Menjadi Satanic, Menyantap Semangkuk Soto “Ayam Cemani” Pacitan
Ratusan kali ibu coba mereplikasi resep Soto Pacitan dari nenek saya yang sekarang sedang menikmati senja kehidupan dan sudah mulai pikun. Segala macam hal sudah pernah dicoba. Mulai dari meminta resep tertulis langsung dari nenek, membawa bumbu siap masak dari kota asalnya, hingga “menculik” bude saya ke rumah untuk meracik resep primadona keluarga tersebut.
Hasilnya selalu gagal dan sama sekali tidak pernah bisa mendekati buatan empunya. Soto Pacitan bisa dibilang lebih familiar di meja makan lebaran keluarga saya, daripada opor ayam yang jamak jadi penanda datangnya 1 Syawal.
Soto Pacitan juga tidak sepopuler jenis soto lain macam Soto Lamongan, Soto Betawi, hingga Coto Makassar. Sejauh 24 tahun hidup, saya belum pernah menemui warung Soto Pacitan di luar kota. Jika dijelaskan dalam konteks skena musik, mungkin selera saya terhadap Soto Pacitan setara dengan para penikmat musik band Hindia yang sering dicap indie, edgy, dan belakangan mendapat label satanic.
Medio 2014, saya mengalami rentetan kesialan ketika masa transisi dari SMP menuju SMA di Ponorogo. Dua bulan sebelum ujian nasional SMP, saya menderita demam berdarah yang cukup parah hingga melewatkan sebulan krusial menuju ujian pamungkas itu. Tak cukup sampai di situ, pasca kelulusan saya mengalami patah tulang tangan karena kecelakaan saat mengambil ijazah.
Praktis kakek dan nenek dari keluarga ibu saya merasa ada yang aneh dengan hal itu. Sebagai konteks, keluarga ibu saya di Pacitan memang tumbuh di desa dan erat dengan kepercayaan Jawa (baca: kejawen). Idul Fitri 2014, kami mudik dari Ponorogo ke Pacitan yang hanya menempuh waktu kurang lebih dua jam.
Ibu biasanya menelpon pakde saya lebih dulu beberapa hari sebelum berangkat ke Pacitan agar sotonya sudah siap ketika sampai di sana. Biasanya, kerabat di Pacitan juga menghidangkan makanan khas lain seperti Kalakan Ikan Hiu, Sate Kambing, dan aneka camilan. Namun, Soto Pacitan akan selalu ready stock selama tiga hari pertama lebaran mulai dari malam takbiran.
Kala itu mungkin jadi pengalaman menyantap Soto Pacitan paling sedap sepanjang masa. Setibanya di Pacitan, kakek saya saat itu mengajak ke kebun belakang untuk mengunjungi kandang ayam. Tiba-tiba saya diminta menunjuk satu ayam. Sontak saya bingung, karena tidak punya pengetahuan tentang ayam yang bagus.
Namun, satu ayam menarik perhatian. Ia tidak terlalu besar, berwarna hitam legam dengan sentuhan sedikit warna hijau agak kebiruan satin di bulunya. Dengan tangan kiri yang masih dibalut gips, saya menunjuknya dengan yakin. Pikir saya, ayam ini nantinya jadi peliharaan. Kakek saya langsung tersenyum tipis, katanya pilihan bagus. Saya kira senyumnya menandakan bahwa ayam hitam legam itu adalah jenis ayam cemani yang saat itu seharga satu sampai dua juta rupiah di pasaran. Jauh lebih mahal dari ayam lainnya.
Sore hari sebelum berbuka puasa di hari terakhir Ramadhan, tiba-tiba segelas penuh jeroan ayam berwarna kehitaman hadir di depan saya. Seorang kerabat meminta saya menghabiskan semua jeroan itu dalam waktu 60 menit, tidak lebih. Setelahnya, saya diberikan seutas benang merah dengan panjang kurang lebih hanya 10 cm. Seorang kerabat tersebut meminta saya menyimpan benang itu dan tidak boleh hilang. Niscaya, ke depan saya akan lebih cepat sembuh, kemudian terhindar dari kesialan, luka-luka, dan pesakitan, katanya.
Saya sejujurnya tidak peduli dan tidak percaya. Ibu marah karena saya dianggap tidak menghargai kepercayaan kakek dan kerabat saya tersebut. Tapi, saya benar-benar tidak tahu ke mana larinya benang itu setelah beberapa jam kemudian. Pikir saya, “Ah..mungkin sudah merasuk ke tubuh dan jadi jimat. Keren juga nih…”
Perdebatan dan emosi malam takbir itu perlahan pudar, seraya aroma kaldu ayam semerbak mengitari rumah sederhana yang hangat. Saya segera menyerbu meja makan, membuka tudung saji, dan mulai meracik sesuai selera pribadi.
