Lucky Dragon 5: Bom Nuklir dan Lahirnya Godzilla

Lucky Dragon 5: Bom Nuklir dan Lahirnya Godzilla

Oleh: Raffyanda Indrajaya

1 Maret 1954, sudah hampir 9 tahun lewat sejak bom atom dijatuhkan Amerika Serikat (AS) di Hiroshima dan Nagasaki. Namun, memori akan peristiwa tersebut masih lekat menempel di benak masyarakat Jepang. Ambisi imperialisme yang lahir pada era Meiji dan mengantarkan Jepang untuk melancarkan perang besar mereka di Asia, padam diganti dengan penafsiran kembali identitas masyarakat Jepang sebagai “korban perang” yang seketika melupakan diri mereka sebagai agressor. 

Namun, fokus tulisan ini sendiri bukan pada bagaimana masyarakat Jepang mengambil alih narasi partisipasi mereka sebagai penjahat perang. Melainkan, pada bagaimana trauma kolektif yang lahir di paruh akhir Perang Dunia ke-2, mencapai titik baru di suatu pagi hari yang sunyi.

Pelayaran Terakhir Daigo Fukuryū Maru

Daigo Fukuryū Maru, atau dalam bahasa Inggris-nya Lucky Dragon 5, merupakan sebuah kapal nelayan asal Jepang, yang pada 1 Maret 1954 tengah melaut di sekitar perairan Kepulauan Marshall. Diawaki 23 kru, kapal tersebut mengawali perjalanan mereka dengan lancar. Keseluruhan kru tidak memiliki ekspektasi apa-apa dalam pelayaran mereka kali ini. Bagi mereka, semuanya akan sama seperti ekspedisi penangkapan ikan mereka sebelumnya. 

Meski pemerintah AS memberikan pengumuman mengenai zona larangan melaut di dekat area tujuan mereka. Kru Lucky Dragon 5 tenang-tenang saja. Toh, mereka juga berada 14 mil jauhnya dari zona larangan yang sudah ditetapkan. Dengan begitu, semua business-as-usual.

Padahal kenyataannya jauh dari itu. Pemerintah AS lewat Proyek Manhattan sedang membangun bom hidrogen. Kepemilikan AS atas bom atom memberikan AS kekuatan yang belum pernah disaksikan sebelumnya oleh dunia seketika menempatkan negara tersebut sebagai hegemon global. Namun, posisi tersebut tidak bertahan lama. Karena pada 1949, Uni Soviet bergabung sebagai negara kedua dengan kapabilitas senjata nuklir.

AS dan Uni Soviet sendiri tengah berada dalam Perang Dingin. Perseteruan yang ironisnya “panas” tersebut membawa dunia yang baru saja usai dari perang besar, harus dibayang-bayangi ketakutan akan perang dunia lainnya. Kondisi ini diperkeruh dengan kepemilikan Uni Soviet atas senjata nuklir yang konsekuensinya mendorong kedua negara tersebut untuk saling berlomba menjadi negara dengan bom nuklir terbanyak dan terkuat. 

Menanggapi hal ini, AS mulai mengembangkan versi terbaru yang lebih kuat dari bom atom mereka. Perkembangan ini lahir dalam wujud bom hidrogen. Untuk mengetes kemampuan terbaru mereka ini, dalam serangkaian operasi militer yang dikenal dengan kode nama “Operation Castle”, AS melakukan beberapa peledakan terkontrol hulu ledak nuklir di Bikini Atoll, Kepulauan Marshall. Terdiri dari peledakan 6 bom hidrogen dalam jangka waktu yang berbeda. Operasi ini diawali dengan bom Castle Bravo yang meledak pada pagi buta, tanggal 1 Maret 1954.

Kilau Jingga di Ufuk Barat

86 mil dari Bikini Atoll.

Sebagian besar kru Lucky Dragon sedang tertidur saat itu. Setelah semalaman suntuk memancing ikan tuna, Yoshio Masaki menjadi orang pertama yang menyadari ada keanehan di ufuk barat kapal. Ada cahaya yang begitu terang dan mustahil untuk hadir di pagi hari. Sembilan menit kemudian, seluruh kru kapal yang kini telah terbangun, diguncang oleh dentuman kencang dari arah cahaya tersebut. Seketika beberapa awak kapal menyadari ketakutan terbesar mereka mungkin benar—mereka baru saja menyaksikan tes ledak dari senjata nuklir. 

Memang benar bahwa sebelumnya AS sudah menyebarkan pengumuman zona larangan di sekitar area tempat mereka memancing. Namun, ledakan besar ini jauh di luar ekspektasi mereka. Seluruh kru yang dilanda panik tidak segera meninggalkan area tersebut. Perlu waktu 3 jam untuk mempersiapkan kapal dan  hasil tangkapan mereka. Di waktu bersamaan, secara tiba-tiba kapal mereka dihadapkan oleh jatuhnya hujan abu radiasi yang menutup kapal dan kru yang berada di luar dengan abu. Salah satu kru yang masih kebingungan, Matashichi Oishi,  bahkan menjilat abu tersebut karena penasaran.

