Matematika Food Vlogger yang Mau Makanan Gratis

Matematika Food Vlogger yang Mau Makanan Gratis: 1 Follower = 10 Juta Penjualan 🤡
Pambudi Driya

Tok tok.

Siapa, ya?

Ini, Mahfud

Mahfud siapa?

Mahfud vlogger yang cuma mikirin keuntungan pribadi dengan dapet barang gratisan menggunakan jumlah followers dan ketenaran semu.

Ada seorang food vlogger cum influencer yang merasa dipandang sebelah mata ketika ia mendatangi salah satu tempat makan. Padahal dalam video itu, ia telah menunjukkan berapa followers-nya dan menjelaskan bisa membantu sejauh apa dirinya untuk tempat makan tersebut. 

Dalam video yang viral itu muncul pertanyaan, yang barangkali dari pihak pemilik tempat makan, "saya dikasih apa?" atau lebih jauh apa dan seberapa banyak manfaat bekerja sama dengannya?

Bukan jawaban konkret yang diberikan oleh si influencer, ia menjawab bahwa nilai dari followers-nya itu tidak ternilai. Mungkin maksudnya, followers itu lebih penting dibandingkan dengan orderan langsung tiap harinya.  

Selain itu, ia menyebutkan bahwa food vlogger saat ini seperti tidak ada kelasnya, karena berdasarkan pernyataannya, ada temennya yang dateng ke restoran itu dibiarin begitu aja, engga dijamu. 

[MASUKIN VIDEONYA]

Apa Betul Exposure dengan Vanity Metrics Itu Penting?

Sebagai seorang food vlogger, sudah semestinya ia memahami, bukan hanya mengenali jargon istilah sosial media seperti likes, shares, followers dan seterusnya yang termasuk ke dalam “vanity metrics". 

Vanity metrics seperti likes, shares, comments, dan traffic, menunjukkan informasi penting tentang seberapa engaged customer dengan suatu konten. 

Betul bahwa biasanya patokan untuk mengukur suatu performa dari kampanye di sosial media adalah vanity metrics. Vanity metrics adalah cara termudah untuk menjadi tolok ukur di sosial media, content marketing, digital advertising, dst. Seth Godin menyebutkan hal-hal seperti clicks, views dan likes memang jalan paling mudah, dan bukan karena relevansinya.

Hal akan menjadi lebih rumit ketika yang diminta adalah pertanggungjawaban ROI atau nilai bagi suatu bisnis. Berbeda dengan metric yang lebih jelas nilainya seperti ROI, yang membutuhkan waktu, kualifikasi, serta trial and error suatu konten.

Sementara itu, Jill Avery, seorang dosen senior di Harvard Business School, menjelaskan alasan kenapa, misalnya, food vlogger di atas ketika ditanya tentang apa dampak (penjualan) bagi perusahaan, lalu menyebutkan berapa banyak followers-nya, biasanya mereka tertekan dan dipaksa mendapatkan hasil segera mungkin.

Alasannya dikarenakan, misalnya, food vloggers tersebut mendapatkan 1.000 likes. Dalam satu minggu setelah ia mengunggah konten, traffic yang mengunjungi konten dan profilnya meningkat. Pertanyaannya, apakah dari salah dua vanity metrics ini benar-benar  menghasilkan penjualan?

Jawabannya: Tidak ada hubungannya sama sekali, malahan irrelevant. Sebab tujuan dari vanity metrics hanya tentang yang non-transaksional seperti brand awareness, sentiment, dan share of voice.  

Masalah Utama Influencer Marketing

Melihat food vlogger bekerja dan merasa dirinya paling berjasa dan memiliki dampak itu saya jadi kepikiran tentang problem metafisika pandangan (baca: bukan goib dan ilmu klenik) dalam filsafat yang menyatakan bahwa kehadiran manusia atau tidak adanya manusia itu mempengaruhi/tidak mempengaruhi sama sekali objek-objek seperti matematika, alam semesta, dan lainnya.

Dalam kasus di atas, secara tidak langsung food vlogger itu ingin menyatakan bahwa, “Ini loh dengan followers sekian X, bisa menghasilkan dan memberi dampak yang tak ternilai Y bagi tempat makanan Z.”

Pernyataan seperti ini dalam filsafat itu dikategorikan sebagai paham antirealisme, secara singkatnya adalah suatu pandangan yang menyatakan bahwa hanya manusia yang memungkinkan untuk memahami alam sekitar, alam semesta, benda-benda fisik, dan hal abstrak seperti matematika. Tidak ada pengetahuan atau kebenaran lain yang independen di luar sana tanpa kehadiran manusia.

