Makananku, Ceritaku: Semangkuk Plecing Kangkung dan Kesedihan Lombok Utara yang Mengungkung

Semangkuk Plecing Kangkung dan Kesedihan Lombok Utara yang Mengungkung
Di tengah badai di lereng Gunung Rinjani yang mengerjap-ngerjap, semangkuk plecing ada di hadapanku dan Wira. Di tengah hunian miliknya yang sempit dan berdinding triplek seakan badai siap memamah rumah ini kapan saja, ia menyediakan nasi yang sudah dingin. Badai, plecing kangkung, kerupuk melempem, nasi dingin, dan ayam-ayam Wira yang bertengger di langit-langit tepat di atas kepala kami. Sesuap demi sesuap plecing dengan lahap aku kunyah, ditemani kotoran ayam hangat yang berjatuhan dari langit-langit.
***
Aku adalah mahasiswa KKN di Lombok Utara. Lebih tepatnya di Desa Gumantar, Dusun Tenggorong. Walau begitu, warga dari dusun lain juga menyayangi kami, seperti Dusun Beleq dan Dusun Gumantar. Entah sebabnya apa. Mungkin, selain tim kami sudi berbagi tidur dan mandi bersama pemuda desa, kami juga sudi menyesap kopi di satu gelas yang sama dengan warga.
Kopi bagai minuman pokok di sana. Kopi seperti mantel hangat untuk melindungi dirimu dari dinginnya pagi di desa paling dekat dengan Gunung Rinjani di Kecamatan Kayangan, Lombok Utara itu. Coba saja lewati beberapa rumah di Gumantar, maka beberapa rumah itu sudah pasti akan menawari kopi. Sejak dari sana, aku dapat oleh-oleh berupa penyakit maag. Namun itu bukan soal karena senyum dan cerita warga rasanya lebih berharga dari apa pun.
Tim kami adalah tim yang ditugaskan pasca-pemulihan gempa Lombok 2018. Akses air mati karena pipa-pipa yang menghubungkan sumber mata air di lereng gunung, di dalam hutan adat tergulung longsor. 
Dusun Beleq dan Dusun Tenggorong berada di selatan hutan tersebut. Otomatis semua warga desa—termasuk tim KKN—tidak bisa mandi berhari-hari. Ah, bahkan berminggu-minggu. Aku sendiri sempat tak mandi empat hari. Kawanku bahkan lebih parah. Seminggu! Dan itu merupakan kebanggaan baginya walau jujur saja, baunya tak terkira. Seperti rendaman pakaian yang lupa dikeringkan selama sebulan.
Air tersendat, menjadikan urusan makanan agak sulit. Warga, walau sehabis dilanda gempa dahsyat, mereka tak keberatan berbagi makanan seperti rebung, kangkung, palawija, bahkan wortel. Masalahnya, masakan kawan-kawanku ini setara dengan bocah SD yang sedang bermain masak-masakan alias tidak jelas rasanya bagaimana. Lidahku, jika ia bisa berbicara, ia pasti sudah memohon ampun jangan disuruh mengecap rasa-rasa yang mirip seperti eksperimen penghasil mutan itu.
Kami punya uang, namun kami tak memiliki apa-apa untuk dibeli. Uang kehilangan nilainya. Dan ini baru pertama aku alami sepanjang aku hidup di bumi. Hanya ada satu warung di Dusun Beleq, sementara di Dusun Tenggorong tidak ada. Nama penjualnya Mbak Sinam. Kami biasa beli mie instan dan kami sadar jika dua bulan melulu makan itu, pulang-pulang nanti Gadjah Mada Medical bakalan kerepotan mengurus 30 mahasiswa yang ususnya menjerit kesakitan. 
Sesekali, Mbak Sinam bikin plecing kangkung. Sederhana, namun enaknya bukan main. Pernah aku mau membeli. Mbak Sinam dan suaminya melarang. Mereka mengajakku makan bersama di berugak. Eny Wan, anak Mbak Sinam, tertawa-tawa dan ingusnya mengalir terus-terusan. Aku tersenyum. Mengapa kondisi yang menyejukkan macam ini disebut kemiskinan, sedangkan di Jogja, daerah asalku, kemelut menyelubungi saban waktu dan malah disebut romantis?
Di balik reruntuhan, aku menikmati makanan yang berasal dari kangkung, taoge, kacang tanah, dan siraman sambal sederhana dan apa adanya. Ketika ketersediaan pangan makin terhimpit dan nilai mata uang nyaris tak berguna, plecing kangkung hadir di tengah-tengahnya. Tak menguar harum apa pun, apalagi kerumitan bumbu. Walau begitu, makanan tersebut hadir di waktu yang tepat, ketika kami—mahasiswa KKN—sudah mulai menyerah karena keadaan.

