Duta Besar Howard Palfrey Jones mengingat Rabu pagi itu sebagai hari dengan cuaca yang panas. Dalam memoarnya, Indonesia: The Possible Dream (1980), ia melukiskannya dengan agak dramatis. “Pagi hari begitu panas. Tak ada awan di langit yang biru cerah. Musim hujan belum lagi tiba, sedangkan rerumputan di halaman rumahku sudah begitu coklat bagaikan Padang Rumput Montana. Angin tipis-tipis, panas dan tidak menyegarkan, sementara aspal jalanan Kota Djakarta menjadi empuk karena meleleh lagi berdebu.”
Tanggal di kalender: 18 September 1963.
Hawa panas semakin menjadi-jadi ketika pada pukul 11 pagi, telepon di meja pak dubes berbunyi. Suara tergesa-gesa menyahut dari ujung telepon, “Ya, ampun, Pak Dubes, mereka bakar kedutaan Inggris!” Sang penelepon adalah seorang berkebangsaan Amerika yang menginap di Hotel Indonesia. Dari kamarnya tampak jelas kantor kedutaan yang dirangsek masuk dan sebuah mobil korps diplomatik Rolls-Royce yang dilalap api sesudah diserbu massa yang jumlahnya sekitar 5.000 orang.
Tepat sejak itulah krang-kring telepon dari seluruh penjuru Jakarta mengalir ke kantor Jones. Sebagian terbesar penelepon adalah orang-orang Inggris yang melaporkan vandalisme pembakaran dan penrusakan terhadap properti mereka. Jones menengarai kejadian ini sebagai ulah “gerombolan preman komunis” yang menumpang truk dan membawa minyak tanah dan bensin, berkeliling dengan alamat orang-orang Inggris yang telah disiapkan sebelumnya.
Keesokan paginya, pukul 07.00, Duta Besar Jones menemui Sukarno di Istana Negara. Tanpa membuat janji, Jones melayangkan protes keras, disertai detail seputar laporan kejadian yang ia terima. Dalam bahasa diplomatik, ia menyesali pemerintah Indonesia yang lepas tanggung jawab dan tidak melindungi orang-orang Inggris.
Sukarno menjawab protes itu dengan perintah disposisi langsung kepada Menteri Perburuhan Ahem Erningpradja, Menteri Luar Negeri Subandrio, dan Kepala Kepolisian RI, Soekarno Djojonegoro untuk membereskan masalah dan mengevakuasi keluarga orang-orang Inggris yang menjadi korban. Gusar, Sukarno bertanya, “Sudah puaskah Anda, Pak Dubes?”
Secara formal, Jones menyatakan terima kasih. Perkataan Sukarno boleh diuji. Petang hari itu, orang-orang Inggris yang sementara berlindung di kantor Jones dibantu untuk angkat koper dan diterbangkan ke Singapura dari Kemayoran. Sepenuhnya Jones sadar bahwa kejadian itu bukan pertanda apa-apa melainkan puncak dari tensi yang telah memanas selama hampir satu tahun terakhir.
Percaya atau tidak, kerusuhan 18 September pagi itu barulah permukaan dari lapis permukaan dari fragmen kejadian selanjutnya, semasa Indonesia terlibat perseteruan panjang dan habis-habisan dengan negara tetangga, Malaysia, yang diperas dalam satu kata: Konfrontasi!
Secara objektif, Malaysia tak punya alasan untuk dimusuhi. Tetapi, bukan Sukarno namanya jika tidak mampu mengendus aroma kolonialisme, apalagi yang berada dekat dengan pekarangannya. Memang, berbeda dengan Sukarno yang sejak semula bersikap pasang kuda-kuda dengan mantan penjajahnya, Tunku Abdul Rahman mengetengahkan pendirian yang moderat dan kooperatif, serta mengedepankan transisi damai bagi tanah Melayu dari koloni menjadi negara merdeka.
Pilihan Tunku tersebut sejatinya rasional. Menurut catatan Tan Tai Yong dalam Creating “Greater Malaysia”: Decolonization and Politics of Merger (2008), nilai strategis Malaya dan Singapura sebagai koloni membuat Inggris harus berpikir masak-masak jika ingin melepas keduanya. Malaya merupakan koloni dengan produksi karet dan timah yang mengirim retribusi terbesar ke Istana Buckingham, sedangkan Singapura adalah gerbang kawasan perniagaan antara Laut Cina Selatan dan Samudra Pasifik. Karenanya, rencana dekolonisasi dua koloni itu sengaja dibuat berlarut-larut (2008, h. 14).
