Makananku, Ceritaku: Potongan Daging Cincang yang Memanggil Pulang

Potongan Daging Cincang yang Memanggil Pulang

Sebelum saya dan saudara satu-persatu meninggalkan rumah untuk merantau, keluarga kecil kami biasanya sering membeli satu bungkus nasi yang dibeli dari lapau atau lazim dikenal sebagai “warung nasi padang”. Saya, abang, dan dua adik saya dipanggil Amak untuk berkumpul sebelum adzan dzuhur untuk makan bajamba atau makan bersama. Kami rutin melakukan kegiatan ini, terutama ketika hari libur.

Dengan pikiran yang masih mengawang karena baru bangun tidur, saya biasanya ditugaskan untuk membeli nasi bungkus di sebuah restoran dekat Jam Gadang. “Bungkuih cancang ciek om, kuahnyo banyakan” (Bungkus satu nasi cincang om, kuahnya dibanyakin”, ucap saya. Si pelayan yang terlihat sudah bosan melihat saya tanpa basa-basi langsung membersihkan potongan daun pisang yang digunakan sebagai bantalan bungkusan. Dengan sigap ia meracik isi dalam bungkusan tersebut lengkap dengan daun singkong juga sambal yang pedas menyengat. Sembari menunggu, saya melihat wisatawan yang lalu-lalang pada kilometer nol Kota Bukittinggi tersebut. Penjual balon, penjual buah yang memajang dagangan pada etalase kaca, bahkan penjual gulali yang sudah tua ikut meramaikan pandangan.

 “CETASSS!” Bunyi tamparan karet ke permukaan bungkus nasi terdengar. Suara tersebut menjadi lonceng pertanda pesanan sudah siap diangkut. Daging cincang adalah menu favorit kami sekeluarga karena jumlah lauknya lebih banyak daripada lauk yang lain. Satu keluarga yang terdiri dari enam orang mengharuskan kami untuk memilih lauk yang banyak untuk meminimalisir pertikaian saat makan.

Bungkusan berminyak tersebut saya tenteng. Semua orang yang menunggu di rumah sudah berkumpul. Tidak lupa kursi dan meja di ruang tamu dipinggirkan agar rumah terasa lebih lapang. Faiz, si anak paling bungsu, mengambil koran bekas sebagai alas agar remahan nasi dan kuah yang tercecer tidak mengotori ubin ruang tamu yang sudah dipel Amak pada pagi hari.

Semua telah melingkar, bungkusan nasi sudah dihamparkan, tetapi ada satu ruang pada lingkaran yang belum genap menjadi enam orang belum terisi. Apak belum pulang dari surau. Kami tidak akan menyentuh nasi sebelum semua anggota keluarga lengkap.

Salam terakhir pada speaker masjid terdengar. Menandakan shalat berjamaah telah usai. Apak datang dengan setelan baju putih, sarung, dan kopiah favoritnya. Melihat semua pasukan telah berkumpul, Apak dengan cekatan mengganti pakaian yang digunakan untuk beribadah tersebut. Celetukan “plah makan wak lai!” (ayo kita makan) seakan terdengar seperti letusan bedil penanda balap lari telah dimulai.

Suapan pertama dimulai oleh Apak. Bagai para tentara yang mendekati musuh, kami berempat dengan sigap mengamankan potongan daging masing-masing. Pada saat perburuan daging berlangsung, terlihat Amak dengan tenang melahap daun pucuk ubi dengan secuil daging cincang yang tersisihkan. Ia tak ikut perburuan lauk karena memang tidak ada yang akan menargetkan sayuran sebagai prioritas santapan pertama. 

Suap demi suap, tak terasa bungkusan nasi yang dihajar enam orang tersebut tidak cukup. Nasi belum habis setengah, Zacky si anak ketiga inisiatif untuk mengambil nasi tambuah yang masih hangat dari rice cooker. Alfan, si anak sulung, pada tahap ini biasanya masih mengais gundukan nasi yang belum tercampur kuah tersebut. Bagai membongkar sebuah peti harta karun, ia berharap masih ada gomok dari daging cincang yang sudah membaur dengan nasi.

Seberapapun banyaknya, satu bungkus yang telah ditambah satu onggok nasi tambuah tersebut terasa tidak cukup untuk kami. Dengan nasi yang     masih menempel di tangan, saya bergegas menuju warung Apak yang berada di depan rumah untuk mengambil keripik balado yang tergantung di dekat terali besi. Satu periuk nasi juga sudah dihamparkan di atas bungkusan, keripik yang tadi saya bawa juga telah ditaburkan di atas nasi yang masih putih tersebut. Santapan kami berlanjut sampai pada akhirnya tidak menyisakan satu butir nasi pun.

Beberapa dari kami masih ada yang belum puas, karena memang porsinya harus dicukup-cukupkan jika nasi tambahan tidak cukup dan kuahnya telah kering. Momen ini seakan menjadi jeda di antara hiruk pikuk monyet yang rusuh karena Ngarai Sianok sudah tidak lagi memberi mereka makan. Kerutan di dahi Apak sedikit berkurang karena melihat perut anaknya sudah terisi. Sebelum pamit menuju dapur untuk membasuh tangan, Apak meneguk air hangat yang sudah diambilkan Faiz. Kegiatan sakral telah usai, Apak harus kembali menjaga warung. Warung tersebut seakan menjadi epitome kerja keras Apak, sebab keuntungan dari warung tersebut diharapkan bisa membuat dapur Amak tetap berasap dan empat anak laki-lakinya tetap bisa melanjutkan pendidikan.

***

Sore hari ketika sedang menjalani hari yang begini-begini saja dan masih luntang-lantung di jalanan tanah rantau tanpa kompas yang terukur, seorang teman mengirimkan sebuah pesan melalui Instagram, “Tulis topik ini nih, sesuai dengan keresahanmu yang lidahnya ngambek kalau ga disiram kuah santan”. Saya membuka pesan tersebut dan mendapati Jurno sedang mengangkat tema “Makananku, Ceritaku”.

Setelah teman saya mengirimkan pesan tersebut, seketika saya teringat kenangan di rumah. Ternyata selama ini yang saya rindukan dari kampung halaman adalah kebersamaan tersebut. Ponsel saya berdering. Seperti biasa Amak mengirimkan video pengingat akhirat di grup keluarga. Saya yang teringat masa-masa tersebut spontan kembali mengusap layar menuju pesan lama yang seakan berada pada kuburan grup. Saya membaca sebuah pesan dari Zacky yang saat ini berada di Pekanbaru. Ia mengirimkan pesan yang sedikit menikam ulu hati. Isi pesannya: 

“Ky bisa bali nasi bungkuih ciek untuak surang pa tapi ndk pernah marasoan nasi tu salamak makan baranam do bialah bnyak bana nasi tu ndk pernah marasoan sakanyang makan baranam do. Mudah mudahan jauah ko yg mambuek wak sukses kemudian harinyo pa ma doaan sen proses wak ko capek dan lancar senyo, dan bisa mawujudkan apo nan papa samo mama nioan aaminn🤲.”

Kurang lebih jika diartikan “Aku sekarang bisa beli nasi bungkus untuk diri sendiri, tapi hal tersebut tidak senikmat dan sekenyang makan sebungkus berenam sebanyak apapun nasinya. Mudah-mudahan kita yang saling berjauhan ini sukses di kemudian hari dan proses yang kita semua lalui lancar sehingga bisa mewujudkan yang Amak dan Apak inginkan, amin…”

Membacanya seketika membuat saya membeku. Saya rindu berebut daging cincang bersama saudara-saudara saya.