Matinya Desain Kantor Terbuka

Kantor terbuka (open-plan design) beberapa tahun belakangan jadi sarung sansak di dunia jurnalisme berbahasa Inggris. Ia dianggap menghilangkan privasi para pekerja. Ia setara dengan praktik pengawasan melekat. Ia meremukkan konsentrasi pekerja karena tidak bisa membendung distraksi semaksimal kubikel.

 

Fastcompany menyebut 10 alasan mengapa open plan design buruk bagi pekerja di antaranya berisik, pekerja harus datang pagi untuk berebut meja, pekerja terpaksa harus ngobrol dengan rekan kerja, ruangan yang bau, dan tentu saja, ketiadaan privasi.

 

Jika open office sengaja dirancang untuk meningkatkan kolaborasi, studi Harvard Business School 2018 menunjukkan tujuan itu tidak tercapai. Interaksi tatap muka di kantor terbuka berkurang 73 persen sementara komunikasi antar pegawai via email dan aplikasi pesan instan naik hingga lebih dari 60% (https://royalsocietypublishing.org/doi/10.1098/rstb.2017.0239). Lagipula, bagaimana orang mau serius bertatap muka jika mayoritas karyawan sejak awal sudah memakai headphones untuk mencari keselamatan dari distraksi dan suara-suara yang tidak diinginkan?

 

Tapi, benarkah desain kantor terbuka sudah cacat dari awal?

 

 

Negeri Transparan

 

Siapa bilang kantor terbuka lahir sebagai reaksi terhadap dominasi kubikel yang mirip toilet itu? Ada benarnya, tapi perlu diingat bahwa meski dominan, kubikel kantor adalah temuan yang relatif baru. Ia diperkenalkan pada 1960 dan baru dirobohkan pada awal 2000an. Usia kejayaannya kurang lebih sama dengan rata-rata usia kelompok milenial tua: 40 tahun. Kantor terbuka—dengan nama open floor, open plan design, atau nama lainnya—adalah fenomena yang sebetulnya lebih umum dalam sejarah kapitalisme.

 

Benih-benih desain kantor terbuka sudah bermula sejak awal abad ke-20 bersamaan dengan ’Revolusi Manajemen’ Taylorisme. Bagi Frederick Taylor, bapak manajemen saintifik, kantor dan pabrik adalah tempat yang bertujuan mendorong produktivitas pekerja semaksimal mungkin dan organisasi kerja yang efisien dengan manajer sebagai kepalanya. Sebelum Principles of Scientific Management terbit pada 1909, tugas manajer adalah sekadar mengurus kontrak karyawan. Setelahnya, ia menjadi koordinator lapangan, memberikan training ke pekerja, mengawasi mereka, dan memberikan insentif.

 

Pada awal abad ke-20, tempat-tempat kerja yang terinspirasi konsep manajemen Taylor menempatkan kantor manajer satu lantai di atas ruang tempat karyawan kerah putih menghitung, mencatat, mengetik, dan menyusun laporan. Di lantai bawah ini tidak ada sekat antar karyawan karena perusahaan memang mempromosikan kolaborasi dan komunikasi sesama pegawai kerah putih. Waktu dan gerak tubuh, demikian yang dipelajari Taylor, harus diperas seefektif mungkin agar perpindahan komoditas dari satu tempat ke tempat lain berlangsung lancar.

 

Desain kantor terbuka mengalami perubahan besar-besaran setelah Perang Dunia II berakhir, awalnya dari Jerman Barat. Di sinilah tercipta tata ruang kantor terbuka modern yang hari ini kita kenal. Namanya Bürolandschaft (lanskap kantor). Bagi para penganjurnya di Jerman Barat pada awal 1950an, Bürolandschaft adalah perlawanan terhadap warisan desain dan arsitektur Nazi yang hirarkis. Begitulah yang dipikirkan Schnelle bersaudara, desainer Bürolandschaft.

 

Konsep Bürolandschaft sangat sederhana. Dinding-dinding penyekat dihancurkan. Manajer tidak lagi menempati ruang khusus di atas karyawan biasa. Mereka bisa membaur dengan pekerja lainnya di satu meja yang sama. Hierarki struktural dalam kantor tidak lagi ditandai lewat atribut fisik, melainkan melalui hal-hal yang lebih esensial: wewenang, jabatan, upah, dan tunjangan.

 

Dalam kurun waktu 12 tahun setelah Perang Dunia II berakhir, Jerman Barat melesat menjadi keajaiban ekonomi Eropa mengalahkan Inggris, yang hanya mengalami kerugian fisik kecil namun ekonominya terseok-seok. Dengan estetika hemat dan cermat, Bürolandschaft seolah membuktikan kesuksesan rekonstruksi Jerman Barat yang dikomandoi doktrin ekonomi pasar sosial. Terlebih lagi, sebagai reaksi terhadap apapun yang berbau hierarki, Bürolandschaft terlihat lebih demokratis karena didesain untuk menghasilkan relasi antar pegawai yang lebih luwes, otonom, dan organik.