Butuh waktu 10 tahun bagi Inggris sejak Perang Dunia II berakhir untuk yakin bahwa Malaya telah siap menjadi negara merdeka, yakni tatkala United Malays National Organization (UMNO), sebuah faksi elite nasionalis konservatif dalam pergerakan rakyat Malaya, keluar sebagai pemenang Pemilihan Umum 1955. Ketua UMNO, Tunku Abdul Rahman, menyatakan bahwa keberhasilan pemilihan umum tersebut membuktikan Malaya siap untuk menyelenggarakan pemerintahan sesuai prosedur sistem demokrasi parlementer.
Demikianlah, Federasi Malaya resmi berdiri pada 31 Agustus 1957, dengan Tunku Abdul Rahman sebagai perdana menteri pertamanya. Dalam konteks geopolitik Perang Dingin, teranglah bahwa Malaysia menjadi keberhasilan lain penetrasi Blok Barat di Asia Tenggara. Menurut Linda Sunarti dalam Persaudaraan Sepanjang Hayat? Mencari Jalan Damai Penyelesaian Konfrontasi Indonesia-Malaysia (2014), ada beberapa hal yang dapat memperkuat argumentasi tersebut.
Pertama, hubungan diplomatik Malaya lebih banyak diarahkan pada negara-negara Blok Barat dan anggota Persemakmuran; dan kedua, pemasukan ekspor-impor mereka yang hampir 70% bersumber dari Amerika Serikat dan Eropa Barat. Dengan kecenderungan pro-Barat itu, menjadi suatu anomali bahwa Indonesia–yang sejak 1955 menyatakan diri sebagai “non-blok”--menjadi negara pertama non-Persemakmuran yang mengirim korps diplomatik ke Kuala Lumpur pada 17 April 1959.
Akan tetapi, sebagai sebuah negara Malaysia tidaklah lahir di ruang vakum yang steril dan senyap. Gerakan kemerdekaan di Brunei Darussalam tengah bangkit sejak 1956. Di seberang Selat Malaka, Indonesia tengah melancarkan operasi militer menumpas PRRI/Permesta. Dari atas mereka, Tiongkok setiap waktu dapat mengirimkan agen-agen komunis yang dengan mudah membangun basis gerakan di Singapura.
Instabilitas regional itu membuat Malaysia merasa terancam, sekaligus menyediakan motivasi untuk membangun persekutuan yang lebih kuat menghadapi setiap kemungkinan ancaman dari luar. Karenanya, pada 27 Mei 1961, Tunku Abdul Rahman memajukan prakarsa agar teritorial Borneo Utara, Sarawak, Singapura, dan Brunei mempersatukan diri menjadi “Malaysia Raya”. Menurut Yong, prakarsa ini dapat ditengarai sebagai akibat dua motif: keinginan memperoleh cadangan minyak bumi Brunei dan membangun supremasi ras Melayu atas orang Tionghoa di tanah Melayu (2008, h. 6).
Prakarsa tersebut mula-mula mendapat sambutan yang ambivalen. Inggris menggarisbawahi bahwa keinginan Tunku tersebut harus cermat mempertimbangkan beberapa hal, mulai dari hubungan antaretnik Melayu dan Tionghoa, penghormatan terhadap integritas Sultan Brunei, hingga antisipasi sengketa teritorial dengan Indonesia di Kalimantan. Berbeda dengan Inggris yang ragu-ragu, Indonesia menanggapi gagasan Tunku dengan respons positif.
Dalam pidato di Sidang Majelis Umum PBB tanggal 20 November 1961, Menteri Luar Negeri RI, Soebandrio, menyatakan bahwa Indonesia “tidak mempunyai keberatan” terhadap rencana pembentukan Malaysia, selama rencana itu sepenuhnya berdasarkan aspirasi rakyat. Tak ketinggalan, Soebandrio juga mengucapkan selamat dan sukses untuk persiapan pembentukan Malaysia sebagai negara yang nantinya akan bertetangga dengan Indonesia.
Meski Menteri Luar Negeri Soebandrio menyatakan “tidak mempunyai keberatan”, tidak berarti pendirian yang seragam terjadi di Indonesia. Dalam hal ini, suara penolakan paling lantang dibawakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), yang secara tegas mengecam rencana pembentukan Federasi Malaysia dalam “Statement dan Resolusi Comite Central” tertanggal 31 Desember 1961, atau satu setengah bulan sesudah pernyataan Soebandrio di Sidang Majelis Umum PBB.
