Jogja, yang dikenal sebagai kota wisata penuh kenangan indah, ternyata menyimpan sisi gelap yang jarang tersorot. Salah satunya adalah nasib para pekerja seks Bong Sowung yang kini berada di ambang kehancuran akibat kebijakan sterilisasi dari PT KAI Daop 6. Lokasi yang dulunya menjadi rumah dan tempat mencari nafkah bagi puluhan pekerja seks kini terancam hilang. PSK Bong Sowung menghadapi kenyataan pahit saat tempat yang mereka sebut rumah akan dibongkar tanpa solusi yang memadai.
Pada 24 September 2024, massa aksi yang terdiri dari pekerja seks dan warga Bong Sowung menggelar protes di depan kantor PT KAI Daop 6. Mereka menuntut penundaan pembongkaran dan meminta kompensasi yang layak. Namun, PT KAI tetap kukuh melanjutkan rencana sterilisasi. Uang kompensasi yang dijanjikan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan warga, terutama bagi para PSK yang menggantungkan hidup di lokasi ini.
“Bongkarannya hari Jumat ini, kami harus kemana? Tempat ini sudah seperti rumah bagi kami,” ujar salah satu PSK.
Tak hanya kehilangan tempat tinggal, para PSK Bong Sowung juga kehilangan mata pencaharian. Bagi banyak dari mereka, bekerja sebagai PSK adalah satu-satunya cara untuk bertahan hidup di tengah keterbatasan pendidikan dan kesempatan kerja. Seperti yang diungkapkan oleh Vira, seorang ibu dua anak yang mengandalkan penghasilan dari profesinya di Bong Sowung, “Kalau tempat ini dibongkar, saya tidak tahu harus kemana.”
Sementara itu, Saras, seorang transpuan yang juga tinggal di Bong Sowung, menyampaikan keprihatinannya atas nasib para pekerja seks yang lebih tua, “Saya masih muda, bisa mencari pekerjaan lain. Tapi bagaimana dengan mereka yang tidak punya pilihan?”
Bong Sowung bukan sekadar tempat tinggal bagi para PSK, tapi juga memiliki sejarah panjang yang dimulai sejak zaman kolonial Hindia Belanda. Kawasan ini dulunya dikenal sebagai pusat hiburan malam bagi para buruh rel kereta api. Kini, setelah 200 tahun, lokalisasi ini menjadi rumah bagi masyarakat yang terpinggirkan, termasuk para PSK, pemulung, dan pedagang kecil.
Namun, seiring kebijakan pemerintah dan PT KAI, seluruh komunitas ini terancam tercerai-berai. Bong Sowung, yang telah berubah menjadi komunitas tertib dan terorganisir, kini akan tinggal kenangan. Bahkan, mereka sudah membuat aturan ketat agar tidak ada anak di bawah umur yang menjadi pekerja seks, serta memastikan kesehatan warga dengan pemeriksaan rutin.
Hingga saat ini, belum ada solusi yang jelas bagi nasib PSK Bong Sowung. Mereka terus memperjuangkan hak-hak mereka, berharap bisa mendapatkan waktu lebih lama untuk menata hidup kembali sebelum akhirnya tempat mereka dibongkar. Namun, pemerintah dan PT KAI tampaknya belum memberikan kepastian.
Ketika Bong Sowung benar-benar hilang dari peta, Yogyakarta tak hanya akan kehilangan sepotong sejarah, tetapi juga mencatat cerita baru tentang ketidakadilan sosial yang menimpa para PSK. Bong Sowung mungkin segera sirna, namun kenangan tentang para pekerja seks yang pernah hidup dan berjuang di sana akan terus hidup dalam lorong-lorong gelap kota.
Tidak hanya PSK yang terancam, tetapi juga masyarakat umum yang menggantungkan hidup mereka di Bong Sowung. Keputusan pembongkaran tanpa relokasi yang jelas ini tidak hanya memutus penghidupan, tetapi juga membuka celah untuk masalah sosial baru. Ketika lokasi ini dibongkar, PSK Bong Sowung terpaksa mencari cara bertahan hidup di tempat lain, yang mungkin lebih tidak aman dan lebih rentan terhadap kejahatan.
Apakah Jogja akan tetap dikenang sebagai kota wisata dengan kenangan manis, atau akan dihantui oleh cerita-cerita kelam para mantan pekerja seks yang terbuang tanpa rumah?
Skenario ini adalah cerminan realitas yang dihadapi banyak komunitas marjinal di kota-kota besar. Bong Sowung, dengan segala permasalahan sosialnya, seharusnya mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah dan masyarakat. Ketidakpedulian pada nasib mereka hanya akan menambah deretan cerita suram tentang ketidakadilan sosial.
Jangan sampai PSK Bong Sowung kehilangan masa depan hanya karena kebijakan tanpa solusi yang memadai. Apa yang akan terjadi selanjutnya pada mereka? Hanya waktu yang bisa menjawab.