Majelis Lidah Berduri Bikin Saya Krisis Eksistensial dan Mempertanyakan Arti Pulang Kampung

Majelis Lidah Berduri Bikin Saya Krisis Eksistensial dan Mempertanyakan Arti Pulang Kampung

Review single terbaru Majelis Lidah Berduri

Majelis Lidah Berduri, yang sebelumnya bernama Melancholic Bitch, memang selalu mengejutkan. Di suatu waktu, Melbi—panggilan akrab band ini—mengejutkanmu dengan meluncurkan album setelah sekian lama tidak. Di waktu yang lain, mereka akan lumayan rutin manggung setelah mengambil jeda sekian lama. DI hari lain, mereka sekonyong-konyong mengganti nama band.

Ketimbang sebuah band, Melbi lebih mirip bapak-bapak yang iseng—kadang menyiram tanaman dengan air comberan, kadang duduk melamun di kursi depan, kadang membakar sampah dan bikin satu desa gangguan pernapasan.

Baru-baru ini, Melbi mengejutkan para pendengar melalui single baru bertajuk Pulang Kampung. Lagu ini adalah puisi milik penyair Gunawan Maryanto. Versi demo lagu ini, sebenarnya, pernah direkam pada 2013 lalu. Beberapa orang sudah pernah mendengar. Beberapa orang lain pernah mendengar dan menyaksikan langsung Melbi membawakan lagu ini di tahun 2022, di acara 100 hari meninggalnya Gunawan Maryanto. 

Saat itu saya menyaksikannya di YouTube. Hanyut dan terbuai seketika. Tapi seiring waktu, lagu itu hilang bersama angin. Baru saat Melbi mengabarkan perilisan single ini, saya dengan khidmat mendengarnya. Berulang-ulang.

Dari penggarapan musik, tak ada yang mengejutkan. Lagu dibuka dengan genjrengan gitar, melodi manis dan menyisipkan suara bass yang genit. Ugoran Prasad langsung membuka lagu ini:

apa yang mereka lakukan di ruang ini. 
benda-benda tak bergerak
kata-kata berhenti 
sudahlah, sama-sama

Lanjut ke verse kedua:

apa yang mereka lakukan di ruang ini. 
benda-benda tak bergerak dari tempatnya. 
kata-kata berhenti di satu masa.
sudahlah, kita bangsat, sama-sama tak selamat

Usai membuat kita merenung di sudut ruangan, lagu terus berlanjut:

terimalah kedatanganku, sebagaimana kau menerima kepergianku.
cinta bikin kita tua dan lekas lupa. 
hanya berdebar sebentar di lebaran. 
dan mengulangnya lagi di tahun depan

Demi apa pun, membahas pulang kampung saat jelang lebaran bagi saya sama artinya dengan melantunkan lagu patah hati kepada orang yang baru putus cinta.

Tak hanya merilis lagu, Pulang Kampung hadir dalam format video klip yang sama menawan dengan liriknya. 

Video ini dibuka dengan menampilkan barang-barang bawaan berjubal di pantat motor. Dengan fisheye yang sedikit mengingatkan kita pada ‘little planet’ di video Humble milik Kendrick Lamar—mungkin shot video Melbi ini juga dilakukan dengan go-pro. Dunia cembung itu hanya sepertiga bagian motor yang penuh sesak. Saya membayangkan respons penonton mungkin beragam: ada yang sebal dengan crop-nya yang aneh, ada juga yang penasaran tentang siapa si pengendara. Crop aneh itu bukan dilakukan tanpa alasan. Ia menyembunyikan sesuatu.

Seiring lagu berlanjut, informasi dibuka sedikit: pengendara adalah seorang bapak berpeci dan kacamata hitam dan kemeja putih (diperankan oleh Bendol Rwonsix). Ia menatap jalanan dengan sangat fokus, dan lagi-lagi dengan crop tak biasa, yang membuat kita menduga apa lagi yang disembunyikan di dalam frame ini?

Apa yang mereka lakukan? Tanya Ugoran Prasad, dan frame menampilkan kepala si bapak dengan pelan-pelan. Kita bisa melihat sepotong helm di depannya, tetapi kita tidak tahu siapa pemilik helm itu.

