Maaf, Lupa

MAAF, LUPA

 

Galih Khumaeni Elbaliem

 

TL;DR
Seorang yang akan melupakan ingatan tentang saudaranya yang meninggal dalam kecelakaan. Ia menerima paket berisi implan memori dan kartu memori yang disembunyikan dalam sekarung beras. Kisah ini menyoroti konflik batin antara keinginan untuk mengingat dan tekanan sosial untuk melupakan dalam konteks kebijakan pemerintah yang otoriter.

 

Paket berisi kartu memori eksternal dan implan memori datang sehari sebelum jadwalku untuk melupakan tiba. Pengirimnya menyembunyikan dua benda itu dalam sekarung beras 5 kilo. Aku menumpahkan semuanya ke dalam baskom, lalu kubenamkan tangan kanan untuk mencari mereka. Setelah menyapu selama beberapa detik, aku menemukan mereka terbungkus kotak plastik seukuran telapak tangan.

Aku menepuk pelan kotak itu untuk membersihkan serpihan beras yang menempel, lalu kulap dengan bagian bawah baju. Kemudian aku merobek lapisan plastik yang membungkusnya dan meletakkan kartu memori, suntikan, lempeng pengunduh, dan tabung berisi implan memori di atas meja. Selama membuka paket itu, aku kerap kali melirik ke sekeliling untuk memastikan tirai dan pintu kontrakan tertutup rapat. Kepemilikan benda seperti ini menjamin panggilan ke kantor polisi, penggunaannya menjamin penjara selama beberapa bulan dan pencucian ingatan. 

Kakiku mengetuk-ngetuk lantai. Dorongan untuk menggunakan benda itu menggema keras dalam batin. Namun, aku masih takut. Bagaimana kalau ketahuan? Akan sia-sia usahaku untuk tetap mengingat. 

Ah, yang penting usaha saja dulu. Mengingat tidak akan membawa penyesalan, sedangkan sesal akibat lupa akan membebani.

Sesuai petunjuk, aku menusukkan ujung jarum suntik berisi gel yang mengandung chip implan seukuran butiran debu ke perut, bagian tubuh dengan lemak paling tebal. Panas merambat di perut sesaat setelah isi suntikan habis. Kemudian aku menusukkan ujung konverter yang sudah dipasangi kartu memori ke titik suntikan sebelumnya. Sensasi sengatan listrik ringan terasa di sekitar pusar. Itu sinyal  untuk memindahkan ingatan dari otak dan Sistem Informatika Implan Nasional Indonesia atau SI INI ke dalam implan dan kartu memori. Aku menyandarkan badan, lalu mengingat kembali semua hal tentang Budi, saudara kembarku yang mati ditabrak.

Malam itu, kami baru keluar dari apotik setelah membeli obat pereda nyeri untuk Budi yang mengeluhkan nyeri di sekitar implannya yang baru diperbarui. Mau tak mau kami mesti ke apotik langsung karena jasa pengantarannya sedang kewalahan. Daripada menunggu lama, lebih baik beli sendiri. Aku mengantarnya karena dia terlihat sedikit sempoyongan. Aku sempat memintanya untuk diam di rumah, biar kubelikan obatnya. Namun ia menolak karena sumpek dan ingin mencari udara segar.

Setelah menerima obat dan membayar, kami langsung keluar. Di halaman apotik yang juga berfungsi sebagai stasiun isi ulang baterai mobil, kami berhenti sejenak. Budi memastikan obat yang dibeli itu benar dan aku memeriksa riwayat transaksi. Implan Budi bermasalah sehingga tidak bisa masuk ke akun bank. 

Diamnya kami di halaman apotik itu ternyata berakibat fatal. Aku mendengar suara dengung mobil listrik mendekat. Otakku mengabaikan suara itu karena mengira mobil itu akan ke apotik atau ikut mengisi ulang baterai mobil. Namun suara dengung itu kian dekat, dan suara berikutnya yang kudengar adalah teriakanku yang disusul oleh dentuman keras. Aku dan Budi terlempar.

Tiga hari kemudian, aku siuman dan langsung menanyakan kabar Budi. Tidak ada yang berbohong. Keluargaku dan Rumah Sakit langsung memberitahu tentang kematian Budi.

