Makin Canggih, Makin Terasing, Makin Kesepian

Semua kebutuhan kita, terutama kebutuhan untuk berkomunikasi dengan manusia lain, sekarang bisa diakses hanya dengan beberapa klik. Tapi kenapa kita makin merasa kesepian? 

 

Kalender menunjukkan Januari 2004. Dunia baru memasuki tahun keempat milenium baru. Optimisme akan masa depan yang lebih baik memekati udara: ekonomi global merangkak naik setelah dihantam krisis dan teknologi terbaru terus dirilis. Internet, yang dulunya produk mewah, sudah bisa diakses oleh 800 juta pengguna

 

Di tengah lautan pengguna tersebut, tepat pada tanggal 14 Juli 2004 seseorang bernama “Lonely” memulai percakapan di forum moviedoc.com dengan judul “aku kesepian, apa ada yang mau bicara denganku?”

 

Google baru saja memperkenalkan sistem pencarian terindeks. Kala seseorang mengetikkan kata “lonely”, permintaan tolong Lonely yang muncul di baris pertama. Tak butuh waktu lama—satu bulan!—bagi orang-orang untuk menemukan dan ikut meramaikan percakapan Lonely. Jawaban-jawaban awal kebanyakan diisi oleh orang-orang yang menawarkan diri menjadi teman. Tapi, lama kelamaan percakapan berkembang menjadi tempat orang-orang membuang unek-unek. Dalam waktu singkat utas tersebut menjadi tempat orang-orang kesepian berkumpul.

 

Mari kembali ke hari ini ketika 4,66 miliar dari total 7,66 miliar orang saling terhubung dalam satu jaringan raksasa. Forum-forum usang telah digantikan oleh raksasa media sosial Facebook, Twitter, dan Instagram yang lebih modern. Setiap menitnya ada aplikasi baru yang menjanjikan kita kemudahan, terutama kemudahan berkomunikasi. Percakapan via internet tak lagi dibatasi format teks dan suara. Sekarang kita bisa melihat gerak wajah dan tubuh orang dari ujung sambungan secara real time.

 

Teknologi mendekatkan kita, tapi kenapa kita semakin merasa dijauhkan? Kenapa kita malah semakin merasa kesepian?

 

Anatomi kesepian

 

Ketakutan akan kesendirian sudah ada sejak cerita penciptaan Adam dan Hawa. Tuhan memerintahkan manusia untuk berpasangan, beranak-pinak, dan menjaga relasi dengan keluarga, tetangga, dan teman. Merasa seorang sendiri merupakan pertanda bahwa cahaya kasih Tuhan tak lagi bersinar di dalam hati.

 

Kesendirian pun dianggap asing dan menakutkan. Para pendeta sering menggunakan fenomena sendirian di tempat yang jauh dari pertolongan Ilahi seperti kuburan dan neraka untuk menakut-nakuti umat. 

 

Secara etimologi, kesepian atau loneliness baru memasuki kosa kata bahasa Inggris di tahun 1600an lewat karya Shakespeare, Hamlet. Mereka yang menerima ide kesendirian dengan tangan terbuka adalah para filsuf. Aristoteles, Montaigne, dan Nietzsche menganggap kesendirian sebagai keutamaan (virtue). Dalam kesendirian, manusia bisa merasakan kebebasan dan merenungi hidup beserta maknanya. Meskipun kesendirian dianggap sebagai aspek kehidupan yang berharga, kesepian sebisa mungkin dihindari.

 

Lalu apa yang membedakan kesepian dengan kesendirian? Secara kasar, seseorang secara sadar memilih untuk menyendiri. Sementara kesepian lahir dari kurangnya kedekatan emosional dan fisik yang bermakna

 

Menariknya, naiknya penggunaan kata kesepian diikuti dengan Revolusi Industri. Modernisasi tak hanya mengubah lanskap industri, tapi juga lanskap sosial kita. Jam kerja naik pesat menjadi 14-16 jam/hari, sebelum akhirnya diturunkan menjadi 8 jam/hari. 

 

Namun penurunan jam kerja tidak serta-merta membuat kita lebih sering bersosialisasi. Justru kultur sosial menjadi lebih individualistis yang kemudian berimbas ke formasi keluarga. Orang-orang dari negara maju lebih memilih untuk kumpul kebo daripada menikah. Kalaupun menikah, mereka melakukannya di usia yang lebih tua, punya anak sedikit atau tidak sama sekali. Anak muda di Jepang bahkan lebih ekstrim: mereka tidak tertarik untuk pacaran, apalagi berhubungan seks.

