Libur Puasa Satu Bulan, Diciptakan Kolonial Dihapus Orba

Libur Puasa Satu Bulan, Diciptakan Kolonial Dihapus Orba

 

[desc: Dikembalikan Gus Dur, dihentikan Megawati]

 

Di bawah teriknya matahari, bel sekolah berbunyi. Anak-anak sekolah berhamburan keluar dan segera pulang ke rumah. Abang cilok atau batagor di depan sekolah tak ada, warung-warung pun sepi. Dahaga mesti ditahan, karena semua orang berpuasa. Tapi mungkin sebagian anak yang jahil akan batal puasa jam dua belas siang dengan dalih puasa setengah hari, saking tak kuatnya berpuasa sambil memikirkan tugas Matematika. 

 

Mungkin itu gambaran Ramadan yang dilakoni anak-anak sekolah di Indonesia saat ini. Membayangkan puasa dijalani dengan libur sekolah, sehingga anak-anak bisa goler-goleran sambil scrolling Twitter pasti sangat menggiurkan.

 

Seandainya … seandainya saja, Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Orde Baru, tak menghapus libur pada bulan puasa.

 

Munculnya Libur Sekolah Saat Bulan Puasa

 

Islam adalah satu-satunya milik pribumi yang tak boleh diganggu gugat. Gagasan itu menjadi alasan pemerintah kolonial meliburkan anak-anak sekolah saat bulan puasa selama 39 hari sampai Idul Fitri selesai. Kebijakan ini muncul pada awal ke-20. 

 

Gagasan ini muncul dari Dr. N. Andriani, penasihat urusan Bumiputera saat itu. Baginya, kalau urusan peribadatan, anak-anak itu mesti diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melakoninya. Urusan duniawi, termasuk sekolah, tak boleh jadi penghalang. Pemerintah kolonial tak boleh seolah-olah “mencopot” Islam dari penduduk pribumi. Orang-orang Eropa yang tinggal di tengah populasi mayoritas beragama Islam mau tak mau jadi ikut libur.

 

Sebelum ada aturan ini, setiap sekolah menerapkan aturan libur yang berbeda-beda. Ada yang tak menerapkan libur, ada yang menerapkan libur hanya untuk lebaran, ada pula yang menerapkan libur puasa sebulan penuh. Pemerintah kolonial pun memutuskan untuk menyamaratakan aturan di tiap sekolah dengan kebijakannya itu.

 

Biasanya, setelah libur tiba, anak-anak akan mengisi waktunya dengan membangunkan orang-orang sahur saat dini hari. Siangnya mereka main-main di pohon belimbing. Setelah lelah, mereka akan tidur-tiduran di langgar sembari ngabuburit. 

 

Tak hanya anak-anak, para pekerja juga iri ingin libur lebaran. Pribumi yang bekerja akan mengambil cuti ketika lebaran hampir tiba. Kalau sudah begitu, orang-orang Eropa hanya bisa pasrah. Semua kantor pemerintah dan swasta libur. 

 

Bahkan, kantor pemberitaan juga ikut libur. Koran hanya terbit sehari sebelum lebaran, itu juga untuk mengumumkan bahwa hari esok adalah Idul Fitri. Di hari Idul Fitri, koran tak ada yang terbit. Semua orang diminta ikut merayakan Tahun Baru Pribumi—begitulah orang-orang Eropa menyebut lebaran.

 

Dihapus Daoed Joesoef, Ditentang MUI

 

Kenikmatan libur sekolah saat bulan puasa mulai terusik pada tahun 1978. Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Soeharto ini, menolak kebijakan libur puasa satu bulan. Kebijakan itu hanya peraturan pemerintah kolonial untuk membodohkan anak-anak pribumi, katanya. Ia ingin mengubah libur sebulan penuh jadi beberapa hari saja.

 

“Kebijakan Belanda itu semata-mata untuk meninabobokan kita. Kalau karena libur sekolah selama sebulan penuh, anak-anak Muslim kita menjadi tertinggal keintelektualannya, yang rugi bukan Belanda tetapi kita sendiri,” ujar Daoed lewat Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran.

 

Bagi Daoed, belajar saat puasa itu menambah pahala. Sesuai dengan perintah pertama Allah pada umat manusia, “Iqra” yang artinya “bacalah”. Anak-anak Indonesia mesti belajar lebih keras untuk mengejar mutu intelektual yang lebih bagus. 

 

Tapi argumennya dibantah oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI menyatakan tradisi liburan saat puasa bukan hanya kebijakan dari pemerintah kolonial. Mengurangi kegiatan saat bulan Ramadhan adalah kebiasaan yang sudah lama dilakukan. Terlepas dari alasan pemerintah kolonial memberi libur sebulan penuh, kebijakan itu sesuai dengan aspirasi keagamaan mayoritas masyarakat Indonesia.

 

Melalui perdebatan yang alot, akhirnya Soeharto memutuskan memberlakukan libur puasa hanya beberapa hari saja. Bukan sebulan penuh.

 

Wacana Libur Puasa (Sempat) Mau Ada Lagi?

 

Kebijakan yang digagas Daoed bertahan hingga 1999. Kala Gus Dur naik jadi presiden, ia kembali menerapkan aturan era kolonial ini untuk memperkuat toleransi antar umat beragama. Kebijakan ini lantas tak berlanjut ketika Megawati menggantikan Gus Dur. 

 

Libur satu bulan saat puasa sempat disinggung lagi ketika Prabowo-Sandi maju jadi Capres-Cawapres 2019-2024. Sandiaga sempat mengatakan, libur satu bulan ini sebenarnya penting untuk anak-anak. Anak zaman now yang waktunya habis untuk main gajet, bisa memanfaatkan waktu satu bulan libur untuk dekat dengan keluarga.

 

Meski libur, bukan berarti anak-anak tak ada kegiatan. Anak-anak Muslim akan diminta ikut pesantren kilat, sedangkan anak-anak pemeluk agama lain akan difokuskan belajar di lembaga pendidikan agama masing-masing. 

 

Tapi, kata Jokowi-Makruf, kebijakan itu tak lagi efektif. Kubu Jokowi-Ma'ruf menilai bahwa Islam mengajarkan produktivitas. Meliburkan sekolah saat bulan puasa hanya akan mengurangi produktivitas. Padahal, masih banyak anak-anak yang tertinggal secara akademik. Usulan itu dikhawatirkan malah membuat anak-anak semakin tertinggal. 

 

Seolah mengamini pernyataan kubu Jokowi-Ma'ruf, Direktur Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (PUSKAPA) Universitas Indonesia, Santi Kusumaningrum, menilai kebijakan ini adalah kebijakan yang populis. Dalam dunia pendidikan sendiri, kemampuan akademik anak Indonesia masih banyak yang kurang. Seharusnya justru diprioritaskan jalan keluar untuk masalah-masalah itu.

 

Peneliti Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) Najelaa Shihab berpendapat serupa. Argumennya hampir mirip dengan Daoed Joesoef saat itu. Ibadah di bulan puasa tak terbatas hanya mengaji atau kegiatan pesantren. Tetapi belajar ilmu pengetahuan dan berkontribusi pada banyak aspek kehidupan juga ibadah. 

 

Libur sebulan penuh malah akan mempersempit definisi keIslaman, karena anak-anak diminta belajar ilmu Islam. Padahal belajar ilmu pengetahuan lain juga merupakan bagian dari Islam.

 

Apapun pro-kontranya, biarkan politisi-politisi kita saja yang berdebat. Tugas kita tinggal menyimak sambil makan opor ayam dan ketupat.