Muncul sebuah lubang besar dalam diriku, dan aku menambalnya dengan mencari sebab dan pelaku tabrakan. Pelakunya adalah dua anak pejabat yang bertengkar di dalam mobil karena merasa lebih berhak atas uang dan aset sebuah perusahaan. Karena marah, si adik yang duduk di bangku penumpang, menyabotase kemudi otomatis dan menabrakkannya ke arah manapun dengan tujuan mencelakakan diri. Ia gagal. Mereka hanya luka ringan. Kamilah yang celaka.

Aku keluar dari rumah sakit setelah dirawat seminggu. Bersamaan dengan itu, dua adik kakak yang ada dalam kendaraan dijadikan tersangka. Sambil menjalani pemulihan, aku mengikuti proses persidangan sebagai korban. Untuk memastikan kasus itu berjalan lancar, aku dan keluarga mengeluarkan sejumlah uang yang lumayan untuk membayar pengacara manusia dan artifisial. Hasilnya hampir nihil, mereka dapat dakwaan dua bulan penjara dan wajib membayar kompensasi. Sedangkan aku harus ikut prosesi melupakan sebab kesalahan mereka telah dihukum dan aku mesti memaafkan. Dakwaan penjara itu juga sia-sia pada akhirnya karena mereka dapat keringanan jadi tahanan rumah sebab perilaku mereka selama persidangan terbilang baik dan taat. Sementara itu, kewajibanku untuk melupakan tidak berubah.

Tanggal untuk melupakan terjadwal beberapa hari kemudian. Di hari itu, aku harus datang ke kantor Dinas Kesatuan Ingatan Bangsa atau DKIB untuk melupakan. Aku menghubungi keluargaku karena penasaran dengan jadwal mereka. Ternyata aku dapat giliran terakhir.

Jadi aku akan lupa tentang keberadaan saudaraku sendiri. Begitu pula dengan ketidakadilan yang menimpa ini. Rasanya pedih. Kepedihan itu membuatku mangkir sekali dari melupakan. Sebagai balasan, mereka mengirim peringatan setiap hari lewat implanku. Akhirnya aku menjadwalkan ulang dengan memilih tanggal yang paling dekat tenggat.

Sambil menunggu tanggal melupakan tiba, aku mencari-cari cara untuk mengakali penghapusan ingatan itu. Di beberapa forum anonim, aku menemukan orang yang menjual implan dan kartu memori dengan harga mahal. Aku nekat membelinya dengan yang kompensasi yang baru cair sebagian dan sudah dipotong. 

Tanggal melupakan kian dekat. Aku sebisa mungkin merawat ingatan tentang Budi, baik dalam diriku maupun di antara keluarga. Namun itu kian berat setelah mereka selesai dengan proses melupakan. Seminggu sebelum giliranku untuk melupakan, sudah tak ada lagi keluarga yang bisa diajak bicara tentang Budi. Ia jadi asing. Data tentang Budi jadi sangat terbatas. Nama dan wajahnya masih jelas di ingatan, tapi kalau ingin mengingat lebih, implan keluargaku akan mendapat peringatan dari pemerintah. 

Pemerintah meresmikan kebijakan untuk melupakan lima tahun yang lalu. Kebijakan itu tidak muncul mendadak. Titik awalnya mungkin peresmian server Jayabaya yang menampung semua kegiatan internet warga Indonesia. Semua teks, gambar, video, suara, sampai transaksi keuangan masuk ke sana. Setelah teknologi implan yang wajib dipasang dalam kepala muncul, kegiatan di luar internet juga direkam dan diunggah ke sana, termasuk ingatan dan pikiran manusia. 

Satu server untuk semua itu jadi jalan bagi pemerintah untuk mengganti, menambah, atau mengurangi informasi yang ada. Awalnya hanya diterapkan pada informasi di internet. Setelah adanya implan, ingatan juga akhirnya bisa diubah. Kebijakan untuk melupakan muncul tak lama kemudian. Dalihnya adalah kondusifitas dan sifat orang Indonesia yang pemaaf. Penggunaan fasilitas melupakan pertama kali dilakukan saat Lebaran, hari yang identik dengan memaafkan. Sejak hari itu memaafkan harus disertai dengan melupakan. 