 

Perubahan cara kita berpasangan dan berkeluarga juga berimbas pada kualitas hubungan dengan keluarga. Sejak Perang Dunia II, jumlah angka keluarga yang terpecah karena perceraian semakin naik. Memang mayoritas duda dan janda ini akan menikah lagi, tapi pernikahan kedua atau bahkan ketiga mereka justru akan semakin memperburuk hubungan keluarga mereka alih-alih memperbaikinya.

 

Naiknya kerja ke tangga prioritas manusia modern juga membuat kita memiliki lebih sedikit teman curhat dibandingkan dulu. Penelitian Matthew Brasher, profesor sosiologi di Universitas Cornell, mengenai pertemanan masyarakat Amerika Serikat menunjukkan kebanyakan  orang hanya memiliki dua teman curhat, turun dari tiga pada tahun 1980an. Perempuan dan orang-orang berpendidikan tinggi lebih mungkin memiliki teman curhat dibandingkan laki-laki dan mereka yang tidak menyelesaikan sekolah. 

 

Meskipun Brasher optimis kita tidak semakin asosial, turunnya jumlah teman curhat menunjukkan kita semakin kekurangan jaringan pendukung emosional. Berkurangnya—atau bahkan ketiadaannya—jaring pendukung ini mengkhawatirkan karena bisa mengarah ke naiknya tingkat stres dan tentu saja, kesepian yang bisa merambat ke penyakit-penyakit berbahaya.

Pandemi yang menerpa dunia sejak akhir 2019 juga memperparah kesepian kita. Tempat kerja, sekolah, cafe, dan mal yang menjadi tempat kita berkumpul ditutup. Semua jenis pekerjaan, sekolah, dan sosialisasi dikerjakan dari rumah dan diperantarai oleh Zoom/Google Meet/Skype. 

Minggu-minggu awal pandemi—terutama bagi kita kaum rebahan—memang terasa menyenangkan. Tapi apa jadinya kalau kita tidak bisa bertemu dan bersentuhan dengan orang-orang secara langsung, terutama dalam waktu belasan bulan?

Kesepian? Zoom fatigue? Sudah pasti. Namun mengapa ini bisa terjadi, padahal kita bisa berkomunikasi dengan orang lain kapan saja tanpa meninggalkan kamar?

Pertama, kita tidak didesain untuk mengisolasi diri dalam waktu yang lama. Komunikasi yang dimediasi oleh teknologi tidak akan pernah bisa mereplika interaksi langsung. Ini karena komunikasi langsung melibatkan sentuhan, tampilan emosi wajah dan suara, serta gerak tubuh. Tak hanya itu, zoom call juga membutuhkan konsentrasi yang lebih besar tapi dengan hasil yang tak setimpal. 

Gestur-gestur komunikasi, terutama sentuhan, memiliki peran penting dalam membangun kepercayaan dan hubungan. Sentuhan kulit langsung bisa mengurangi stress karena ia membantu otak untuk merilis oxytocin, hormon yang membuat kita tenang. Bagaimanapun, kulit adalah organ tubuh terbesar dan komunikasi pertama kita adalah lewat sentuhan. Kurangnya sentuhan juga membuat kita lebih rawan terhadap gangguan kognitif dan mental.

Pandemi kesepian, dalam angka

 

Keluarga yang semakin ambyar, calon pacar yang lebih cepat menghilang dibanding hantu, dan teman yang semakin sedikit membuat kita lebih rentan diterpa kesepian. Namun seberapa banyak dari kita yang merasa kesepian?

 

Jawabannya bukan orang tua, tapi justru anak muda. Survei BBC menunjukkan kelompok usia 16-24 tahun yang paling merasa kesepian dibandingkan mereka yang lebih tua. Menariknya, kelompok yang paling merasa tidak kesepian adalah kelompok >75 tahun. Derajat kesepian semakin tinggi bagi kaum minoritas etnis, seksual, dan difabel.

 

Survei YouGov menobatkan generasi milenial sebagai generasi yang paling kesepian. Hasil survei ketika pandemi menghantam juga tetap menyematkan status tersebut ke milenial. YouGov menunjukkan 30% milenial selalu atau sering merasa kesepian, jauh lebih tinggi dibandingkan 20% generasi X dan 15% baby boomers. 25% responden millennial menyatakan mereka tidak punya kenalan, 22% menyatakan tidak punya teman, 27% menyatakan tidak punya teman dekat, dan 30% tidak punya sahabat. Namun, untungnya mayoritas (70%) menyatakan memiliki sahabat. 

