Makananku, Ceritaku: Kenang-Kenangan Makanan Wamena : Hipere, Kue Toraja, dan Gado-Gado

Kenang-Kenangan Makanan Wamena :  Hipere, Kue Toraja, dan Gado-Gado

Galih Khumaeni Elbaliemm

Ubi goreng adalah gorengan yang selalu saya cari. Dari delapan tukang gorengan yang ada di dekat rumah di Bandung, hanya satu yang jual ubi goreng. Jumlah yang dijual pun sedikit, apalagi kalau dibandingkan dengan best seller macam tahu isi, cireng, bala-bala (bakwan). Saya mesti beli lebih pagi kalau ingin kebagian.
Kegemaran saya pada ubi goreng dimulai sejak kecil. Dulu saya lahir dan tinggal selama sepuluh tahun di Wamena, Jayawijaya, Papua Pegunungan. Di sana, ubi jalar atau hipere adalah makanan yang jumlahnya banyak dan lazim dikonsumsi. Jika ada strata makanan pokok, hipere mungkin ada tepat di bawah beras. Di tukang gorengan yang ada di Wamena, hipere goreng jumlahnya banyak dan ukurannya besar, sekitar setelapak tangan orang dewasa. Dua atau tiga potong hipere goreng cukup untuk bikin perut penuh.
Jika stok beras sedang menipis, hipere sering jadi tambahan makanan pengenyang, Pengolahannya standar saja. Biasanya direbus, dikukus, digoreng atau dijadikan sop. Sayangnya, hipere tidak pernah naik tingkat jadi makanan pokok yang setara nasi. Anggapan tidak makan nasi berarti tidak makan masih melekat. Padahal sama-sama kenyang dengan cara yang enak.  
Sebenarnya, bagi orang asli Papua, hipere itu tergolong makanan pokok. Bahkan ada mitosnya tersendiri. Orang Papua Pegunungan punya cerita tentang seseorang bernama Neruekul yang dibunuh, lalu dari potongan tubuhnya tumbuh berbagai jenis hipere. Saya sebagai anak pendatang yang lahir di sana akhirnya terpapar pada hipere dan menggemarinya. Hipere paling spesial yang pernah saya santap adalah hipere kukus yang dimasak dengan bakar batu. Pengukusan dengan batu panas sambil ditutup rerumputan membuat hiperenya terasa lembut, empuk, padat, manis, dan wangi. Sempurna. 
Meskipun punya keterikatan kultural, hipere tak dapat menghindar dari ancaman-ancaman yang sedang melanda. Kini hipere perlahan tergusur oleh beras, terutama di kota-kota besar. Berkurangnya hipere juga diakibatkan oleh penyakit dan kemarau panjang yang yang menyebabkan gagal panen dan tergerusnya varietas yang tersedia. Tergusurnya hipere adalah salah satu faktor yang menyebabkan bencana kelaparan, seperti yang terjadi di tahun 2023 ini. Sudah waktunya untuk katakan “iya” pada hipere sebagai makanan pokok sehari-hari.
JIka hipere lekat dengan kesan makanan sehari-hari, Kue Toraja atau Deppa Tori adalah makanan perayaan bagi saya. Selama tinggal di Wamena, Kue Toraja seringnya didapat di hari raya seperti Idul Fitri atau Natal. Di sana, saya tinggal di komplek perumahan berisi sekitar 15 rumah berdinding papan atau tripleks. Penghuninya beragam; ada yang Sunda, Jawa, Toraja, Ambon dan Papua asli. Mayoritas penghuninya beragama Kristen Protestan, dengan dua rumah beragama Islam, dan satu rumah beragama Katolik. Di dua hari raya itu, kami sering saling memberi hadiah makanan. 
Dua atau tiga hari sebelum lebaran, ada tetangga yang bertamu mengucapkan selamat lebaran sambil memberi setoples Kue Toraja. Kuenya berbentuk lonjong panjang warna merah kehitaman. Bahannya adalah tepung yang dicampur gula merah cair. Di permukaannya kemudian ditaburi dengan wijen untuk menambah aroma. Rasanya manis khas gula merah dengan tekstur kering. Harus ada air putih kalau ingin makan kue toraja banyak-banyak. 
Di hari raya Lebaran, mereka akan bertamu. Waktunya biasanya di sore hari, setelah saya dan keluarga berkeliling distrik (kecamatan). Sebagai balasan, kami juga menjamu mereka. Umumnya dengan membuat bakso atau batagor yang bisa disantap di rumah. Kami juga menawarkan kue yang biasa jadi jagoan di hari Lebaran seperti putri salju atau nastar. Hidangan yang habis memberikan kebanggan, jadi kami senang-senang saja ketika melihat sisa bakso yang tinggal kuah sedalam buku jari atau toples yang kosong. 
Peran itu bertukar di saat Natal. Natal di Wamena itu meriah. Di malam Natal, kami biasanya berkeliling untuk melihat-lihat pondok Natal yang didirikan oleh warga atau gereja. Isi pondok Natal adalah diorama kelahiran Yesus Kristus yang diiringi lagu-lagu keagamaan dan dihiasi lampu yang kerlap-kerlip. 
Saat Natal, giliran kami yang memberi makanan dan bertamu. Biasanya kami memberi kue bolu buatan sendiri, kue kering, atau minuman bersoda. Kami juga akan berkunjung ke rumah tetangga untuk mengucapkan selamat atas perayaan Natal. Sebagai tuan rumah, mereka akan menyuguhkan makanan sudah dipisah karena dimasak tanpa menggunakan babi. 
Selain jadi interaksi antar-agama, Lebaran dan Natal juga jadi interaksi sesama dan antar suku. Para pendatang yang berasal dari suku Jawa, Madura, Bugis, Toraja, Minang, Sunda, dan lainnya akan berinteraksi dengan orang asli Papua dan sebaliknya, lalu berkunjung dengan sesamanya. Selain mengunjungi tetangga yang beragam sukunya, ada juga acara bagi perkumpulan satu suku. Saya dan keluarga akan kumpul bersama perantau yang sama-sama dari tatar Sunda dalam satu paguyuban. 
Paguyuban Sunda biasanya berkumpul di sebuah rumah makan bernama Parahyangan. Pemiliknya adalah orang Kuningan yang pindah ke Wamena di awal 1990-an. Jika makan di sana, ada satu menu yang saya pesan berulang-ulang, gado-gado. Waktu kecil, alasan saya suka makan gado-gado adalah manisnya bumbu kacang yang menutupi tidak enaknya sayur, bukan karena kebanggaan akan asal daerah. Namun, bagi pelanggan lain. Gado-gado dan makanan Sunda lainnya seperti lotek dan karedok adalah pengingat akan siapa mereka dan dari mana asal usul mereka. Kita sering mendengar cerita perantau yang menangis saat menyantap makanan dari kampung halaman karena saking rindunya.  Makanan-makanan itu tak hanya terasa di lidah, tapi juga di hati. Selain manis, gurih, dan pedas terasa juga kehangatan kampung halaman dengan segala ingatannya dan belongingness pada sebuah identitas. Mungkin itu sebabnya mereka menawari saya makanan Sunda sambil mengingatkan, “ini makanan kita.”