Makananku, Ceritaku: Kapsul Waktu dalam Semangkuk Pecak

Kapsul Waktu dalam Semangkuk Pecak

Bogor, 6 November 2023. Pulang kantor sehabis magrib dengan keadaan perut keroncongan. Saya berencana untuk membeli pecel ayam lamongan di perjalanan pulang. Sampai di rumah saya sudah membawa tas kresek dengan isi tiga potong ayam goreng. Rupanya di balik pintu, ibu sudah menunggu kepulangan saya lalu menyodorkan semangkuk kecil pecak ikan mas. Saat itu ibu sudah selesai makan malam bersama di rumah uwa yang bersebelahan rumahnya. Sepertinya memang mereka sudah menyelesaikan santap malam lauk pecak ikan mas.

Setelah sepiring pecel ayam tandas saya lumat, tanpa berpikir panjang pecak pemberian ibu tadi juga saya makan. Pikir saya bila dibiarkan nanti takut tidak ada yang makan. Pecak tadi dimakan dengan cara di-gado (makan tanpa nasi). Selama makan, tiba-tiba ingatan saya tertaut pada dumelan ibu soal bapak yang tidak menyukai pecak. Bakal perihal remeh ini selalu diungkit ibu ketika dirinya memasak atau sedang makan pecak. Ibu berkata dengan mengikuti cara bicaranya bapak, "ada makanan sudah digoreng, kok malah direbus lagi!” Pecak, menurut bapak, adalah makanan yang aneh.

Mungkin anggapan ini memang valid adanya. Ada ketidakcocokan lidah antara orang Jawa dengan masakan Betawi-Sunda dan begitu pula sebaliknya. Hal ini pernah saya rasakan ketika kuliah dan kerja di Yogyakarta selama tujuh tahun. Selama saya di sana, saya tidak pernah menemukan warung makan yang menyediakan menu ini. Makanan yang lazim ditemui malah bakmi godog, tengkleng hingga magelangan. 

Padahal bila ingin diutak-atik gathuk, olahan pecak lebih mirip dengan mangut yang terkenal dari Bantul itu. Pada masakan mangut, ikan air tawar—biasanya lele asap—menjadi bahan utama. Kuahnya kemerahan dan rasanya dominan pedas karena cabai rawit. Sedangkan kuah pecak juga diselimuti rasa panas, tapi alih-alih cabai rawit, pedasnya datang dari jahe. Ditambah ulekan kasar kacang yang menambah tekstur di mulut. Tapi soal daging, baik mangut dan pecak sama-sama keras karena diasap atau digoreng terlebih dahulu.

Pecak dan Masakan Ikan Air Tawar Lainnya 

Telusuran saya di internet soal pecak memunculkan beberapa cerita lain. Mulai dari olahan pecak punya beberapa varian, asal-muasal pecak, hingga kaitannya dengan kondisi ekologis. Soal varian, ada beberapa menu pecak yang memakai bahan lain, sehingga penyebutannya menjadi berbeda. Dalam khazanah Betawi, pecak dikenal dengan pecak bening, pecak kacang dan pecak santan. Ketiganya punya kekhasannya masing-masing—tapi bagi saya, hanya pecak bening yang lazim di lidah. Walau namanya “pecak bening”, makanan ini menggunakan kacang. Menurut budayawan betawi, Yahya Andi Saputra mengatakan jika olahan pecak yang asli adalah pecak bumbu bening. Tapi, perihal makanan, saya bisa bilang yang penting enak di lidah masing-masing, bukan orisinalitasnya. 


Selain variannya, kaitannya pecak dengan kondisi masyarakat juga menarik bagi saya. Di salah satu sumber internet menceritakan bagaimana pecak hidup dalam pola masyarakat petani. Kehidupan petani yang selalu di sawah membuat pecak jadi primadona karena enak, mudah dimasak, dan juga mudah dibawa. Pembuatan pecak pun gampang karena bumbunya hanya perlu dibakar sebentar, lalu diulek, dan disiram ke ikan yang sudah dimasak tadi. 

Pecak juga menjadi penanda manusia punya kedekatan yang erat dengan lingkungan. Ikan air tawar yang digunakan dalam pecak lazim ditemui di sungai atau rawa dekat rumah. Saya pernah membaca bukunya Anthony Reid yang berjudul Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1 yang menyebutkan masyarakat Asia Tenggara memang kerap mengonsumsi ikan air tawar sebagai salah satu sumber proteinnya. Hal ini pun terjadi pada masyarakat Betawi dan Sunda yang bentang alamnya banyak sungai dan rawa.

Olahan ikan air tawar selalu jadi bagian yang tak terpisahkan dari bagian ubo rampe sebuah acara di keluarga saya. Dalam perayaan tertentu, hidangan berbahan ikan air tawar wajib disuguhkan. Di ingatan saya, ikan gurame bakar turut disediakan khusus ketika saya disunat. Katanya, kalau mau cepat sembuh semua hidangan itu harus dihabiskan sendiri. Hal serupa juga terjadi ketika saudara saya lamaran; salah satu makanan yang wajib dikirim untuk si calon besan adalah olahan ikan gurame.   

Pecak selalu jadi makanan yang mengingatkan saya ketika masih kecil. Pada saat itu, keluarga besar kami memang punya beberapa empang—sekarang tanahnya di-kavling untuk jadi perumahan. Setiap malam tahun baru, keluarga besar dan pecak pasti berkumpul.

Kini, di hadapan saya semangkuk kecil pecak yang kuahnya tinggal setengah. Bogor, awal November sudah memasuki musim penghujan. Pecak memang terasa cocok untuk dimakan ketika suasana seperti itu. Segar dari cabai dan bawang ditambah hangat dari jahe merupakan efek setelah makan pecak.

Tiba-tiba ibu masuk ke rumah. Selorohan dia mengagetkan saya ketika menyuap pecak. "Padahal enak kuah pecak kalo pake nasi," ujar ibu dengan nada ketus. Saya pun langsung buru-buru menyeruput habis kuah pecak itu.