Marshel Widianto dan Tangsel: Komedi dan Mimpi Siang Bolong

TL;DR

Marshel Widianto maju sebagai bakal calon Wakil Wali Kota Tangsel (Tangerang Selatan) pada November 2024.
Marshel mendapat dukungan dari rekan selebriti dan kritik dari publik terkait pencalonannya di Tangsel.
Popularitas Marshel dipertanyakan dalam hal kepantasan dan kemampuannya memimpin Tangsel.

 

Marshel Widianto dan Tangsel: Dari Tanjung Priok ke Dunia Hiburan

Tak ada yang meragukan perjalanan Marshel Widianto hingga ia sampai di titik sebagai komedian tokcer. Satu dekade silam, Marshel masih anak Tanjung Priok yang sedang merakit mimpi sebagai artis terkenal. 

Ia memulai dari bawah sebagai penonton bayaran. Ia pernah pura-pura mengamen demi terhindar dari kondektur bis. Ia pernah merasakan kerasnya hidup di jalan: menjadi penagih utang, kurir minyak angin palsu, jadi karyawan yang susah bangun pagi. Pendek kata, kehidupan keras telah ia lalui.

Proses tak mengkhianati hasil, kata poster di sebuah kedai kopi. Roda kehidupan berputar. Begitupula dengan Marshel. Pintu kesuksesan di industri hiburan berangsur terbuka. Setelah menempa ilmu dengan menjadi asisten Adjis Doaibu, nama Marshel mulai dikenal dengan banyak orang. Puncaknya, ia terlibat di acara Tonight Show dan ngonten bareng dengan Denny Cagur.

Sadar dirinya menggenggam kesempatan, ia seakan tak menyia-nyiakan kesempatan emas tersebut. Materi lawakan Marshel dianggap sebagai representasi orang-orang miskin. Dalam sebuah penampilan misalnya, Marshel membagikan pengalaman keluarganya pernah tidur di sebuah rumah petak bersama motor orang tuanya. Atau pengalamannya mandi dengan sabun batang yang sudah tak keruan bentuknya. Tiap kali menyaksikan Marshel, saya selalu tertawa terbahak-bahak.

Seiring berjalannya waktu, komika “lelah miskin” ini mencuat dan masuk dalam deretan komika menonjol. Ia bukan komika semenjana yang hanya dikenal di skena komedi belaka. Namanya makin dikenal setelah terjerat kasus Onlyfans. Lingkar pergaulan Marshel meluas. Ia lantas berkarib dengan pesohor kelas atas seperti Desta, Vincent, Denny Cagur dan Raffi Ahmad. 

Popularitas dan pundi-pundi kini dalam genggaman berkat kerja kerasnya di industri hiburan. Tak puas dengan pencapaian tersebut, Marshel menceburkan diri dalam aktivitas politik. Meski sudah mengaku terjun ke politik sejak 2018, tapi kemunculan Marshel saat Deklarasi Penerus Negeri yang diselenggarakan di The Djakarta Theater, 28 Oktober 2023 lalu cukup menjadi kode bahwa dia tak malu-malu terjun ke politik. Marshel yang bertugas sebagai pemandu acara gamblang mengungkapkan kekagumannya akan sosok Prabowo Subianto.

“Saya sangat semangat sekali hari ini, dan Ini adalah momen yang sangat berarti buat saya karena obrolan yang di sosmed bener semua Pak, Bapak adalah calon presiden yang paling gemoy hari ini Pak.” ungkap Marshel.

Usai deklarasi tersebut, Marshel bersama selebritas lain makin masif mendukung Prabowo-Gibran dalam percaturan Pilpres 2024. Wajah Marshel kerap nongol dalam kampanye Prabow-Gibran sampai akhirnya keduanya dinyatakan menang oleh KPU.

Persinggungan Marshel dengan politik tak henti sampai di kemenagan itu. Marshel Widianto maju sebagai bakal calon Wakil Wali Kota Tangerang Selatan pada November 2024. Dia dipasangkan degan Ahmad Riza Patria sebagai bakal calon wali kota.

Kelucuan Marshel dimulai lagi.

 

Ini Bukan Perkara Boleh atau Tidak, tapi Marshel…

 

Suka atau tidak, demokrasi memungkinkan setiap orang punya hak terlibat dalam aktivitas politik, termasuk politik praktis. Dalam kasus Marshel Widianto dan Tangsel, ia pun punya hak menjadi pemimpin di lembaga eksekutif. Apalagi ia populer cukup menjadi bekal terjun ke politik. Popularitas pada titik tertentu dapat kita artikan seseorang yang dikenal atau disukai publik.

 

Setelahnya, popularitas bisa menjadi salah satu aspek penting seseorang untuk mendapatkan kekuasaan. Tapi Popularitas bisa menjadi mata pisau. Ia dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai pantas atau tidaknya seseorang menjadi pemimpin. Maka itu, popularitas juga harus diimbangi dengan kualitas diri seseorang yang memadai.

 

Kini berderet pertanyaan muncul, apakah Marshel cukup memadai dan berkemampuan memimpin Tangerang Selatan dengan segala permasalahannya? Apa yang Marshel Widianto tahu tentang Tangsel? Semisal terpilih nanti, sanggupkah ia membantu Walikota untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah? 

