Legenda Itu Bernama Franz Beckenbauer

Subtext: Dari Bocah Giesling ke der Kaiser

Franz Beckenbauer. Legenda sepak bola. Der Kaiser.

Tiga frasa di atas menjadi fokus utama media dalam beberapa terakhir. Ditambah dengan cantuman daftar prestasi sudah cukup untuk menjelaskan kepada masyarakat awam mengapa Franz Anton Beckenbauer menjadi der Kaiser atau Sang Kaisar dalam dunia sepak bola.

Jika kurang, halaman Wikipedia yang muncul teratas ketika melakukan pencarian nama tokoh dunia bisa mengisi rasa penasaran akan Beckenbauer. Ini termasuk asal muasal dari julukan der Kaiser yang bahkan jadi perdebatan. Baik karena dia berfoto dengan Franz Joseph I atau karena dia sukses mempermalukan lawan di lapangan, Sang Kaisar menempel erat dengan pemain kelahiran Bavaria itu. 

Kemajuan teknologi ikut mengabadikan momen-momen bersejarah. Berbagai medium menghadirkan kepingan akan Beckenbauer, mulai dari ketika masih aktif di lapangan hingga karir manajerial yang dilakoninya. Perbedaan zaman juga memberi ruang untuk menginterpretasi segala tindak tanduk seseorang di masa lampau.
Meniti jalan yang dilalui Franz bagi saya selagi melihat implikasinya ke masa sekarang.

===

Etimologi akan Kaiser atau Kaisar dapat dilacak ke Caesar, yaitu gelar yang diberikan ke pemimpin tertinggi Romawi. Berbeda dengan pandangan umum yang melihat pemimpin sebagai keturunan darah biru, sosok pemimpin dalam pandangan saya berangkat dari kerja keras. Beckenbauer merupakan pengejawantahan ini.

Ya, Beckenbauer lahir dari keluarga biasa yang berusaha hidup pasca Perang Dunia II. Franz kecil tumbuh besar di distrik pekerja Giesling yang berada di kota Munich. Alih-alih memimpikan bekerja sebagai pegawai pos seperti orangtua dan teman-temannya, ia melihat sepak bola sebagai tujuan hidupnya.

Bakatnya yang mekar di jalanan Giesling lalu dibawa ke klub junior SC 1906 Munich. Demi menunjukkan pada sang ayah bahwa pilihan hidupnya tidak sia-sia, Franz memupuk ambisi untuk bergabung dengan TSV 1860 Munich, klub besar di kota kelahirannya. Namun satu tamparan dari pemain 1860 di turnamen muda mengubah segalanya. Tamparan ini pula yang menjadi anugerah bagi klub rival yang berada di kota yang sama. Franz lalu memutuskan bergabung dengan FC Bayern dalam proses pembuktikan diri, menjalani debut pada 1964.

===

FC Bayern Munich ketika Beckenbauer debut bukan tim besar. Sabet gelar juara pun juga tak pernah. Maka tak heran keduanya yang sama-sama diremehkan ini bisa menjadi pasangan yang sempurna. Perannya sebagai libero membuat satu Jerman Barat terpesona. Betul, Franz bukan pencipta posisi itu, tapi ialah yang membuat peran ini sebagai gebrakan dalam sepak bola Jerman. Menempatkan pengatur permainan jauh dari lini depan sehingga tidak bisa dijaga apalagi dijegal oleh pemain lain jelas jawaban cerdik atas taktik defensif era ‘60an.

Membuat semua orang terpesona satu hal, tapi membuat mereka menjadi pengikut adalah persoalan lain. Pengikut harus ditunjukkan bahwa yang mereka idolai memang sosok jawara. Sepak Beckenbauer berhasil membawa Bayern memenangkan DFB Pokal pada tahun 1966 dan 1967. Di waktu yang sama pula ia berhasil mencetak gol untuk tim nasional Jerman di piala serta mengangkat Piala Winners Eropa. Gelar ganda pertama berhasil mereka sabet di tahun 1969. Kemenangan terus berlanjut hingga pertengahan 1970an lewat pemenangan Piala Eropa tiga tahun berturut-turut serta penasbihan dirinya sebagai pemain terbaik Eropa. Puncaknya adalah gelar juara dunia di musim panas 1974.

Julukan lainnya terus mengikuti seiring dengan prestasi yang ia sabet: elegan, percaya diri, tegas, dan berkemauan keras—perpaduan menakjubkan yang tidak dapat dilawan siapapun di lapangan hijau. Akan tetapi, sosok Kaisar dalam penceritaan apapun jarang dicintai; orang-orang hanya mengagumi sosok yang mereka inginkan serta mengkritisi cacat yang dimiliki.

***

Fritz Walter, yang dikagumi Beckenbauer, menjadi salah satu sosok yang ikut mengantar Jerman menjadi juara 1954. Namun berbeda dengan Walter dan kawan-kawan yang menghadirkan citra maskulin yang kental akan semangat pengorbanan dan kebersamaan, Beckenbauer merepresentasikan evolusi maskulinitas Jerman yang kosmopolitan. Karakteristik ini lahir dari pengalamannya yang tumbuh di situasi damai di tengah kebangkitan ekonomi negara tempat dia lahir yang sekaligus melawan narasi maskulinitas ala tentara.

Julukan der Kaiser ialah pisau bermata dua: ia sanjungan, tapi juga ejekan kepada sosoknya yang individualistis dan konservatif. Untuk memahami itu, mari tengok lagi perannya sebagai libero. Dia sendirian berada bek tengah lainnya, dan dia melakukan hal berbeda ketika menguasai bola. Jika pemain bertahan akan menyapu atau memberikan umpan ke pemain depan, maka Beckenbauer punya kuasa untuk maju dan menggiring bola hingga ke kotak penalti lawan. Dia bisa menentukan kapan bola dibagi ke rekannya untuk mencetak gol. Peran individu ini yang membuat ia menonjol dan jadi simbol untuk dikalahkan bagi lawan-lawannya.

