Makananku, Ceritaku: Tempat Doclang Itu, Belum Berani Saya Datang Lagi

Tempat Doclang Itu Belum Berani Saya Datangi Lagi
Soal makanan, saya percaya dengan apa yang dikatakan oleh Aruna yang diperankan Dian Sastro dalam film Aruna & Lidahnya (2018). Makanan itu, kata Aruna, mempunyai kekuatan seperti alam semesta. Dia menghubungkan kita ke berbagai macam orang. Dia juga melahirkan kemungkinan baru.
Saya juga percaya makanan beserta lokasi makannya itu mempunyai kekuatan kemungkinan. Berkekuatan menjadi kenangan di waktu depan. Dan betul saja, ketika saya membaca postingan Jurno yang kembali mengadakan tema bulanan, tapi sekarang tentang makanan. Saya langsung terkenang dengan satu makanan beserta beberapa cerita yang berputar di kepala saya. Makanan itu adalah doclang dan tempat yang melatarinya adalah Jembatan Merah Bogor. Saya sendiri makan doclang di Jembatan Merah dalam beberapa fase; dari makan bersama adik, lalu teman-teman kosan saat kelaparan tengah malam, sampai dengan makan bersama pacar sebagai destinasi akhir pacaran.
Yang Khas Dari Doclang
Sebagai gambaran, doclang adalah makanan asli Bogor. Tahun kemarin sudah masuk sebagai Warisan Budaya Takbenda (WTYB). Doclang berisi potongan pesor (semacam lontong), irisan kentang rebus, tahu goreng, dan kerupuk. Semua bahan ini diguyur dengan bumbu kacang yang sedikit pedas dan beraroma rempah, dan semua ini dilengkapi dengan kecap cap Zebra yang asli made in Bogor.
Sekilas, makanan ini terlihat seperti kupat tahu khas Bandung. Tapi pembedanya ada pada kentang rebus, bumbu kacang yang rada kasar, dan ada pada lontongnya alias pesor. Bahan pesor inilah yang menjadi ciri khas doclang—ia dibungkus dengan daun patat yang bernama ilmiah Phrynium capitatum. Kepercayaan orang Sunda pada daun patat, senada dengan keyakinan orang-orang Tiochiu dari Guangdong, Guangxi dan Yunan yang menggunakan daun ini untuk membungkus zongzi (Bakcang). Orang Cirebon juga melakukan hal yang sama dengan nasi jamblangnya. Harus dengan daun patat, karena kalau tidak dibungkus daun itu, esensi cita rasa dan aromanya bakal hilang. 
Doclang Dalam Ingatan Warga Bogor
Perihal historis mengenai doclang, ada dua versi yang terkenal. Versi pertama percaya nama doclang adalah hasil dari plesetan “Deutschland” dari bahasa Belanda. Versi kedua meyakini bahwa doclang adalah singkatan dari bahasa Sunda, yaitu “Bumbu Ledok Nganggo Kacang”. Versi kedua lebih meyakinkan, alhasil lebih banyak dipercaya oleh masyarakat.
Lainnya datang dari Ibu Yeni, staf Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bogor. Dalam versinya, Bu Yeni meyakini bahwa awal mula adanya doclang di Bogor dibawa oleh orang-orang dari Tiongkok. Awalnya mereka membawa makanan tradisionalnya yang mudah dibuat dan dibawa kemana-mana, tapi mampu bertahan lama. Makanan itu adalah nasi yang diisi oleh daging dan dibungkus menggunakan daun bambu.
Masuknya makanan tradisional orang-orang Tiongkok ke Nusantara membuat masyarakat lokal menyesuaikan resepnya dengan kondisi lingkungan dan kultural mereka. Daun bambu diganti dengan daun patat karena aromanya lebih familiar di hidung warga dan mudah didapat karena daun ini banyak tumbuh di kaki gunung Salak. Lalu isian daging dalam nasi diganti dengan bumbu kacang tanah yang dibuat agak kasar dan bukannya dimasukkan ke dalam nasi, tapi dikreasikan dengan disiram di atas nasi.
Versi kedua datang dari Dinas Koperasi UMKM Kota Bogor, yang diwakili oleh Pak Uci. Asal mulanya, Bogor di masa lalu memiliki banyak pengrajin pembuat ketupat yang bahan untuk pembungkusnya adalah daun kelapa muda. Lalu kemudian tersiar kabar adanya pohon daun patat, yang bisa menggantikan daun kelapa untuk membungkus ketupat. Para pengrajin ketupat di Bogor bagian utara seperti daerah Tanah Baru dan Cimahpar mulai mengganti daun kelapa muda dengan daun patat. Dari situlah kebiasan membungkus lontong dengan daun patat dan menyebutnya sebagai ‘pesor’ lahir. 