Sentralisasi itu menyebabkan ilegalnya implan tambahan tanpa izin negara dan kartu memori. Untungnya, banyak orang yang tetap ingin mengingat, tanpa peduli sudah memaafkan atau belum. Dua benda itu dijual dengan nama samaran beragam. Pengirimannya pun diselundupkan dalam barang lain. Awalnya, dua benda itu dijual apa adanya. Paling penggunaan mereka hanya mensyaratkan SI INI dalam keadaan luring. Namun pemerintah memasang sistem pendeteksi implan tambahan dan kartu memori di SI INI. Para pedagang pun berusaha mengakalinya dengan penambahan perangkat lunak yang menghindari deteksi dari SI INI. 

Penggunaan salah satu dari dua benda itu sebenarnya cukup. Biasanya orang-orang memilih kartu memori karena risiko rendah dan tidak perlu merusak badan dengan implan tambahan demi mengingat. Namun aku memilih untuk mengingat secara berlebihan. Aku memakai keduanya. Niatnya, aku hanya akan membeli kartu memori, tapi rasanya aku akan memisahkan diri dari ingatan tentang Budi, lalu mengingatnya lagi. Aku tidak mau berpisah dengan ingatan yang sejak awal milikku. Maka dari itu, aku juga membeli implan. 

Proses transfer ingatan ke implan tambahan dan kartu memori selesai. Perut dan kepalaku panas. Keringat bercucuran sampai membasahi baju. Aku memeriksa grafik penggunaan SI INI. Hanya ada garis datar. Kalau tidak salah, implan tambahan di perut ini mengacak SI INI dan membuatnya menganggap pengguna sedang tidur.

Aku hanya menyuntik dua kali dan memindahkan ingatan, tapi badanku lelah luar biasa, seperti sudah lari selama satu jam tanpa henti. Waktu di jam masih menunjukkan pukul empat sore. Aku memutuskan untuk tidur saja. Aku harus terlihat baik-baik saja besok.

Aku bangun setelah tidur selama lima belas jam. Matahari pagi menyelinap melalui tirai kamar. Aku sempat linglung selama beberapa menit. Aku kira matahari baru mau terbenam. Namun setelah berulang kali memeriksa jam dan mencuci wajah, aku akhirnya sadar hari telah berganti. 

Aku langsung mandi, lalu mengenakan pakaian serapi mungkin, dan berangkat menuju DKIB. Perjalanan ke sana ditemani macet, musik, dan iklan yang terpancar lewat implan. Satu jam setengah kemudian, aku tiba di DKIB. Jantungku berdebar saat lewat gerbang pengaman yang mendeteksi hal-hal mencurigakan. Dalam hati, aku berdoa lampunya tetap hijau. Doaku terkabul, pengamanan DKIB tidak mendeteksi apa pun. 

Di ruang tunggu, aku ditemani video sosialisasi melupakan. Dalam video itu, ada tanya jawab antara figur humas bentukan kecerdasan artifisial dengan Kepala DKIP,  Dr. H Nartono M.Sc. Phd.

“Kita itu bangsa pemaaf yang besar hatinya,” kata Kepala DKIP. Kalimat itu diulang tiga kali dalam satu video. 

Namaku dipanggil satu jam kemudian. Aku diantarkan ke sebuah ruang serba putih dengan mesin berbentuk tabung di tengahnya. Teknisi memintaku mengganti pakaian di sudut ruangan. Semuanya kutanggalkan, lalu diganti dengan baju hijau. Rasanya seperti di rumah sakit. Usai mengganti pakaian, aku diminta memasang dua anting di telinga. Alat itu adalah konektor langsung antara implan dengan server. 

Aku pikir prosedurnya tidak perlu serumit ini, kataku sambil menuruti perintah untuk berbaring dalam tabung. Mesin menyala. Telinga dan kepalaku memanas dan mendingin. Setelah diterpa panas dingin selama lima menit, aku diminta keluar, lalu memverifikasi ingatan tentang Budi. Di layar dekat mesin, muncul notifikasi larangan akses. Proses melupakan akhirnya selesai.

Aku tak ingin berlama-lama di tempat yang membuatku merasa berdosa itu. Bergegas, aku pulang. Sesampainya di rumah, aku mengaktifkan implan dalam perut. Tak lama kemudian, seluruh ingatan tentang Budi membanjiri kepalaku.