Makananku, Ceritaku: Saya Nggak Suka Sayur Asem. Ini Alasannya

Saya Nggak Suka Sayur Asem. Ini Alasannya.

Oleh: Puti Andiyani

Kalau ditanya tentang makanan favorit, saya kadang kebingungan jawabnya apa. Kadang bisa risol bihun, bisa nasi Padang, tapi bisa juga ramen atau pasta alla carbonara. Tapi kalau ditanya makanan yang paling nggak disukai, saya dengan mudah bisa jawab dua hal: wortel dan sayur asem. 

Waktu kecil, saya cukup suka wortel. Namun saat mata saya ketahuan rabun jauh saat umur tujuh tahun, ibu saya jadi sering mencekoki saya dengan jus wortel. Sejak itu, rasa manis wortel bikin saya mual. Sekarang, saya cuma mau makan wortel kalau dalam bentuk bakwan sayur, sisanya pasti masuk ke perut suami atau ke tempat sampah (maaf, saya sebenarnya juga nggak suka buang-buang makanan).

Perkara sayur asem ini lebih kompleks lagi ceritanya. Waktu kecil saya bisa menoleransi sayur asem walau cita rasanya nggak begitu cocok dengan lidah saya. Mantan pengasuh saya, seorang teteh asli Sukabumi, tiap kali bertandang ke rumah kadang memasak sayur asem dengan resep andalannya. “Sayur asem bikinan Teh Yani ini paling enak!” begitu kata bapak saya setiap kali melahap masakan Teh Yani tersebut. Biar cepat saya iyakan saja, daripada dimarahi.

Setelah lulus SMP, orang tua saya memutuskan untuk mengirim saya ke SMA berasrama yang didirikan oleh Pemerintah Provinsi Banten untuk mendidik bibit-bibit unggul (dengan syarat beragama Islam). Namanya SMA Negeri Cahaya Madani Banten Boarding School, disingkat SMAN CMBBS karena memang namanya kepanjangan. SMA ini berada di bawah wewenang Balai Pelayanan Pendidikan Khusus (BPPK) Provinsi Banten. Selain untuk memantapkan pendidikan dunia-akhirat, kayaknya orang tua saya juga ingin mengirit karena kala itu (tahun 2009-2012) biaya pendidikan dan asrama di sekolah tersebut gratis.

Karena gratisan, saya nggak berharap dapat fasilitas mewah ala boarding school swasta yang SPP bulanannya puluhan juta juga, sih. Realistis aja, minimal dapat satu kasur dan satu lemari, makan tiga kali sehari dengan porsi dan komposisi yang memenuhi angka kebutuhan gizi harian remaja. Nyatanya, saat baru masuk saya hanya dapat separuh lemari, alias satu lemari digunakan oleh dua orang. Alasannya katanya karena biaya pengadaan lemari untuk angkatan saya adanya cuma segitu.

Kemudian, tibalah saat makan malam pertama saya di asrama. Kami mengantri di area makan asrama, membawa piring yang kami bawa dari rumah. Setelah mengambil nasi, tibalah saya di depan nampan berisikan tumisan sayur. Kakak kelas anggota OSIS yang berjaga di depan nampan tersebut berulang kali mengatakan satu kalimat, “Two spoons only, ya.” Oke, mungkin memang porsinya sedikit jadi harus dibagi rata agar semua kebagian. Kemudian saya lihat lauknya: telur dadar yang tebalnya kira-kira satu setengah sentimeter, dipotong-potong jadi kurang lebih dua kali enam sentimeter. Baiiik. 

Besoknya, saat istirahat untuk sholat dzuhur dan makan siang, staf dapur menyajikan sayur asem beserta satu lauk yang ukurannya sama mininya dengan makan malam semalam. Saking tidak berkesannya, saya sampai lupa dapat lauk apa hari itu. Saya cuma ingat membatin, “Waduh, gue nggak suka lauknya. Ya udah deh, ambil kuah sayurnya aja biar seenggaknya nasinya ada rasanya.”

Saya kira kualitas makanan kami akan membaik, tetapi setelah seminggu di sana dan melengkapi masa orientasi siswa, saya langsung paham kalau memang beginilah kualitas makanannya. Para kakak kelas bahkan punya candaan sendiri, “Di sini tuh lauknya 5T: tempe, tahu, telur, toge, terus-terusan.” Perkara makanan ini membuat beberapa siswa di angkatan saya kena mental, bahkan ada yang menangis ke orang tuanya karena kangen makan ayam dan daging. Si orang tua ini kemudian mengomel di forum orang tua murid, tetapi malah kena nyinyiran, “Anak lo aja kali yang cengeng, anak gue nggak ngeluh, tuh.” Saya pribadi nggak mengeluh karena tahu diri kalau ini sekolah gratisan, tapi kalau ditanya sih, saya juga pengen makan ayam dan ikan laut lagi.