Saya biasanya mengambil sedikit nasi, bihun, sambal bawang, lebih banyak kentang goreng tipis yang renyah, dan segenggam bawang goreng yang hampir menyelimuti mangkuk kalcer bergambar ayam jago. Sebelum menambahkan kuah, satu elemen yang wajib hadir dan tidak tergantikan adalah kucuran kecap manis tradisional Sri Rejeki yang legendaris dan eksis sejak 1950. Resep k ecap Sri Rejeki ditemukan oleh Sukamti, warga Kelurahan Pucangsewu, Pacitan yang pada awalnya membuat kecap untuk membantu prajurit Pembela Tanah Air (PETA).
Kuah Soto Pacitan cenderung bening dan tanpa koya maupun santan. Tapi, rasa kaldunya sangat kaya dengan sentuhan magis resep rahasia nenek saya. Setelah kuah panas dituang, biasanya ditambahkan tauge muda dan taburan kacang tanah. Terakhir setelah semangkuk soto selesai diseduh, saya mengambil lauk ayam ungkep di sebuah panci besar. Saya kaget dan baru sadar kalau ternyata ayam yang saya tunjuk di kebun tadi, kini telah tewas menjadi ‘persembahan’ di malam 1 Syawal. Potongan ayam cemani dengan daging legam yang berkilau itu terlihat lebih berlemak dan juicy.
Seperti merasakan guilty pleasure, saya masih ingat betul menikmati semangkuk Soto Ayam Cemani Pacitan itu dengan lahap. Bermangkuk-mangkuk soto dan daging ayam cemani seketika habis dalam semalam karena kenikmatannya yang tak tertandingi. Saya tidak menyangka, satu-satunya ayam cemani yang paling indah di kandang itu jadi santapan bersama.
Perut kenyang, tapi nurani saya bertanya-tanya sebenarnya apakah serangkaian kegiatan dari penunjukkan ayam, memakan jeroan, dan menyeruput kuah soto tadi adalah sebuah ritual agar saya tak lagi sakit-sakitan? Gimana, udah cukup satanic belum?
Ayam Cemani memang selalu dikaitkan dengan ritual, upacara adat, dan mitos-mitos di masyarakat. Ayam ini berasal dari Kedu, Temanggung, Jawa Tengah dan popularitasnya telah mendunia. Di Florida, Amerika Serikat ayam cemani dijual dengan harga $2.500 atau senilai Rp38,7 juta.
Usut punya usut, ayam cemani yang saya makan merupakan jenis Cemani Kaikayi dengan ciri berbulu hitam dan aksen biru laut di bulunya. Agus Nugroho dalam bukunya berjudul Sukses Berternak “Ayam Ritual” Cemani mengungkapkan bahwa konon ayam jenis ini memiliki kekuatan untuk mengangkat santet. Warna hitam pada Cemani selalu dikaitkan dengan hal-hal mistis. Faktanya warna hitam itu disebabkan oleh mutasi gen. Pada ayam cemani ditemukan gen endothelin 3 (EDN3) yang memicu perubahan warna kulit.
Di balik semua mitos yang menyelimuti Si Hitam Legam yang nikmat itu, ayam cemani secara ilmiah memang mengandung manfaat gizi lebih banyak dibanding ayam negeri maupun ayam kampung. Ayam cemani memiliki manfaat kesehatan karena mengandung kalsium dan mineral lain yang dibutuhkan oleh tubuh. Kandungan hemoglobinnya juga lebih banyak dibanding ayam kampung sehingga mampu meningkatkan daya tahan tubuh.
Rentetan ‘ritual’ yang saya alami waktu itu memunculkan kebingungan dan pertanyaan dalam diri saya dan keluarga. Walaupun kebetulan saya menunjuk ayam cemani tanpa tahu akan dijadikan metode penyembuhan spiritual, ibu saya yang berprofesi sebagai bidan terus mencoba memberi alasan logis di balik manfaat ayam legendaris yang jadi peliharaan para bangsawan sejak zaman Kerajaan Majapahit itu.
Waktu berlalu, saya ingat betul setahun kemudian saat di bangku SMA saya mengalami dua kecelakaan. Satu kali menabrak truk yang sedang parkir hingga aspal dan menabrak motor yang sedang putar balik di jalan. Keduanya berakhir tanpa luka sedikitpun. Semasa kuliah di Solo, saya juga mengalami kecelakaan tunggal bersama pacar di rel kereta api terkenal sepanjang Jalan Slamet Riyadi Solo. Pacar saya memar-memar di lutut dan tangan, sedangkan saya sehat walafiat. Hanya tersisa malu karena jatuh terpeleset rel yang diam. Saya sih menyebut itu sebagai keberuntungan.
Dari semua pengalaman itu, kami sekeluarga selalu menaruh hormat dan toleransi terhadap perbedaan kepercayaan di dalam tubuh keluarga besar. Toh, pengalaman menyantap Soto Ayam Cemani Pacitan itu memberikan pelajaran toleransi yang tak terlupakan. Selayaknya rasa semangkuk hangat soto buatan nenek yang mungkin tak akan pernah lagi saya rasakan.