Hujan abu tersebut terus menutupi kapal selama 5 jam lamanya. Saat hujan telah usai, keseluruhan awak kapal mulai merasakan efek-efek awal dari radiasi: mual, pusing, dan demam. Kondisi ini membuat mereka untuk memutuskan kembali ke darat pada esok harinya. Perlu waktu dua minggu untuk sampai ke pelabuhan. Mereka akhirnya dilarikan ke rumah sakit setelah kondisi fisik mereka melemah, dengan ruam merah di sekujur tubuh dan rambut yang mulai rontok.

Meski Jepang memiliki pengalaman menangani korban radiasi nuklir, dokter yang saat itu menangani para korban belum benar-benar memahami apa yang kru Lucky Dragon alami. Baru setelah beberapa tes dilakukan, mereka didiagnosis mengalami sindrom radiasi akut dan dilarikan ke Tokyo University Hospital.

Yasushi Nishiwaki menjadi satu di antara banyaknya ilmuwan Jepang yang langsung turun untuk melihat dan mencoba menolong para korban. Ia sempat mengirimkan surat kepada Komisi Energi Atom (AEC) AS untuk menanyakan langkah-langkah penanganan korban, serta laporan dari percobaan nuklir yang AS lakukan. Namun, ia tidak pernah mendapatkan balasan. Sebaliknya, Lewis Strauss selaku ketua dari AEC justru menyatakan bahwa tidak terdapat kontaminasi apapun di luar zona uji coba bom hidrogen tersebut.

Selain minimnya bantuan yang diberikan, Pemerintah AS juga menolak untuk memberikan informasi apapun kepada publik perihal pengetesan bom hidrogen yang mereka lepaskan di Bikini Atoll. Mereka menolak untuk memberikan data konten radiasi, yang mana dapat membantu dokter dan ilmuwan Jepang dalam memberikan penanganan pada korban. Selain itu, AS juga berdalih bahwa mereka tidak bersalah karena telah memberikan zona larangan melaut di sekitar area tersebut. Meski di kemudian hari AS mengaku mereka salah mengkalkulasikan ekspektasi sebaran radiasi Castle Bravo, dan fakta bahwa Lucky Dragon 5 bukan satu-satunya kapal warga sipil yang terdampak.

Setelah berbulan-bulan panjangnya proses perawatan 23 kru Lucky Dragon, Aikichi Kuboyama menjadi satu-satunya kru kapal yang meninggal dunia karena efek radiasi. Pihak AS yang mendengar kabar tersebut menawarkan kompensasi sebesar $2,800 kepada keluarga Kuboyama. Penawaran ini awalnya ditolak, tapi setelah negosiasi panjang yang melibatkan keseluruhan awak kapal dan pemerintah Jepang, AS akhirnya bersedia untuk memberikan $15,300,000 kepada mereka.

Meski Aikichi menjadi korban jiwa tunggal dari tragedi ini, sebagian besar dari penyintas mengidap sirosis pada hati, kanker, dan komplikasi organ dalam, sebagai efek samping dari paparan radiasi nuklir. 

Reaksi Publik

Media berita Jepang menjadi yang pertama dalam mempertanyakan tes senjata nuklir AS. Media Jepang juga yang kemudian menyulut kemarahan masyarakat kepada AS yang kembali menjadikan mereka sebagai korban dari senjata nuklir.

Kemarahan publik juga menyasar pemerintah Jepang yang cenderung berada di sisi AS. Hal ini terlihat dari Okazaki Katsuo, Menteri Luar Negeri Jepang saat itu, yang menekankan bahwa pemerintah Jepang tidak akan menempuh langkah hukum, dan menyatakan bahwa pihak AS akan mengerahkan bantuan tenaga medis serta kompensasi. Ia bahkan menyatakan bahwa, meski disayangkan, tes bom nuklir dari AS hadir untuk memberikan keamanan bagi Jepang. 

Selain itu, kesadaran bahwa pengetesan senjata nuklir dilaksanakan di laut menjadikan publik bertanya-tanya akan hasill tangkapan ikan yang tercemar radiasi. Isu ini tidak lagi menjadi sesuatu yang dialami 23 awak kapal saja, melainkan keseluruhan masyarakat Jepang yang mengkonsumsi ikan secara masif.

Reaksi marah bercampur resah ini mendorong peningkatan popularitas dari sentimen anti-nuklir di Jepang. Berbagai seniman Jepang juga turut terilhami tragedi Lucky Dragon dan menuangkan keresahan akan nuklir ke dalam karya-karya mereka. Salah satu dari seniman tersebut adalah produser film, Tomoyuki Tanaka.

