“Selamat datang di Jurno, selamat menikmati hidangan bacaan kuliner kami,” adalah hal yang ingin saya sampaikan kepada seluruh pembaca. Nampaknya, bulan ini Anda disuguhi makanan-makanan yang sedap lewat tulisan, bukan? Melanjut dari topik kuliner lainnya, ada perkara kuliner yang ingin saya bahas sedikit. Pertama-tama, mohon maaf, tulisan ini akan nyerempet soal politik dan peran makanan sebagai sarana diplomasi. Yah, bolehlah, ya, berhubung sekarang juga politik sedang panas-panasnya, mari kita ademkan dengan santapan.
Diplomasi Antar Negara Lewat Budaya
Ada banyak cara yang dilakukan antar negara untuk menjalin hubungan baik, mulai dari diplomasi militer, diplomasi ziarah hingga gastrodiplomasi. Mungkin sebagian agak asing, “apa itu gastrodiplomasi?”. Saya pun awalnya juga tak familiar. Namun, beginilah singkatnya. Gastrodiplomasi adalah cara diplomasi lewat perkenalan budaya, salah satunya adalah lewat makanan.
Diplomasi ini bertujuan untuk memperkenalkan masakan dari suatu negara ke berbagai negara lainnya. Sebenarnya, gastrodiplomasi dari makanan sudah gencar dilakukan Indonesia, terutama sejak 2010, kala Obama menjadi presiden Amerika Serikat. Kecintaannya terhadap bakso berhasil membuat kuliner itu melanglang buana, bakso dilabeli sebagai “sup kesukaan Presiden Obama waktu kecil”, Obama bahkan digadang-gadang sebagai Duta Bakso. Dampaknya, ya, tentu saja, bekennya Obama membawa beken pula makanan bakso.
Hubungan diplomatik lewat santapan akhirnya direalisasikan ke berbagai bentuk. Bersama Amerika Serikat saja, setidaknya terdapat empat pagelaran kuliner Indonesia: Summer Fancy Food (sejak 2012), National Restaurant Association (2016), Indonesia Culinary Festival (2016), Indonesia-Indiana Business Luncheon (2017). Adapun makanan yang kerap dibawa untuk diperkenalkan pada mancanegara, misalnya gado-gado, soto, sate ayam, kopi gayo, serta dua jagoan untuk meluluhlantakkan lidah, yakni rendang dan nasi goreng.
Lalu, contoh kedua, jalinan diplomatik kuliner Indonesia bersama Inggris juga tak kalah tersohor. Oxford Gamelan Society bekerja sama dengan Kedutaan Besar RI di London menggelar pameran makanan Indonesia seperti rendang, tempe, bakso, sate ayam, soto, pempek dkk. Tak ditampik, sederet upaya itu membuat anak emas Indonesia, si rendang, masuk ke dalam World’s 50 Best Food dari CNN. Apalagi sekarang, Indonesia sedang mencanangkan gastrodiplomasi nasi bungkus juga. Mungkin sebentar lagi angkringan akan mendunia.
Gastrodiplomasi Ala Sutan Sjahrir
Jauh sebelum era modern dengan berbagai festival kuliner ini, Indonesia pernah berdiplomasi melalui bahan makanan, padahal usia negara ini belum menyentuh satu tahun saat itu. Setelah euforia kemerdekaan pada 1945, Indonesia mendapat gempuran dari Belanda yang ngamuk, ingin bekas tanah koloni jadi miliknya lagi.
Indonesia yang saat itu sedang berusaha memperkenalkan diri sebagai ‘negara baru’ pada dunia, justru dapat blokade habis-habisan dari Belanda. Adat pasang berturun naik, habis senang-senang merdeka, nyatanya, bahaya tetap ada. Dalam rangka menembus blokade Belanda sekaligus gugahan rasa kemanusiaan, Sutan Sjahrir mengusulkan pengiriman lima ribu ton beras kepada India yang sedang dilanda kelaparan.
Saat itu, hingga 5-10 ribu orang di India meninggal karena kelaparan. Sutan Sjahrir dan wakil pemerintahan India, K.L. Punjabi akhirnya membuat perjanjian, Indonesia akan mengirimkan beras dan India yang menyiapkan akomodasinya. Peristiwa ini dikenal dengan India Rice. Sebagai balasannya, India mengirimkan obat-obatan untuk Indonesia yang saat itu sedang ditodong oleh moncong meriam Belanda.
Sambil menyelam minum air, India Rice juga memberikan Indonesia sebuah exposure di mata dunia. Pemberitaan dunia digemparkan dengan negara yang baru lahir, namun berhasil memberikan bantuan untuk negara lain. Indonesia lantas mendapat simpati dan kawan-kawan baru yakni India, Suriah, Irak dll. Semula, pengakuan atas kemerdekaan Indonesia hanya berasal dari Mesir.
Apalagi saat itu, Inggris yang tahu bagaimana terkaparnya India ikut berkontribusi mengirimkan batu bara untuk bahan bakar kapal pengangkutan beras. Makin menterenglah posisi Indonesia di mata dunia, bahkan di mata bekas penjajahnya. Selain pengakuan dunia, pintu kesempatan melakukan perundingan antara Indonesia dengan Belanda kembali terbuka. Hal ini yang membawa pertempuran Indonesia versus Belanda memasuki babak perundingan.
Saya yakin, sebagian dari kalian dulu dibuat mumet dengan pelajaran sejarah soal perundingan Indonesia-Belanda, mulai dari Linggarjati, Renville, Roem-Royen, dan Konferensi Meja Bundar (KMB). KMB menjadi titik puncak Indonesia mendapat pengakuan dari Belanda, apalagi setelah negara-negara digdaya menekan Belanda untuk mengakui Indonesia. Habis sudah harapan Belanda untuk kembali menjajah Indonesia.
Siapa sangka, sebuah beras—makanan sehari-hari kita—dulu turut membawa Indonesia berhasil mendapatkan pengakuan kedaulatan dari kancah internasional.