Dipa Nusantara Aidit, Ketua CC PKI, mengklaim pendirian itu didasarkan pada indikasi kuat yang ditemukan PKI bahwa besarnya kepentingan Inggris untuk pendirian Malaysia merupakan perwujudan neokolonialisme, atau dalam istilahnya, “[....] hasil kompromi imperialisme Inggeris dan kaum reaksioner di Malaja dalam membasmi gerakan progresif di Malaja”. Pendirian ini dipertahankan dan secara resmi diadopsi menjadi pendirian institusional PKI dalam Kongres Nasional VII (Luar Biasa) yang diadakan di Jakarta pada 25-30 April 1962.
Walau pendirian PKI diamplifikasi cukup jamak melalui surat kabar Harian Rakjat, butuh waktu delapan bulan sampai pemerintah Indonesia menerima dan mempercayai kebenaran pendirian tersebut, yakni saat Pemberontakan Brunei pecah pada 8 Desember 1962. Dipimpin oleh A.M. Azahari, ia memproklamasikan berdirinya “Negara Kesatuan Kalimantan Utara” dari sebuah hotel di Manila, Filipina. Tidak mengherankan, jika HR kemudian mencetuskan istilah “Revolusi Kalimantan Utara” bagi kejadian ini. Secara simultan, HR pun mulai membiasakan penulisan Malaysia dengan diapit tanda petik menjadi “Malaysia”, sebuah lambang keengganan untuk mengakui negeri jiran itu sebagai entitas negara berdaulat.
Sebagai dalih, Pemberontakan Brunei berfungsi sangat optimal bagi pemerintah Indonesia untuk membenarkan kecurigaan akan intensi pembentukan Malaysia selama ini. Menurut Matthew Jones dalam Conflict and Confrontation in Southeast Asia 1961–1965 (2001), keberatan Indonesia didasarkan pada perjanjian strategis Inggris dan Malaya pada 1957, yang memungkinkan Inggris mendirikan pangkalan militer di Singapura atau tepat di pekarangan Indonesia. Tidak ada jaminan bahwa sesudah Malaysia berdiri, Inggris akan meminta juga Sarawak sebagai pangkalan militernya, atau tepat di bibir Indonesia. Karena kecurigaan itu, dua hari sesudah pemberontakan pecah, Presiden Sukarno secara mengejutkan menyatakan dukungan pada pemberontakan yang ia sebut sebagai “ekspresi perjuangan Nefos yang menguntungkan Indonesia”.
Tanggapan positif Sukarno terhadap kejadian yang disebut Tunku sebagai “pendurhakaan” itu mengafirmasi keyakinan Tunku bahwa Indonesia berada di balik pemberontakan. Ditambah lagi, jejak masa lalu Azahari yang pernah menjadi prajurit Tentara Keamanan Rakjat pada masa Revolusi Fisik di Indonesia serta kedekatan corak nasionalisme Azahari dan pemikiran Sukarno menjadi bukti yang digunakan Tunku untuk meruncingkan tuduhan itu. Bagi Tunku, pasukan Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) yang dibentuk Azahari sebagai ujung tombak pemberontakan Brunei adalah imitasi TNI yang kelak akan merongrong kedaulatan sehingga mengancam masa depan Malaysia.
Empat puluh hari sejak Sukarno menyatakan dukungan kepada Azahari menjadi kurun paling menentukan dalam sejarah hubungan antarnegara. Puncaknya, pada 20 Januari 1963, tepat hari ini 60 tahun lalu, dalam sebuah pidato di Yogyakarta, Soebandrio mencetuskan untuk pertama kalinya bahwa Indonesia harus menempuh kebijakan “konfrontasi” terhadap rencana Malaysia karena ia terbukti sebagai kaki tangan neokapitalisme dan neoimperialisme yang memusuhi Indonesia.
Pernyataan Soebandrio pada 20 Januari 1963 bermanifestasi dalam sebuah kampanye resmi yang diluncurkan Sukarno pada 13 Februari 1963, yang menyatakan bahwa permusuhan Indonesia terhadap Malaysia tidak lain merupakan sebuah masalah prinsip, a matter of principle. Sukarno menambahkan, pembentukan Malaysia baginya adalah upaya mengepung Indonesia yang saat itu aktif mengampanyekan pembebasan Asia-Afrika dari kolonialisme dan imperialisme.
