas panjang usai membaca tiap surat. Sesaat usai menarik nafas panjang, ingatan lalu membawa Is ke ruang masa lalu. Ia merasa sepertinya baru kemarin anak-anak itu menjadi milik mereka bersama Rani. Di mana mereka masih membutuhkan pertolongan penyelesaian studi dan pencarian kerja dan nafkah mereka. Sekarang mereka sudah menjadi pemilik pohon mandiri mereka dan menjadi tuan atas segala kehidupan yang tengah mereka tempuh.
“Ia mengrendeng bercampur sungut: kalau begini naga-naganya, apa aku masih akan ketemu dengan keluarga dan anak-anak mereka. Satu kali waktu nanti. Ah….,” gumam Is.
Awalnya saya keliru dan menganggap kisah Is ini hanya ada di dalam fiksi–seperti cerpen Umar Kayam ini. Dalam kultur keluarga besar saya, selagi orang tua masih hidup, momen lebaran harus dilalui bareng orang tua. Dosa besar hukumnya membiarkan orang tua sendirian di rumah kala lebaran.
Tapi dunia jauh lebih luas daripada pengetahuan saya yang dangkal. Di dunia nyata, saya bertemu sosok yang kurang lebih cerita hidupnya mirip dengan Is. Beberapa hari setelah lebaran, saya tak sengaja bertemu dengan Pak Tomat (73 tahun, bukan nama sebenarnya) di sebuah warung kopi di dekat rumah.
Ia meminjam korek dan duduk di sebelah saya. Ia kemudian mengajak saya mengobrol ngalor-ngidul. Ia kemudian menanyakan alasan saya tak mudik. Saya menjelaskan sambil bercanda-canda. Usai saya menjawab, ia lalu menjelaskan bahwa kini ia sudah tak punya kampung halaman. Sambil mengisap rokok dalam-dalam, ia lantas melanjutkan cerita hidupnya.
“Saya sudah lama tak lagi antusias saat Lebaran datang. Ya sudah biasa saja. Sebulan penuh saya ikut puasa. Pas Lebaran saya ikut sholat Ied. Habis itu pulang ke rumah ya kayak hari-hari biasa,” ujar Pak Tomat.
“Saya punya dua anak. Istri saya sudah meninggal,” lanjutnya, “Saya punya dua anak, sepasang, cowok-cewek. Yang besar cowok, sudah menikah 5 tahun lalu. Sekarang ia menetap di Kalimantan dan beristri dengan orang sana. Dia kalau lagi dinas ke Jakarta suka mampir. Tapi jadwalnya gak tentu, yang pasti bukan pas lebaran.
Kalau adiknya, sudah menikah dengan orang Palembang, dan dia ikut suami. Sudah tiga kali lebaran mereka tidak ke sini. Mereka memilih Lebaran bareng keluarga dan mertua masing-masing. Untung ada video call, setidaknya itu bisa mengobati kangen saya. Ya walaupun tetap beda ya rasanya. Rencananya baru tahun depan mereka pada Lebaran di sini. Semoga kesampaian.”
Sepanjang Pak Tomat bercerita, saya hanya menimpali dengan anggukan kecil. Saya enggan memberi respons berlebihan. Takut bikin makin sedih. Tapi yang jelas, saat Pak Tomat membagikan kisahnya, kepala saya teringat cerpen kisah Is dalam cerpen Umar Kayam.
Sindrom Sarang Kosong
Kepedihan kehilangan anak yang dialami oleh Is (tokoh dalam cerpen Lebaran di Karet, di Karet) dan Pak Tomat dilukiskan dengan cantik dalam puisi penyair Cecil Day-Lewis berjudul Walking Away.
Lahirnya puisi itu bermula saat ia menyaksikan putra sulungnya pergi ke sekolah. Cecil Day-Lewis melukiskan perasaan ini dengan sangat cantik: cinta terbukti dengan melepaskan.
Perasaan takut kehilangan anak ini lazim disebut sindrom sarang kosong (empty nest syndrome). Sindrom sarang kosong adalah kesedihan atau gejolak emosional yang dihadapi orang tua setelah anak-anak mereka tumbuh dan pindah dari rumah keluarga mereka. Istilah sindrom sarang kosong acap didengar saat musim sekolah atau perguruan tinggi semakin dekat atau anak yang menikah. Sindrom ini melahirkan beberapa perasaan campur aduk: kecemasan, kegembiraan, kelegaan, dan kesedihan.
Di satu sisi, anda bangga melihat anak anda pergi ke dunia sebagai orang dewasa yang mandiri. Tapi di sisi lain, anda dihantui ketakutan akan kehilangan putra dan putri yang anda kasihi sejak ia lahir. Sindrom ini tak bisa menyerang orang tua mana tanpa mengenal latar belakang. Bahkan salah seorang profesor bernama Lillian Little mengaku ia menderita sindrom tersebut.
"Saya pikir saya tidak akan pernah menderita sindrom sarang kosong. Saya seorang profesor perguruan tinggi dengan gelar PhD– saya pikir hanya wanita menyedihkan tanpa kehidupan di luar yang akan mengalami sindrom ini.”
Saya tentu tak punya kapasitas membicarakan perasaan ini. Untuk menjawab pertanyaan ini saya iseng bertanya ke ibu saya apakah ia mengalami sindrom sarang kosong. Ibu menjawab: iya.
Tapi, untunglah ada teknologi yang mendekatkan dirinya ke anaknya-anaknya. Ia merasa fisik yang terpisah bukan bagian yang sulit jika komunikasi masih lancar. Ibu benar, komunikasi adalah kuncinya; orang tua perlu memberi ruang besar kepada sang anak menikmati kehidupan baru mereka, sambil tetap berhubungan dan mencari tahu keadaan mereka.
Pada akhirnya kita menyadari jika hidup adalah kesunyian masing-masing. Seorang anak disambut dengan tangis haru orang tuanya. Begitupula ketika sang anak pergi dan punya hidup masing-masing, bukankah sebaiknya orang tua juga melepaskan tangis haru atas kepergian itu.
Anak adalah kehidupan, mereka sekedar lahir melaluimu tetapi bukan berasal darimu, kata Kahlil Gibran. Tapi sayangnya dunia jauh lebih kompleks dibanding puisi Kahlil Gibran atau teori-teori sosiologi.