Ketika drum masuk, layar menampilkan seorang bocah (diperankan oleh Ragnala Minerva Divija) ber-helm kecil dan pakai kacamata funky khas bocil dan bebek dengan baling-baling di kepalanya. Sampai di sini kita mendapat gambaran utuh tentang apa yang mereka lakukan? Mereka tengah dalam perjalanan mudik.

Keduanya melintasi jalan raya sepanjang lagu. Ada kala si bapak berkendara dengan tangan satu, membenarkan posisi helm si anak yang sama sekali tidak SNI. Batok kepala motor yang nyaris copot dan hanya mengandalkan rekatan lakban. Kaca spion yang cuma sebelah kanan. Botol air minum berisi air yang bergoyang-goyang di atas spakbor depan, yang menandakan bahwa keduanya tengah melakukan perjalanan jauh. 

Si bapak kelihatan santai saja, ia mengendarai motor dengan penuh percaya diri seolah itulah kendaraan paling aman sedunia—seolah seluruh benda paling berbahaya di dunia ini akan jadi sangat aman di tangannya, sementara si anak celingak-celinguk sepanjang perjalanan. Tetapi kejutan dalam frame belum berhenti sampai di situ: ternyata selama ini si anak menggendong boneka.

Adegan mudik di atas: memakai motor bebek tua untuk keperluan jarak jauh, membebani motor dengan aneka rupa barang keperluan hidup dan oleh-oleh, memakai peci—seolah peci dapat melindungi kamu dari hantaman aspal—dan helm yang tak lebih aman dari sepeda roda satu, spion cuma sebelah, dan mungkin pajak motor yang nunggak dua tahun. Tak ada yang aman dari adegan berkendara motor di video ini, tetapi apa yang ditampilkan di dalam video klip ini adalah pantulan dari kenyataan: Kau akan dengan mudah menemukan ‘pengendara motor yang tak mengindahkan keamanan’ saat musim mudik tiba.

Mereka menjalami ritual tahunan, berbondong-bondong mudik ke kampung halaman menggunakan sepeda motor. Hanya itu alat transportasi yang mereka miliki dan mereka akan mengendarainya meski harus mudik ke neraka sekali pun. Dalam urusan ini, tampaknya iman melampaui keamanan.

Di tahun 2023 ini, Kemenhub memprediksi akan ada 25,13 juta pemudik menggunakan sepeda motor. Jumlah itu setara dengan 20,3% total prediksi warga Indonesia mudik yang mencapai 123,8 juta orang.

Tingginya jumlah pemudik yang menggunakan sepeda motor tersebut, bikin Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi harus angkat bicara. Ia mengimbau masyarakat untuk tak menggunakan sepeda motor ketika saat mudik Lebaran. Pasalnya, risiko kecelakaan lalu lintas jika mudik dengan sepeda motor sangat tinggi. 

"Sekali lagi dengan segala kerendahan hati, kami menghimbau masyarakat tidak pulang mudik dengan motor," ujar Budi.

Tapi, siapa yang sanggup menahan hasrat dan rindu yang bergejolak akan kampung halaman dan sanak keluarga? Bukankah ketika panggilan pulang kampung itu datang, kita seakan tak bisa menghindar dan akan selalu mengusahakan, bahkan dengan motor sekalipun.

hanya berdebar sebentar di lebaran. 
dan mengulangnya lagi di tahun depan.

Untuk Apa Kita Pulang Kampung?

Malin Kundang berjalan jauh ke negeri orang. Kehidupannya sudah berubah. Ia bukan lagi anak muda yang miskin dan papa sebagaimana saat ia pergi meninggalkan kampung halamannya. Tapi, kampung halaman terus memanggilnya. Ia terdesak dan tak bisa melawan panggilan itu.

Saat tiba di kampung halaman, ia kaget melihat ibunya sudah tua dan lusuh. Lantaran malu dengan istri dan rombongan, ia harus mengelak jika ibu tua nan lusuh itu adalah ibunya. 

“Kamu bukan ibuku,” kata Malin Kundang.

Ibu Malin sedih bukan main. Saat kapal malin beranjak meninggalkan pelabuhan, kampung Malin, sambil menangis ibu malin berbisik. Tapi bisikan itu bergemuruh di langit. 