Kalau ditelisik lebih lanjut, versi kedua terasa lebih pendek dibanding versi pertama. Tapi keduanya memang tidak memberikan catatan panjang dan bukti-bukti konkret soal tahun lahirnya doclang dan bagaimana hidangan ini menjadi santapan sehari-hari masyarakat Bogor. 
Cerita di masyarakat justru berbeda. Banyak yang percaya doclang sudah menjadi hidangan andalan sejak abad ke-19. Ada pula yang percaya makanan ini sudah ada sejak abad ke-17. Keyakinan ini dapat dipahami karena kebanyakan warga menyamakan adanya doclang dengan tahun awal pembangunan Jembatan Merah, yaitu di awal 1800-an. Hal Ini bisa terjadi lantaran ingatan warga Bogor kiwari pada doclang, tidak bisa dilepaskan dengan daerah Jembatan Merah. Jembatan yang awalnya bernama Roode Brug ini memang sudah menjadi tempat masyarakat lokal berdagang, sekaligus tempat kongkownya muda-mudi Eropa dan para priyayi yang dijuluki “mience”. Bahkan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Gustaaf Willem Baron van Imhoff, dalam olahraga paginya sering menyempatkan waktunya untuk melihat kegiatan di sekitar jembatan ini.
Dari memori tersebutlah banyak yang menganggap doclang sudah ada pada tahun 1800an. Padahal data yang ada menyebutkan pedagang doclang awalnya berjualan keliling dengan dipikul. Baru pada tahun 1970-an pedagang doclang mulai menetap mangkal di Jembatan Merah. Sebutlah Doclang 405 Aos dan Doclang Umi Icoh, dua nama doclang yang legendaris di Jembatan Merah. Mereka sudah berjualan doclang di Jembatan Merah puluhan tahun dan sudah menjadi usaha keluarga yang diturun-temurunkan.
Di Doclang 405 jugalah kenangan saya tertinggal. Kenangan itu ada sekira 4 tahun yang lalu. Saya dan mantan saya sering makan doclang tengah malam di sana. Agenda makan kami ini rutin dilakukan kala Bogor kelar hujan di jam 9-10an malam. Setelah hujan reda, saya jemput dia di rumahnya. Saya parkir motor di KFC Tugu Kujang, lalu berjalan kaki sambil bergandengan tangan, bercerita soal kehidupan masing-masing. Kami memutari Sistem Satu Arah (SSA) Kebun Raya, lalu berhenti di Doclang 405 untuk makan. Pesanan kami selalu konstan; tidak pernah menambah telur karena mengganggu cita rasanya. 
Kenapa harus selepas hujan dan diatas jam 10 malam? Sederhana, jalanan sudah tidak terlalu ramai dan lampu-lampu kota, aroma tanah dan pohon-pohon tua di kebun raya, sehabis diguyur hujan, selalu berhasil membuat kami percaya  sebagai hal yang sinematik dan romantis. Di tengah perjalanan, saya menceritakan telah menamatkan Laut Bercerita. Saya menceritakan keinginan saya untuk meniru kegiatan rutin keluarga Biru Laut, tokoh utama dalam novel tersebut.
“Kayanya seru punya ritual rutin keluarga. Setiap hari Minggu semua anggota keluarga harus makan di rumah. Masak bareng. Makan bareng-bareng. Cerita-cerita setelah makannya. terus ditemani lagu-lagu The Beatles dari pemutar piringan hitam.” tutur saya.
“Ah iya, seru dan hangat ngebayanginnya. Sama tenang,“ ucapnya. Ia lalu menepuk pelan dadanya sambil mengatakan, ”aku siap sedia buat masak” Jawabnya antusias.
Doclang kami pun habis. Tapi kami tidak langsung pulang. Kami lanjut cerita yang lain. Tentang banyak hal, sebab kami punya kesukaan yang sama tentang buku dan film. Tapi entah bagaimana dia bisa punya pandangan yang berlainan. Kami jadi bisa membicarakan satu topik dari banyak sudut pandang.
Kami juga membicarakan Jembatan Merah di zaman Orde Baru pernah berganti-ganti warna, sesuai permintaan partai. Pernah kuning melambangkan Golkar. Hijau melambangkan PPP. “Karena sekarang petahananya PDI-Perjuangan, makanya warnanya terus merah,” kataku yang hanya dibalas ketawa yang manis olehnya.
Hubungan kami pun selesai. Dan sampai saat ini saya tidak pernah lagi makan doclang di sana. Belum punya keberanian. Pernah niat mau makan di sana lagi dengan pacar saya yang baru. Sayang ia bercerita lebih dulu kalo dia pernah ke sana dengan gebetan lamanya. Jadi saya tidak mau menimpah kenangan kami di sana dengan orang baru. Itu satu sikap saya untuk menghargai kenangan.