Magang Mania, Mantap!

“Kayanya enggak ada orang yang mau kerja lagi deh sekarang,” ucap Kim Kardashian ke Variety, 9 Maret lalu.

 

Ucapan Kim dianggap tidak ‘napak tanah’. Kok bisa? Kita sekarang berada di zaman ketika bekerja dianggap sebagai sebuah kewajiban, sebuah dorongan spiritual sekaligus ranah untuk memvalidasi diri. Lebih mengkhawatirkannya lagi, keinginan untuk kerja, kerja, kerja ini tak hanya menginfeksi orang-orang dewasa… tapi juga anak muda.

 

Naiknya kerjaisme di kalangan mahasiswa

 

Saya lahir pada 1997–tahun yang membuat saya berada di perbatasan antara generasi milenial dengan gen Z. Saya masuk kuliah pada 2015 alias tujuh tahun lalu. Ketika kuliah, teman-teman angkatan saya jarang membicarakan magang. Bahkan di kalangan yang ambisius sekalipun, mereka lebih tertarik ikut proyek penelitian dosen atau ikut program pertukaran mahasiswa ke luar negeri. Alhasil, kelas magang yang saya ikuti di semester 7 hanya diisi oleh 7 orang: saya, 1 orang teman seangkatan, dan 2 senior.

 

Magang yang saya jalani juga tidak muluk-muluk. Saya magang di museum mainan anak yang letaknya 8 km dari kos saya. Selama beberapa minggu, saya bekerja di sana sebagai fasilitator anak-anak yang tinggal di sekitar museum selama beberapa minggu. Magangnya memang tidak dibayar, tapi tidak apa-apa. Toh kerjanya santai, anggap saja kerja amal untuk museum non-profit.  

 

Empat tahun kemudian,saya mengamati sekaligus menuliskan pengalaman magang mahasiswa gen Z. Beda pengalaman magang saya dengan mereka begitu kontras; mereka dipaksa kerja melebihi kapasitasnya, mengalami kekerasan seksual, sampai diserang buzzer karena meminta haknya. Mereka mengeluhkan jadwal magang yang tak manusiawi memperburuk kondisi mental mereka sampai ke titik depresi atau bahkan keinginan bunuh diri. 

 

Walau dihajar dengan pengalaman buruk, banyak dari mereka tetap ingin magang. Kalau bisa magang selanjutnya lebih keren dari tempat magang sebelumnya. Sekilas keinginan ini terdengar kontra-produktif atau bahkan masokis. Bukankah kalau apes seperti ini, sebaiknya lebih baik istirahat dan tidak magang lagi—mengingat efek burnout cukup buruk dan bisa melekat lama?

 

Sayangnya, banyak yang menganggap ‘istirahat’ bukanlah opsi. Masih ada mata kuliah yang harus dapat nilai A, tugas magang yang dikerjakan atau aplikasi magang yang dikirimkan, dan organisasi kampus yang harus diurus. Mereka ditekan untuk terus produktif dari pagi sampai malam.

 

Tekanan-tekanan ini bisa datang dari mana saja. Misalnya dari ketakutan dianggap tidak produktif menghias CV selama kuliah sehingga sulit dapat kerja setelah lulus. Mereka sudah melihat sendiri terjalnya medan pencarian kerja. Banyak perusahaan tak lagi tertarik nama mentereng kampus dan IPK cum laude; mereka menuntut para fresh graduate untuk memiliki pengalaman kerja sebelum terpilih sebagai pekerja penuh waktu.  

 

Kedua, adanya tekanan dari kampus untuk wajib magang atau lingkar pertemanan yang ambisius dan sibuk. Berteman dengan orang-orang ambisius seperti ini akan melahirkan perasaan FOMO alias Fear of Missing Out alias takut ketinggalan zaman. 

 

Ketiga, faktor yang paling membuat saya tak habis pikir, adalah hasrat untuk aktualisasi diri lewat bekerja. Manifestasinya bisa berbeda-beda; ada yang mendapatkan kepuasan diri dan prestise karena bisa bekerja di perusahaan terkenal, ada pula yang sampai memaksa diri magang di 2-3 tempat secara bersamaan. Tak jarang mereka akan minder kalau tempat magang mereka tidak beken dan rela magang berkali-kali untuk memperbesar kesempatan mereka untuk magang di perusahaan yang lebih besar dan beken.