“Celakalah kamu anakku, Malin Kundang. Kau telah menyakiti hati ibumu. Celakalah engkau. Aku kutuk kau menjadi batu.”

Malin Kundang, rombongan dan kapal yang ia tumpangi seketika berubah batu.

Cerita Malin Kundang lalu diabadikan lewat dongeng yang diceritakan ibu kepada anaknya sebelum tidur. Dongeng itu mengekal di ingatan setiap yang mendengarnya. Dongeng itu pulalah yang membuat orang yang pernah mendengarnya-atau setidaknya bagi saya– merasa pulang kampung itu menjadi kewajiban. Kalau tidak, kau akan celaka seperti Malin Kundang.

Pulang kampung menjelang lebaran juga dikenal dengan istilah mudik. Secara kultural mudik memang sebuah warisan atau bahkan keharusan. Tapi secara moral dan spiritual mudik juga menjadi wujud bakti anak kepada orang tua, keluarga dan kampung halaman.

Ritual di hari raya seperti sungkeman, bermaaf-maafan hingga berziarah mendoakan anggota keluarga yang telah tiada menunjukkan jika mudik bukan hanya perjalanan fisik namun juga rohani. 

Sungkeman atau cium tangan orang tua bukan hanya bentuk kontak fisik melainkan memiliki makna secara spiritual karena orang tua dapat dianggap sebagai perantara bagi seorang anak mendapat berkah Tuhan. Pada akhirnya ikatan batin dengan orang tua serta kewajiban mendoakan anggota keluarga seperti ini turut melestarikan melestarikan tradisi mudik. 

Rasa kekeluargaan itu mendebarkan,
dan kita mengulangi lagi tahun depan.

Kalau mau lebih jujur, bukankah mudik jadi momentum untuk ajang pamer kesuksesan di rantau dibawa pulang ke kampung? Saya sering kali melihatnya saat pulang kampung ke tanah Minangkabau tercinta. Tanahnya para perantau yang katanya “harus sukses” di rantau orang. 

Di ajang lebaran, perantau-perantau ini kerap menceritakan ulang pencapaian yang sudah ia rengkuh di tanah rantau.

“Saya sudah punya ini,” atau “Wah jabatan saya sudah tinggi sekali.”

Memang tak semua, tapi yang jelas pernyataan saya ini tak mengada-ada. Hal itu bahkan sudah terjadi sejak lama. Penulis Muhammad Radjab lewat bukunya Semasa Kecil di Kampung bahkan sudah menulis ini jauh hari-hari.

“Para pemuda pedagang itu melagaklah, mondar-mandir di jalan kampung, daam sehari empat kali berganti pakaian, supaya diketahui orang semua yang tersimpan di dalam kopernya. Ada yang memakai sepatu dansa di jalan yang banyak batu dan tajam-tajam kerikilnya, ada yang memakai jas hujan di panas terik….”

“Yang baru bercincin emas, berlian permatanya, jika lagu bercakap-cakap di leoau, sambil mengatakan bahwa sangat panas, antara tiga menit menyeka keningnya, supaya cincin berliannya dilihat dan dikagumi orang.”

Dengan sendirinya, mudik menjadi media yang bertugas mengabarkan bagaimana kondisimu saat ini. Maka tak perlu heran jika orang harus bersusah payah untuk hal itu. Jika kamu tak mudik, bisa saja kamu dituduh sebagai orang kalah yang tak punya uang untuk beli tiket lebaran. Sudahlah jangan kaget, dunia–termasuk kampung halaman– memang selalu memberi ruang besar untuk pemenang. Tak ada cerita buat orang yang merasai dan kalah di tanah rantau.

Karena itulah, dua pemuda asal Palembang nekat mencuri baju dan sepatu di sebuah mal di kawasan Tambora, Jakarta Barat. Mereka tak ingin menjadi kalah dan tak punya uang saat mudik.

Di ujung tulisan ini, saya sebagaimana yang dinyanyikan Melbi cuma mau bilang: Sudahlah kita bangsat, sama-sama tak selamat. Lewat Pulang Kampung, Melbi membuat saya bertanya ulang: benarkah kekeluargaan dan rindu membuat kita benar-benar ingin pulang kampung, atau sesungguhnya kita punya motif terselubung?