Tomoyuki Tanaka dan Proyek Filmnya yang Gagal

Dalam perjalanan pulang dari Jakarta, Tanaka melamun memikirkan ide film lain yang dapat menggantikan proyek gagalnya. Selama paruh awal dekade 50-an, Tanaka sebenarnya sedang giat merancang film kolaborasi studio Toho-Perfini dengan judul Eiko no Kanatani (Shadow of Glory). Tadinya, ini akan menjadi salah satu film pertama pasca perang yang melibatkan Indonesia dan Jepang. Namun nahasnya pemerintah Indonesia saat itu tidak bersedia memberikan visa kerja untuk kru film dari Jepang.

Tidak berputus asa, dalam pesawat tersebut Ia teringat bahwa masyarakat sebangsanya sedang panas-panasnya membahas tragedi Lucky Dragon dan efek negatif dari penggunaan nuklir. Kemarahan dan kecemasan kolektif ini menjadi hantu yang membayangi masyarakat Jepang sejak Hiroshima dan Nagasaki. Keadaan ini pun diperparah dengan kehadiran senjata pemusnah massal yang hulu ledaknya jauh lebih dahsyat dari bom atom

Tanaka merasa bahwa nuklir dapat menjadi tema film yang dapat menarik jumlah penonton yang besar. Ia juga teringat bahwa belakangan film-film bertema monster sedang laku keras, terlebih setelah setahun sebelumnya “The Beast from 20,000 Fathoms” berhasil mengeruk keuntungan berkali-kali lipat dari biaya produksi. Merasa sudah mantap dengan konsep tersebut, Ia langsung merancang outline untuk diserahkan kepada produser eksekutif studio Toho, Iwao Mori, yang langsung menerima dengan baik idenya.

Lahirnya “Project G”

Gagal untuk mendapatkan Senkichi Taniguchi sebagai sutradara, studio Toho kemudian merekrut Ishirō Honda yang memiliki pengalaman perang dan dinilai cocok untuk membuat film dengan narasi anti-perang dan anti-nuklir. Proyek film ini kemudian diberi kode nama “Project G” (G tersebut berarti Giant sebelum nantinya berubah menjadi Godzilla atau Kojira).

Tim yang sudah dikumpulkan tidak tinggal lama dalam segera memproduksi proyek ini, secara keseluruhan “Project G” hanya membutuhkan waktu produksi selama beberapa bulan dengan waktu shooting selama 51 hari. Takeo Murata dan Honda berperan sebagai penulis utama naskah, dan Eiji Tsuburaya bersama timnya sebagai orang yang berperan dalam mewujudkan design kostum monster dan special effect.

Produksi film ini melibatkan warga lokal Prefektur Mie yang menjadi tuan rumah lokasi produksi, serta konsultasi Pasukan Bela Diri Jepang (JSDF) yang memberikan akses pada rekaman-rekaman militer Jepang untuk digunakan sebagai rekaman stok.

Godzilla pertama ditayangkan pada layar lebar di Nagoya pada 27 Oktober 1954, dan kemudian di seluruh Jepang pada 3 November di tahun yang sama. Pada awalnya, reaksi kritik dan penonton tergolong kurang baik. Beberapa kritik menganggap bahwa studio Toho terang-terangan mengeksploitasi kehancuran pasca perang dan popularitas sentimen anti-nuklir untuk menarik penonton.

Apalagi dengan plot film yang menunjukan bangkitnya Godzilla dari dasar lautan akibat tes bom hidrogen, dan adegan-adegan awal yang menunjukan hancurnya kapal nelayan akibat Godzilla yang menyerupai kapal Lucky Dragon.

Reaksi yang lebih baik baru muncul bertahun-tahun kemudian, khususnya setelah film Godzilla diadaptasi ulang untuk penonton AS pada 1956 dengan judul “Godzilla, King of the Monsters!”. Pujian diarahkan kepada tema Godzilla yang mengkritik penggunaan senjata nuklir, dan design monster serta efek spesial yang tergolong mutakhir untuk masa-nya.

Saat ini, Godzilla bisa dibilang menjadi salah satu franchise Jepang yang besar dalam dunia perfilman. Telah ada 40 lebih film dari berbagai studio berbeda mengembangkan seri yang kini kita kenali sebagai MonsterVerse, dengan film-film baru yang terus diproduksi hingga sekarang. Godzilla yang lahir dari kecemasan kolektif masyarakat Jepang, telah menjadi ikon kultural yang terus mengkritik hubungan manusia dengan nuklir, dan bagaimana upaya manusia untuk mengontrol alam secara membabi buta dapat membawa kehancuran bagi dunia.