Keadaan sedikit membaik waktu saya masuk ke semester dua, dengan mulai adanya berbagai lauk lain, termasuk ayam—meski porsinya masih mini karena sepertinya satu ekor ayam dipotong jadi enam belas bagian. Setidaknya nggak 5T lagi, lah. Namun tetap, menu makan siang di hari Senin dan Selasa tidak pernah berubah: sayur asem atau lodeh dengan lauk ikan air tawar goreng kering yang kurang saya sukai. Lagi-lagi saya memaksakan diri untuk makan kuah sayur asem atau lodeh tersebut. Kalau lagi benar-benar muak dengan sayur asem dan lodeh, saya memilih opsi lain: menyeduh mie instan di ketel elektrik, ditemani dengan nasi yang tetap saya ambil dari dapur. Kualitas nasi yang dihidangkan pun menyedihkan, banyak sekali gabah dan kerikilnya sampai saya dan teman-teman sekelas sering berlomba untuk mengumpulkan kerikil terbanyak dalam porsi nasi yang kami ambil.

Suatu saat, muncul gosip di antara para siswa: konon, ada seorang teman seangkatan yang melihat kertas ditempel di dinding dapur, berisikan daftar menu yang seharusnya dihidangkan untuk para siswa-siswi. Menunya lengkap: nasi, sayur, lauk ayam/ikan/daging, susu, dan bahkan makanan pencuci mulut. Namun gosipnya belum berakhir di situ, entah dari mana ada kabar kalau budget makan siswa per bulannya itu seharusnya mencapai angka dua miliar rupiah. Di sini kami semua kaget dan marah.

Desas-desus bahwa dana APBD yang dialokasikan untuk operasional sekolah dikorupsi sudah santer bahkan sejak saya masih kelas sepuluh. Kami semua menduga pelakunya adalah orang-orang di BPPK karena katanya semua dana untuk sekolah harus melewati lembaga tersebut. Gosip ini begitu umumnya sampai setiap kali ada fasilitas atau infrastruktur sekolah yang rusak, kami kerap bercanda, “Wah, dikorupsi orang Balai sih.” Sebegitu kesalnya kami terhadap BPPK ini sampai saat gedung BPPK yang lokasinya di komplek sekolah kebakaran akibat korsleting di tahun 2011, kami hanya menonton sambil cengar-cengir dari teras gedung kantor guru yang lokasinya tepat menghadap gedung tersebut.

Kecurigaan kami akan adanya korupsi dana operasional sekolah ini bukannya tidak beralasan. Di tahun 2010, Indonesia Corruption Watch menobatkan Banten sebagai salah satu provinsi terkorup di Indonesia.  Ratu Atut Chosiyah berhasil mendirikan dinastinya dengan menempatkan anggota keluarga besarnya pada berbagai jabatan strategis. Atut memang ditangkap KPK pada tahun 2013 untuk kasus sengketa Pilkada Kabupaten Lebak, tetapi dinastinya terus menggurita. Contohnya, anaknya, Andika Hazrumy, terpilih sebagai Wakil Gubernur Banten periode 2017-2022, dan adik iparnya, Airin Rachmi Diany, terpilih sebagai Wali Kota Tangerang Selatan periode 2011-2021. Bahkan menurut logika kami yang masih bocah saat itu, kalau gubernurnya saja bisa terang-terangan memanfaatkan kolusi dan nepotisme untuk menegakkan dinasti, bukankah mungkin saja dana operasional sekolah kami turut disikat oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab?

Kecurigaan ini kami simpan sampai lulus karena kami toh tidak punya kuasa dan bukti konkret apa-apa. Fast forward ke semalam saat saya sedang riset untuk menulis artikel ini, setelah saya mengetikkan ‘korupsi SMAN CMBBS Banten’ ke dalam Google, langsung muncul dua artikel (1 dan 2)  tentang dugaan korupsi anggaran makan dan minum selama pandemi COVID-19 di sekolah tersebut. Kedua artikel tersebut dirilis di bulan Februari dan Maret tahun 2023. Saat membaca artikel tersebut, saya hanya bisa tertawa. “Kan, kita bilang juga apa”. Teman SMA yang saya beritahu pun berkomentar, “Ya elah, dari jaman kita dulu, kali.”

Dipikir-pikir, hidup ini lucu juga. Karena memori yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan dugaan kasus korupsi di masa SMA, saya jadi betul-betul nggak suka dengan sayur asem yang sendirinya nggak punya salah apa-apa. Maafkan saya, teman-teman dari tanah Pasundan. Sayur kalian yang sehat dan seharusnya lezat itu menjadi manifestasi kenangan pahit tentang ketidakadilan yang saya alami secara langsung saat belia.