 

Saya tersenyum kecut membayangkan sebuah adegan yang muncul di kepala: seorang warga datang ke Marshel. Ia mengeluh Ciputat macetnya bikin puyeng sampai ubun-ubun. Marshel hanya senyum. Setelahnya, datang para wartawan bertanya ke Marshel soal gesekan antarwarga yang seakan tak menemui titik damai.  

 

Sambil cengar-cengir Marshel menjawab kepada rombongan wartawan itu: Menyala abangku………..

 

Tapi sayangnya, Marshel yang harusnya menyala sebagai komika, malah digelapkan jalannya oleh para politisi. Salah satunya ialah Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman. Dalam sebuah kesempatan, Habiburokhman menyebut sosok Marshel Widianto yang diusung untuk maju sebagai calon Wakil Wali Kota Tangsel jangan dianggap remeh. Sebagai komika, ujar Habiburokhman, Marshel sangat kritis terhadap pemerintahan. “Pak Marshel juga seorang seniman ya. Kita tidak boleh memandang remeh seniman ini. Apalagi beliau juga komika yang kerap kritis," kata Habiburokhman.

 

Habiburokhman menambahkan, sosok kritis terhadap pemerintah sekonyong-konyong membuat  Marshel paham persoalan diberikan kekuasaan untuk memimpin. "Kalau orang kritis terhadap pemerintah itu kan dia tahu hal-hal apa yang perlu diperbaiki ketika memegang kekuasaan," tambah Habiburokhman.

 

Pernyataan di atas membuat saya terpingkal-pingkal. Pertama, apa urgensinya masalah remeh atau meremehkan dalam dunia politik? Maksudnya begini, pak, apakah dengan meragukan kemampuan Marshel mengurus hajat hidup orang banyak itu sama dengan meremehkan Marshel sebagai individu? Wajar rasanya jika orang bertanya apa yang Marshel punya, pengalaman politik atau gagasan apa yang ia bawa untuk menjadi calon wakil wali kota?

 

Ditambah lagi, apa korelasinya antara komika kritis serta-merta tahu apa yang harus dikerjakan kita diberi kekuasaan? Kita tampaknya tak perlu marah dengan pernyataan Habiburokhman. Sebab, sejarah mencatat, jangankan komika, aktivis paling gahar di masa lampau pun juga akan limbung jika dekat dengan kekuasaan.

 

Menambahkan kebingungan yang dilontarkan Habiburokhman, rekan selebritas Raffi Ahmad menyebut kalau ia mendukung langkah komedian Marshel Widianto maju dalam kontestasi Pilwalkot Tangsel. Ia menilai Marshel jujur dan pendiam.

 

"Marshel juga jujur, pendiam, dan mau belajar. Jadi, saya lihat, ya, rasa-rasanya kalau orang punya kesempatan untuk bisa berubah,” kata Raffi.

 

Hey, halo? Tolong dong yang ngerti kasih tahu saya, apa cukup jujur, pendiam, dan mau belajar cukup modal menjadi wakil wali kota? Ini perkara pemerintah daerah, Bung Raffi. Bukan standar mencari calon suami.

 

Heran saya. Mengapa dua orang di atas yang punya pengaruh besar masih belum paham kalau memimpin sebuah kota bukan sekadar urusan pribadi. Maka itu, saya sependapat dengan pernyataan Pandji Pragiwaksono yang meminta Marshel untuk mengurungkan niatnya untuk terlibat dalam konstelasi politik Tangsel. Melalui akun YouTube pribadinya, Pandji tegas meminta Marshel dibatalkan sebagai calon Wakil Wali Kota Tangerang Selatan.

 

"Batalkan saja sekarang Marshel, baik untuk semuanya, baik untuk partainya, baik untuk Kota Tangerang Selatan, dan baik untuk Marshel," kata Pandji Pragiwaksono.

 


Pandji memang benar; keputusan Marshel Widianto untuk mundur dari pencalonan di Tangsel adalah langkah terbaik untuk menjaga semuanya. Menurut saya, Marshel lebih baik tetap berkonsentrasi pada karir hiburannya. Dengan karisma yang kuat, publik masih membutuhkan humor Marshel, yang sering kali mewakili kehidupan masyarakat pinggiran. Marshel seharusnya terus menghibur dengan lawakan yang memparodikan kemiskinan di atas panggung, bukan dari posisi di kantor Wali Kota Tangsel.

 

Kalaupun hasrat politik dan berbuat baik kepada masyarakat menggebu-gebu, tak ada salahnya menahan hasrat tersebut. Hasrat berbuat baik saja tak cukup di dalam dunia politik. Bukan begitu? Apalagi, seperti kata Czeslaw Milosz, orang akan dicengkam dalam angan-angan manakala tak ada satu dasar pegangan yang kuat.

 

Sebab, pelawak yang menghibur jauh lebih mulia dibandingkan politisi yang tak tahu apa-apa. Ya, meski harus diakui keduanya sama-sama lucu. Sebagai penutup saya mau bilang: tanpa terjun dalam politik praktis sekalipun, hey kamu Marshel Widianto, iya kamu, kamu sudah lucu kok.