Malam hari hujan lebat dan kabut bergulung-gulung muncul. Sebagian rekan KKN menampung air untuk mandi esok hari, sebagiannya lagi ngobrol bersama muda-mudi di berugak. Aku yang habis buang hajat di sekitar desa adat yang menghadap ke hutan adat, terjebak hujan di sebuah belokan jalan yang berisi pohon-pohon besar dan monyet-monyet yang luar biasa cerewet.
Saat itu ada cahaya motor yang lampunya redup. Seorang laki-laki memakai mantel compang-camping dan beberapa kali membunyikan klakson. Itu adalah Wira. Adik Mbak Sinam. Ia mempersilakan aku naik. Ia memberi kresek yang aku rasa percuma lantaran badanku sudah kuyup. Monyet-monyet di balik bukit yang ditumbuhi pepohonan itu berteriak seakan menertawakan diriku. Sial betul.
“Aku habis dari ladang,” katanya. Ladang warga kebanyakan berada di balik hutan adat. Medannya menyeramkan. Namun di balik sana ada sebuah surga bernama Tiu Ngumbak. Air terjun yang luar biasa indah yang sayangnya (saat itu) tertutup longsoran gempa.
Wira membawa beberapa ikat kangkung, cabai, kacang-kacangan, dan mangga—entah jenisnya apa. Aku duduk di tengah-tengah kronjot yang membawa sayur-mayur itu. Walau pantatku sakit, aku bersyukur karena aku bisa pulang. Hari sudah malam, yang berkeliaran bukan hanya monyet dan ular, kata warga ada juga Selaq, makluk jadi-jadian kepercayaan warga Lombok Utara.
Menuju Dusun Tenggorong bisa-bisa saja, namun malam itu aku memilih tidur di Berugak Elen di Dusun Beleq bersama Wira, Sendul, Idot, dan lainnya. Wira meletakkan motornya. Ia menyuruhku masuk ke huniannya. Di samping warung Mbak Sinam, tempat Wira tinggal tak bisa dikatakan hunian yang layak. Bahkan, kandang ayam Bulik di Bantul, lebih luas dari ini. Aku langsung melihat langit-langitnya, ayam-ayam bertengger, mereka meringkuk kedinginan.
Wira dengan cekatan merebus air dan memasukkan kangkung, mengulek cabe, dan menyiram tauge dengan air panas. Sisanya, ia membuat kopi gilingan sendiri. Menyuruhku duduk untuk menyesap kopi, namun aku bingung harus duduk di mana. Di mana-mana tahi ayam berserakan. Ah, aku tak peduli. Pantatku landing seperti pesawat yang mendarat darurat. Menutup mata, pelan-pelan pantatku merasakan kehangatan. Sialan, tai ini sepertinya baru saja keluar dari mesin produksinya, batinku.
Wira menghidangkan semangkuk plecing kangkung dengan kangkung-kangkung yang gemuk-gemuk. Matanya berbinar, seakan ia ingin berkata bahwa bukan hanya kakaknya saja yang pandai memasak. Aku memakan, mengunyah, di sampingku ada tahi ayam yang baru jatuh.
Wira menceritakan banyak hal. Tentang kebodohan, kemiskinan, studi anak-anak di desa yang tersendat, angkatan kerja yang menganggur, pembantaian anjing liar yang makin jadi masalah, pun angka pernikahan dini yang begitu tinggi di Lombok Utara secara khusus—Pulau Lombok secara luas. Wira berhenti studi sampai bangku SMA, namun gaya bicara, penyampaian, dan menuangkan apa-apa yang menjadi analisisnya, bak seorang filsuf Jerman yang kebetulan sedang ngeremus kacang tanah.

Aku sempat menjadi “kepala sekolah” di SD 4 Gumantar. Sekolah yang 99% hancur dan rata dengan tanah. Di sana banyak tipe murid. Yang membuatku berpikir keras, masih ada anak kelas lima sampai enam yang masih buta huruf. Padahal, ujian nasional sudah di depan mata.
Belum lagi keluhan guru tentang akses yang jauh. SD 4 Gumantar secara teknis menjadi SD paling dekat dengan lereng Rinjani di Kecamatan Kayangan. Saat itu, pasca-gempa 2018, banyak guru yang berpikir ulang balik ke sekolah karena aksesnya berbahaya dan rawannya longsor susulan. Hujan sedikit, sekolah dibubarkan karena air bakalan menggenangi tempat mereka mengenyam pendidikan.
Banyak yang cerita padaku. Mereka ingin sehabis SD langsung mondok pesantren. Sebab, jika tidak begitu, mereka akan dikawinkan dengan orang yang tidak disukainya oleh orangtuanya. Sebagian dari mereka masih menganggap perkawinan merupakan cara paling jitu mengurai kemiskinan. Padahal, perkawinan dini, selain berbahaya bagi kesehatan dan mental, juga hanya berpotensi menjadi “perkawinan kemiskinan” semata.
Tak jauh dari tempat kami berpijak, ditemani plecing dan ayam-ayam yang mengudara, ratusan bule mungkin sudah mulai menyesaki Gili Trawangan. Surga dunia, kata para wisatawan. Beberapa kilometer dari sana, ada anak-anak yang masa depannya tak jelas. Barangkali gempa besar bukan hanya meruntuhkan tembok bangunan, namun juga tembok yang menutupi fakta bahwa perkawinan dini dan kemiskinan masih menjadi hantu yang lebih mengerikan dari setan bernama Selaq.
Perutku lapar, pun plecing kangkung buatan Wira luar biasa enak. Tapi apa boleh buat, lidahku sudah terpengaruh oleh otak. Rasanya sudah hambar, apalagi ketika mengingat diriku di kampus hanya memuja nilai. Memohon nilai A kepada dosen meskipun dosen itu kurang ajar dan semena-mena. Di satu sisi, aku justru merasa akulah yang lebih miskin dari anak-anak Lombok yang sedang berjuang lepas dari perkawinan dini dan putus sekolah. 
Malam itu, semangkuk plecing rasanya sedang menertawakan gap pendidikan dan kemiskinan yang begitu ekstrim di negeri ini. Kunyahan demi kunyahan, yang tercipta justru air mata. Aku menangis sambil mengunyah. Wira hanya diam dan memakan plecing di mangkuknya. Sedang badai tak henti-hentinya meraung di luar sana. Kami terkungkung dalam badai, pula dalam kesedihan. Oh, benar kata Chairil, hidup hanya menunda kekalahan.