Serangan pendahuluan yang dicatat dalam kerangka Konfrontasi adalah insiden penyerangan pos polisi Divisi 1 Sarawak di Tebedu pada 12 April 1963. Enam puluh pasukan TNKU tak berseragam melakukan penyerangan yang cepat dipatahkan, meski dampaknya dianggap signifikan bagi eskalasi konflik di kemudian hari. “Bagi pemerintahan London, insiden Tebedu tampaknya bukan meringankan biaya membangun pertahanan bagi koloni di Asia Tenggara, melainkan sebaliknya, mengancam bahwa peningkatan anggaran terpaksa harus dilakukan,” catat Jones (2001, h. 144).
Tentu saja, usaha untuk mendinginkan tensi politik di Malaya bukannya tak ada. Pemimpin ketiga negara berseteru, yakni Sukarno, Diosdado Macapagal, dan Tunku Abdul Rahman, sepakat untuk bertemu di Manila dan mencetuskan ide membentuk kerja sama regional “Maphilindo”. Dalam konferensi ini, Sukarno mengajukan gagasan bahwa harus ada jajak pendapat yang transparan dan difasilitasi PBB untuk mengetahui aspirasi rakyat Malaya sesungguhnya. Sebaliknya, Tunku menolak adanya plebisit berbentuk apapun sebelum Malaysia berdiri sebagai sebuah negara.
Sebuah jajak pendapat diselenggarakan PBB pada Agustus 1963 dan kesepakatan sejak awal adalah apapun hasilnya, ketiga pihak harus bersedia menerima. Akan tetapi, sebelum hasil plebisit keluar, Tunku secara sepihak menyatakan bahwa Malaysia akan tetap didirikan pada 31 Agustus sesuai rencana –pernyataan yang membuat Sukarno marah besar.
Upaya melunakkan sikap lewat diplomasi berantakan, dan pada 16 September 1963, sebuah demonstrasi yang dilancarkan di depan Kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur ditengarai sebagai provokasi. Foto Sukarno dibakar dan lambang burung Garuda diinjak-injak. Terhitung 17 September 1963, Duta Besar Malaya di Djakarta, Dato Haji Kamarruddin ditarik pulang, menandakan putusnya hubungan diplomatik antarkedua negara.
Sejarah selanjutnya bertutur betapa Indonesia mengerahkan seluruh upaya untuk menghancurkan Malaysia, dengan fragmen terbesar di dalamnya adalah pengerahan pasukan sukarelawan dalam “Dwi Komando Rakjat” yang dikumandangkan Sukarno pada 3 Mei 1964. Sampai hari ini, kalau Anda menelusuri kanal YouTube, masih ada beberapa artefak kultural yang mengabadikan periode ini dalam lagu, termasuk lagu “Maju Sukarelawan” yang berirama mars dan lagu “Kalimantan Utara” yang dimodifikasi Joko Anwar sebagai soundtrack film Pengabdi Setan.
Di aras diplomatik, artikulasi permusuhan Indonesia memuncak tatkala undangan kepada Malaysia agar dapat duduk sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB dijawab Indonesia dengan langkah keluar dari organisasi itu pada 7 Januari 1965. Sebagai gantinya, Indonesia merencanakan sebuah PBB baru yang fokus pada cita-cita anti-neokolonialisme, anti-kolonialisme, dan anti-imperialisme bernama Conference of New Emerging Forces atau Conefo.
Sukarno bercita-cita agar markas Conefo, bersama tengara perjuangan Dunia Ketiga lain yakni Gelora Bung Karno dan Wisma Warta dapat tegak berdiri di Jakarta. Hari ini, gedung calon markas PBB baru yang tak pernah terbentuk itu masih tegak berdiri di bilangan Senayan. Ialah gedung yang hari ini dikenal sebagai “Gedung Kura-kura”, gedung utama dalam Kompleks Parlemen RI.
Dalam peta geopolitik, masa-masa ini menandai klimaks hubungan Indonesia dan Tiongkok, sekaligus kulminasi seluruh kiprah Indonesia memimpin perjuangan Asia-Afrika. Sementara dalam riwayat hubungan antara Indonesia dan Malaysia, riwayat 43 bulan Konfrontasi menjadi episode paling kritis yang berhasil diselesaikan lewat perjanjian damai pada 11 Agustus 1966; perjanjian yang melegakan banyak orang, termasuk P.K. Ojong yang menulis di rubrik “Kompasiana” bahwa perubahan terbesar ialah mulai hari itu, kita dapat menulis Malaysia tanpa diapit tanda petik (*).