Ini Tentang Kontol Kejepit dan Mie Pentil di Bantul
Bantul, perihal kuliner, adalah pusatnya keanehan. Segala yang aneh perihal makanan, berkerumun di kabupaten kecil di Jogja ini. Ia menjadi cerita, menjadi daya tawar yang menarik. Namun, jika keanehan itu disalah gunakan, yang terjadi justru berubah menjadi bahan kriminal yang semakin aneh dan bikin garuk-garuk kepala.
Kemarin (2/11), kepolisian Bantul menggerebek dua tempat yang memproduksi keripik pisang narkotik di Potorono, Banguntapan. Tidak jauh dari sana, ditemukan narkotik jenis baru berupa cairan dengan julukan Happy Water. Saya yakin, sekelas Walter White dan Jesse Pinkman dalam series Breaking Bad jika melihat kejadian ini juga bakalan geleng-geleng.
Ketika aku kecil, sekitar tahun 2012an, belasan pemuda menggelepar di sebuah kios yang berhadapan dengan sebuah masjid. Ketika adzan Subuh berkumandang, ada yang berteriak. Belasan pemuda itu ada yang mengeluarkan busa, kejang-kejang, dan mata terbelalak. Ternyata, mereka semalam meminum sebuah oplosan yang di Bantul akrab disebut dengan lapen.
Ada banyak pengertian tentang lapen. Ada yang bilang lapen adalah jamu, ada pula yang bilang lapen merupakan akronim dari langsung penak yang merujuk kepada air jahanam yang bisa membuat manusia merasakan terbang beberapa senti dari kerak bumi. Malam itu, menurut cerita, pemuda-pemuda menyedihkan itu meminum ciu yang dicampur dengan obat-obatan dan… bangkai tikus.
Namun, di atas adalah contoh jika keanehan kuliner di Bantul dibawa ke arah yang muram dan menyedihkan. Padahal, banyak keanehan yang menjadi daya tawar yang menarik. Sebagai potensi cita rasa atau bahkan sebagai sindiran kepada penguasa. Ya, ini tentang kontol kejepit (atau tolpit) dan mie pentil di Bantul.
Kontol kejepit atau tolpit memiliki nama lain, yakni adrem. Nama itu, kata simbahku, sebagai penghalusan makna dan kemudahan pengucapan antara pedagang dan pembeli. Sedangkan nama ‘kontol’ digunakan lantaran kue ini berbentuk seperti skrotum, sedangkan dijepit karena proses pembuatannya adalah adonan itu dijepit selama angslup ke penggorengan.
Tolpit berasal dari beras yang dihaluskan kemudian dicampur dengan gula jawa. Simbah biasanya memakai beras coklat yang masih dipeluk oleh sekam. Ia giling dalam lesung kecil dengan irama yang ritmis. Tuk-tuk-tuk, begitu suaranya. Tetangga akan mendengar dan senyum akan terkembang, “Mbah Suito sedang diberkahi panen yang melimpah dan sebagian kecil beras akan diolah menjadi hal yang lain.”
Sebagian penduduk Kajor, Imogiri akan memisahkan sekam dengan padi. Sekam yang digiling tidak terlalu halus bisa menghasilkan dedak yang cocok untuk pakan ternak. Sedangkan simbah, ia tak punya ternak selain dua sapi. Namun, ia tahu, ia mempunyai empat orang anak yang lebih membutuhkan makan daripada sapi-sapinya.
Dapur simbah terus mengepul. Selain suara lesung, asap tipis menembus renggang-renggang dari gedek yang mulai lapuk menua itu. Tak tahu simbah bahwa yang ia masak kelak bernama kontol kejepit. Tahunya, itu adalah produk makanan “cepat saji” yang nikmat, manis, dan cocok untuk dimakan setelah anak simbah yang paling tua—bapakku—pulang berjualan bambu di dekat Pasar Imogiri.
Yang aku tahu, kontol kejepit digunakan oleh para pedagang pasar untuk menarik pembeli. Entah lebih dulu penggunaan nama adrem atau tolpit di masyarakat. Yang jelas, makanan ini merupakan produk sederhana buatan masyarakat Bantul sebagai daya tahan mereka guna mencicipi sebuah kudapan yang lezat dan mengenyangkan, tapi murah.
Satu lagi makanan yang dianggap namanya aneh adalah mie pentil. Kawanku ketika kuliah kutawari mie pentil malah tertawa terbahak-bahak. Katanya, pentil itu bulat, bukan berbentuk seperti mie. Padahal, pentil di sini diambil dari tekstur kenyal yang mirip seperti karet pentil—bukan pentil dalam artian puting payudara.
Di Pasar Imogiri, beberapa blok dari tempat simbah berjualan sayur, ada yang jualan mie tersebut. Rasanya gurih—dan gurih adalah anomali di tengah masakan khas Jogja yang kebanyakan adalah manis. Mie pentil terbuat dari tepung tapioka yang diadon secara taktis nan dramatis. Kenapa taktis? Karena proses inilah yang menentukan tekstur. Kenapa dramatis? Seharusnya, makanan sederhana ini bisa jadi semacam alat perlawanan.
Masyarakat Yogyakarta masih mempertahankan makanan sederhana dan murah seharusnya menjadi alarm bagi para penguasa. Ya, penguasa yang makin ugal-ugalan memperbolehkan izin pembangunan hotel dan mal, penguasa yang sibuk menghabiskan Dana Istimewa (Danais) dari pemerintah pusat, tapi tutup mata dengan kesejahteraan rakyatnya yang minus.
Mie pentil dan kontol kejepit seakan menertawakan Jogja yang terus mengadakan pesta dan kirab atas dasar istimewa dan kebudayaan yang menyerap 80% Danais. Ya, 80% harus terserap kalau tidak mau Danais tahun depan berkurang. Masalahnya, penyerapan dana sampai 80% itu harusnya tidak asal-asalan. Namun, dalam UU No. 13 Tahun 2012 Bab IV tentang Kewenangan, pada Pasal 7 (3) dijelaskan bahwa penyelenggaraan kewenangan itu harus didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal dan keberpihakan kepada rakyat. Sayang, sejauh mata memandang, masyarakat Yogyakarta masih terpaku pada makanan murah karena itu yang bisa mereka raih dengan UMR istimewa.
Tiap menyempatkan diri makan mie pentil yang dibumbui oleh ulekan cabai yang tidak rata, yang tercecap bukan hanya rasa gurih dan pedas, tapi juga rasa ketidakadilan. Kesenjangan terlihat jelas di Jogja, sedangkan mie pentil adalah pembatasnya yang membuat semua nampak jelas.
Aku sering menemani ibu ke pasar—entah ke Pasar Pleret, Pasar Giwangan, Pasar Imogiri, atau Pasar Legi Kotagede. Di sana, aku banyak berjumpa dengan makanan-makanan bernama sensitif dan tabu itu. Di parkiran, di dalam pasar yang sering menguar bau-bau yang khas atau di pelataran dekat penjual ayam warna-warni, aku mengunyah kontol dan pentil dengan lahap.
Tiap kunyahan, aku menemukan almarhum simbah dan bapak di sana. Walau rasanya kadang berbeda, kehalusan yang sama karena sudah digiling oleh tenaga mesin, tak ada keringat yang jatuh dalam adonan, dan harganya sudah melonjak tajam, kontol kejepit dan mie pentil akan selalu menempati ruang-ruang khusus dalam lidahku.