Sementara salah satu pandangan lain, yakni realisme menyatakan bahwa kehadiran atau pengetahuan dunia itu independen terlepas dari manusia. Misalnya pengetahuan kita tentang alam semesta itu tidak terpengaruh dengan karena adanya manusia, objek matematika itu yang kita kenali misal seperti 2+2, segitiga sama sisi, itu sebenarnya independen dan tak bergantung kepada kehadiran manusia, karena ada atau tiadanya manusia, pengetahuan seperti matematika, entitas lain, dan alam semesta raya lainnya tetap ada di sana dengan hukum-hukumnya dan tidak terpengaruh keberadaan manusia sama sekali.
Hal itu juga berlaku dalam kasus food vlogger yang merasa dengan kehadirannya beserta followers di sosial media dapat memberikan dampak yang besar ke tempat makan tersebut. Padahal seperti kebenaran matematika dan objek lain di alam semesta ini yang tak memerlukan manusia untuk mengatakan bahwa A itu benar, pemilik tempat makan itu juga ingin menegaskan kepada food vlogger bahwa tanpa adanya kehadiran dari food vlogger beserta followers-nya, tempat makan itu masih tetap ada beroperasi dan mendapat keuntungan tetap.

Alangkah sangat wajar ketika pemilik tempat makan itu menanyakan, “Saya dikasih apa?” Karena, ya, memang jumlah followers anda tidak berpengaruh signifikan untuk penghasilan pemilik tempat makan yang memang dari sananya udah segitu-gitu aja.

Menurut laporan Stackla, jumlah followers seorang influencer ternyata nggak terlalu berpengaruh dalam mempengaruhi keputusan pembelian. Cuma 23% orang yang mempercayai konten dari selebritas dan influencer yang benar-benar memengaruhi keputusan pembelian, sedangkan 60% konten yang diposting oleh teman atau keluarga justru memengaruhi keputusan pembelian. Jadi, tak peduli seberapa besar popularitas brand yang diiklankan oleh influencer, hal itu hanya akan memberikan likes dan followers tetap. Influencer marketing di sosial media hanya mampu memberikan awareness, dan sulit untuk mencapai konversi seperti penjualan.

Temuan Association of National Advertisers (ANA) menunjukkan bahwa sebesar 75% marketer bekerjasama dengan influencer marketing. Kenyataannya hanya 36% yang merasa berhasil. Dengan kata lain, sebenarnya bisnis yang telah berjalan dan menghasilkan penjualan tanpa adanya seorang food vlogger itu telah melakukan hal yang tepat dengan menanyakan dampak apa yang bisa si influencer berikan terhadap keberlangsungan bisnisnya? 

Untuk meningkatkan efektivitasnya, sebaiknya seorang food vlogger membuat janji terlebih dahulu dengan pemilik tempat makanan untuk membahas kerjasama, daripada hanya mengandalkan jumlah followers untuk meyakinkan pemilik bisnis. Keduanya harus memahami apa yang bisa dipertukarkan dalam kerjasama tersebut. Meskipun exposure di media sosial dari influencer bisa kasih manfaat bagi pemilik bisnis, tapi, kan, pemilik bisnis juga harus memberikan pelayanan yang mantap pula, seperti menyediakan makanan yang lezat dan mengenyangkan, yang tentunya memerlukan biaya dan persiapan serius.

Bayangkan semisal food vlogger itu pada akhirnya makan-makan gratis, tapi makanan yang disajikan oleh pramusaji itu mesti memotong gaji pegawai di tempat makan tersebut—karena sebelumnya tidak ada perjanjian dan perhitungan budgeting untuk biaya marketing—bukankah keberadaan food vlogger ini malah merugikan orang lain?

Buat jadi seorang food vlogger, ia perlu memahami nilai pertukaran dan nilai-guna dalam setiap kerjasama yang dilakukan—bukan sekadar mengejar popularitas dengan memamerkan jumlah followers dan subscribers yang dimilikinya. Sebagai seorang influencer. Lebih baik lagi jika ia membeli produk yang ingin diulas ketimbang meminta gratisan, karena sebagai seorang food vlogger yang berpengaruh dengan banyak followers dan subscribers, ia dapat menghasilkan pemasukan melalui adsense dan kerjasama dengan brand.

Lagian, ya. Kalau menurut dia follower = power artinya tanggung jawab si influencer juga punya tanggung jawab untuk memberi contoh kepada follower-nya buat nggak jadi asshole.