 

Pandemi memperparah tingkat kesepian kita. Survei YouGov yang dilakukan di awal pandemi Covid-19 juga menunjukkan milenial jauh merasa kesepian dibandingkan generasi-generasi yang lebih tua. Tentunya hal ini semakin memperburuk kesehatan mental mereka yang sudah menurun.  

 

Teknologi penyebab kesepian?

 

Penelitian-penelitian awal soal kesepian di kalangan anak muda menunjuk media sosial dan kemajuan teknologi sebagai biang kerok. Ini karena anak-anak muda menggantikan komunikasi tatap wajah ke komunikasi daring yang dianggap lebih “kosong”. 

 

Pendapat ini disanggah oleh Nowland, dkk, yang menyatakan bahwa tingkat kesepian ditentukan oleh cara seseorang menggunakan media sosial. Orang-orang yang menggunakan media sosial secara aktif untuk memelihara dan membentuk pertemanan baru melaporkan rasa kesepian yang lebih rendah dibanding mereka yang pasif. Ini karena orang-orang yang kesepian cenderung menarik diri dan pasif, baik di dunia nyata maupun dunia maya. 

 

Isu kesepian ini harus dilihat dengan konteks dan gambaran yang lebih besar. Kemunculan teknologi dan Revolusi Industri meningkatkan rasa kesepian masyarakat. Sekilas teknologi yang membuat kita kesepian, kan? Tapi pelaku sebenarnya adalah ketidaksetaraan dan meningkatnya jurang kemakmuran.

 

Awal dekade industrialisasi memang ditandai oleh tingginya ketimpangan ekonomi. Namun ketidaksetaraan ini mulai menurun kala negara-negara industrial mulai menerima tenaga kerja asing dan demokratisasi pemerintahan yang mendistribusikan kekuasaan dari bangsawan ke masyarakat. Hal ini bisa dicapai berkat keberadaan serikat-serikat buruh dan para politikus sosialis yang mendorong kebijakan pajak tanah yang tinggi, penggratisan sekolah untuk publik, peraturan yang melindungi dan memihak tenaga kerja, serta nasionalisasi fasilitas publik.

 

Ketika semua kebutuhan dasar sudah terpenuhi, orang-orang bisa lebih fokus membentuk hubungan yang bermakna. Kesepian bisa ditekan dan orang-orang bisa hidup dengan lebih bahagia. 

 

Sayang, periode emas kehidupan manusia ini hanya bertahan sebentar. Ketidaksetaraan kembali menyeruak sejak dekade 1970an bersama dengan lesunya partai-partai kiri dan kelahiran neoliberalisme. Pemerintah lebih memilih lepas tangan dan membiarkan tangan tak terlihat kapitalisme bekerja. Fasilitas-fasilitas dasar yang dulunya dibiayai oleh negara diambil alih oleh perusahaan swasta. Tentu ini memaksa kita untuk lebih fokus mencari uang alih-alih membangun koneksi sosial yang suportif.

 

Sebagai obat penawar, sebagian dari kita memilih membuka Tinder, menggeser ratusan foto orang layaknya membeli barang di marketplace. Kalau semesta mengizinkan, kita bisa match dengan orang yang kita ‘sukai’, mengobrol untuk mengetes kecocokan, melanjutkan hubungan ke kasur lalu berakhir di-ghosting. Ada pula yang menghabiskan uang untuk berbelanja demi mengenyahkan rasa kesepian. Lainnya memutuskan untuk mabuk atau teler tiap malam supaya tidak ingat kalau kesepian. 

 

Namun apakah usaha-usaha ini bisa sukses? Sayangnya tidak. Kamu tidak bisa bertukar pikiran dengan botol Jagermeister, jam tangan Dior, sepatu Gucci, atau laptop ROG karena mereka benda mati. Kamu juga tidak bisa memaksa hubungan dengan pasangan Tinder kalau mereka hanya ingin hubungan sementara atau chemistry kalian berdua berhenti di kasur saja.

 

Satu-satunya obat untuk kesepian adalah membangun relasi yang dalam dan bermakna dengan manusia lain. Tapi solusi ini pun hanya bisa benar-benar bekerja apabila kita mengubah sistem kehidupan kita agar lebih mengakomodasi hubungan sosial yang berarti.