Hal serupa juga tercermin pada kehidupan pribadinya. Beckenbauer yang berusia 18 tahun memilih untuk tidak menikahi pacar yang telah dihamilinya. Tim Nasional Junior Jerman yang geram atas sikap Franz pada saat itu sempat mengasingkannya, tapi tak bertahan lama. 

Sementara sikap konservatif Franz ditunjukkan dengan dukungannya terhadap partai Christian Social Union (CSU). Menjadi hal ironis karena partai ini membawa nilai Katolik yang bertolak belakang pada sikap Franz yang sepanjang hidupnya menikah hingga tiga kali. Namun pilihannya terhadap partai itu sebetulnya cocok-cocok saja karena partainya mengusung prinsip ekonomi liberal. Kebijakannya tidak menekan orang-orang kaya untuk dibebankan pajak besar yang tentunya menguntungkan Franz. Maklum, pesepakbola mulai dibayar cukup besar.

Puncak tertinggi karir telah dicapai, tapi Franz tak berpuas diri. Ada dunia baru yang belum terbuka. Undangan New York Cosmos di tahun 1977 langsung disambut dengan hangat. Nilai tawaran kontraknya tak main-main—sekitar $2 juta selama 4 tahun. Tawaran ini pula yang membuatnya dirongrong otoritas pajak Jerman Barat, tapi tetap saja kesempatan itu ambil. Langkah ini adalah 

Jelas bahwa ada godaan finansial yang ikut mempengaruhi keputusannya pindah; ia dirongrong otoritas pajak Jerman Barat ketika tawaran kontrak sekitar $2 juta selama 4 tahun datang dari AS. Namun langkah Beckenbauer merupakan sebuah terobosan. Keputusannya membuka jalan David Beckham ke LA Galaxy dan Lionel Messi ke Inter Miami. Pesepakbola tak lagi main di kandang sendiri—mereka sekarang adalah manusia kosmopolitan.

*** 
Franz pula yang pertama kali menciptakan pesona pesepakbola sebagai fenomena budaya. Tengok saja fotonya bersama Mick Jagger dan rekan setimnya Gerd Müller setelah Bayern memenangkan Piala Eropa 1976 di Glasgow. Dampak yang ditimbulkan lagi semakin besar ketika ia pergi ke AS.

Tingkahnya itu tak bisa dilepaskan dari pengaruh legenda Brasil Pele yang datang ke tempat yang ‘sekedar’ menghadirkan sepak bola. Saya menggunakan kata sekedar karena saat itu kualitas Liga Sepak Bola Amerika Utara (NASL) dipersepsikan terbelakang. Berbeda dengan Pele yang turun ke lapangan setelah sempat gantung sepatu di usia 34, Franz harus mengucapkan selamat tinggal ke Tim Nasional Jerman ketika ia masih 31 tahun.

Pengorbanan itu bagi Franz setara; ia meraih gelar juara di Amerika selagi diganjar keuntungan finansial yang tak terbayangkan. Tak hanya itu, ia juga bersinggungan banyak artis dan tokoh dunia. Lagi-lagi, tanpanya komersialisasi dan kesohoran sepak bola mungkin tidak akan sebesar ini. Ia juga yang mendorong agensi untuk beralih dipegang dari klub menjadi ke pemain sendiri. Franz menjadi manusia bebas dengan menggunakan sepak bola menjadi instrumen untuk mewujudkan keinginan pribadi; yang ia lakukan melampaui imajinasi umum pesepakbola pada masanya.

Karirnya sebagai pesepakbola diakhiri pada musim gugur tahun 1983 setelah kembali ke Jerman Barat pada usia 38 tahun. Ia tak sepenuhnya gantung sepatu—fokusnya sekarang beralih ke pelatih. 

Melawan segala rintangan, Franz membimbing Jerman Barat ke final Piala Dunia 1986. Dibawah bimbingannya, tim Jerman Barat menyabet juara kedua. Pada 1990; Franz pada malam yang magis di Roma juga menahbiskan diri menjadi simbol persatuan bagi Jerman Barat dan Jerman Timur yang reunifikasi beberapa bulan kemudian. Ia dan timnya juga berhasil mengamankan gelar Ligue 1 Prancis bersama Olympique Marseille pada tahun 1991 dan gelar Bundesliga bersama Bayern Munich pada tahun 1994. Selanjutnya, ia menjabat sebagai presiden Bayern Munich dari tahun 1994 hingga 2009.

Selain perannya bersama Bayern, Franz menjabat sebagai wakil presiden Asosiasi Sepak Bola Jerman (DFB) dari tahun 1998 hingga 2010. Pada masa jabatan inilah ia mempelopori pencalonan negaranya untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2006. Der Kaiser lalu sukses menghadirkan pesta perayaan sepak bola dunia di tanah Jerman seraya mengukuhkan legasinya.

Masa kejayaannya mulai meredup kala der Spiegel di tahun 2015 merilis aliran dana gelap untuk menghadirkan Piala Dunia 2006 ke Jerman. Franz terjebak dalam tuduhan korupsi yang tak pernah dijawab tuntas hingga di penghujung hidupnya. Penyelidikan, investigasi, tuduhan akan terus berlanjut selepas Franz berpulang. Namun kenangan akan Franz sebagai seorang tokoh legendaris, seorang jenius yang ikonik, seorang raksasa sejati dalam permainan sepak bola, kemungkinan besar tidak akan terulang lagi.

Auf Wiedersehen, der Kaiser!