 

Magang, Magang, Magang

 

Fenomena ini bisa ditarik ke pasar kerja yang sangat kompetitif. Perusahaan terus meningkatkan kualifikasi pekerja entry-level mereka dengan alasan perkembangan zaman atau kebutuhan perusahaan yang semakin meningkat. Akibatnya, pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya bisa dilakukan oleh lulusan SMA atau SMK seperti tugas administrasif sekarang diberikan ke lulusan S1.

 

Apakah masalahnya berhenti di situ saja? Tidak. Banyak perusahaan mengklaim lulusan-lulusan S1 ini tidak memiliki keterampilan yang sesuai. Menurut mereka, ini karena kurikulum perusahaan sekarang tidak bisa menjawab kebutuhan industri. Belum lagi masalah jurusan kuliah yang tidak linear dengan pekerjaan yang mau diambil. 

 

Permasalahan soal lulusan S1 yang keterampilannya tak sesuai sebetulnya adalah masalah yang mengakar. Pendidikan kita sejak awal tidak pernah mempertimbangkan akan jadi apa lulusannya nanti. Banyak anak SMA dipaksa masuk IPA karena bisa masuk jurusan MIPA, teknik, dan kedokteran yang ‘lebih punya masa depan’ dibanding IPS. SMK yang lulusannya digadang-gadang bisa langsung kerjal malah berujung menganggur. Alasannya? Banyaknya lulusan SMK tidak diimbangi dengan kesempatan kerja yang memadai.  

 

Akhirnya banyak siswa memilih melanjutkan kuliah dengan harapan mempermudah jalan mendapatkan pekerjaan. Kenyataannya, para lulusan S1 mengalami masalah yang sama: kurangnya lapangan kerja dan kurangnya keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan (skill mismatch).  

 

Berhubung pemerintah tidak punya rencana yang jelas soal ini dan kampus juga tidak tahu harus melakukan apa, solusi dilemparkan ke pasar. Magang pun jadi solusi yang digadang-gadang sebagai jalan paling efektif menambah keterampilan kerja mahasiswa.

 

Namun, layaknya solusi yang dihasilkan oleh pasar, magang malah menimbulkan masalah baru. Para mahasiswa berebut mencari spot magang di perusahaan-perusahaan besar yang seringkali hanya membuka lowongan terbatas. Pilihan mereka untuk magang di perusahaan-perusahaan ini tak hanya menyangkut prestise, tapi juga harapan bahwa pengalaman magang di perusahaan besar meningkatkan kesempatan mereka untuk segera bekerja setelah lulus nanti. 

 

Tingginya tingkat kompetisi untuk magang ini justru hanya menguntungkan mahasiswa-mahasiswa dari universitas top. Mereka punya keuntungan yang lebih tinggi daripada mahasiswa-mahasiswa dari universitas kelas dua. Alhasil, magang yang seharusnya memberikan keuntungan merata ke semua mahasiswa, malah diberikan ke mahasiswa universitas top yang dari awal sudah punya privilese lebih. 

 

Perusahaan tentunya menyadari hal ini. Besarnya nilai premium yang ditempatkan ke magang membuat perusahaan memiliki kuasa yang jauh lebih tinggi terhadap anak-anak magang. Di sinilah celah bagi perusahaan-perusahaan nakal untuk melakukan eksploitasi ke mereka.  

 

Solusi?

 

Magang jelas bukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah mismatched skill. Toh, masalah pokoknya terletak di kurangnya lapangan kerja yang diakibatkan oleh industrialisasi yang stagnan. Magang bisa dibilang solusi malas dari permasalahan yang kompleks dan sistematis. Tak hanya itu, solusi ini juga malah membuat masalah baru seperti eksploitasi kerja berlebihan. 

 

Kalau pemerintah serius mengatasi masalah mismatched skill ini, ada baiknya mempertimbangkan lagi sistem pendidikan secara keseluruhan serta menginvestasikan uang, tenaga, dan waktu ke revitalisasi industri manufaktur yang padat karya.