 

Di sisi lain, Bürolandschaft sejak awal juga kerap dikritik karena menghilangkan privasi. Kontrol terhadap pekerja makin melekat karena sekat-sekat ruangan yang memisahkan mereka dan manajer kini menghilang sebagaimana yang telah dikeluhkan media-media (https://www.zeit.de/karriere/2016-08/grossraumbuero-kritik-gesundheit-mitarbeiter/komplettansicht) Jerman (https://www.stern.de/wirtschaft/job/wie-das-grossraumbuero-entstand---und-wie-wir-in-zukunft-arbeiten-8862476.html) sejak beberapa tahun lalu.

 

Jika Bürolandschaft menghilangkan privasi, mungkin kita bisa memeriksa bagaimana konsep ruang terbuka ini menjadi bagian dari spirit ”Negara Transparan”, norma baru yang dianut Jerman Barat pasca-Perang Dunia II. ”Negara Transparan” secara sadar bahkan diadopsi sebagai branding yang membedakan Jerman Barat dari Jerman Timur yang otoriter dan gemar mengawasi warganegaranya, sebagaimana ditulis oleh Ascher Barnston dalam Transparent State: Architecture and Politics in Postwar Germany (2005). Tak heran, filosofi ruang terbuka yang sejalan dengan etos transparansi ini berlaku di mana-mana, termasuk juga parlemen (Bundestag, dengan elemen kaca yang menonjol) hingga di desain ruang-ruang publik seperti stasiun kereta dan bandara.  

 

Ironisnya, pada satu titik, spirit transparansi ini tidak bisa dilepaskan dari pengawasan karena dua faktor: gelombang aksi-aksi terorisme sayap kiri dan, yang paling penting, Jerman Barat menjadi pos terluar geopolitik Amerika Serikat di Eropa. Dalam Dark Territory of the Information Age (2010), Matthew G. Hannah menyebutkan, pada 1979, kepolisian Jerman Barat mengawasi 4,7 juta orang dan 31 ribu organisasi serta menyimpan 12,1 juta sidik jari. Menurut hitungan Hannah, 1 dari 12 orang di negara berpenduduk enam puluhan juta orang itu diawasi. Sebagai perbandingan, mengutip Der Spiegel, Stasi, polisi rahasia Jerman Timur, menyimpan dokumen sekitar 5,6 juta penduduk yang dipantau (dari total 17 juta jiwa). Dengan kata lain, 1 dari 3 warga Jerman Timur diawasi. 

 

Jelas lebih banyak warga Jerman Timur yang dipantau. Tapi tentu rasio 1:12 itu berkebalikan dengan branding yang dibangun pemerintahan Bonn. Selebihnya perbedaan kecil namun krusial dalam dua model pengawasan. Stasi melakukannya secara terbuka dan agen-agennya ingin agar orang yang diawasi tahu bahwa mereka sedang diawasi. Tujuannya: ketakutan dan kepatuhan warga. Aparat Jerman Barat sebaliknya mengawasi diam-diam seraya menebar ilusi bahwa enam puluh juta orang jauh lebih merdeka daripadi tetangganya di Timur.

 

Negara transparan pada Perang Dingin bermakna transparansi maksimal untuk warga dan transparansi minimal untuk negara. Hari ini, kantor terbuka juga bisa berarti privasi minimal untuk pekerja dan maksimal untuk para bos (yang tidak harus datang ke kantor).

 

Manajemen Ikan Sarden

 

Kembali ke bisnis, bagi manajemen perusahaan, Bürolandschaft lebih menguntungkan karena bisa memuat banyak orang dalam satu ruangan. Dan di sinilah masalahnya bermula.

 

Tata ruang kantor terbuka mendunia setelah diadopsi perusahaan-perusahaan Amerika sejak 1980an. Pada dekade itu terjadi merger dan akuisisi besar-besaran di perusahaan-perusahaan Paman Sam. Serikat-serikat pekerja dihancurkan. Pemecatan mewabah. Para pegawai yang tersisa menghuni kantor-kantor yang sudah sesak seperti kaleng sarden. Dalam beberapa dasawarsa selanjutnya, merger dan akuisisi menjadi kian rutin dan semakin pendek siklusnya.

 

Dari beberapa gelombang merger dan akuisisi Amerika Serikat yang didokumentasikan Patrick gaughan dalam Mergers, Acquisitions, and Corporate Restructurings (2017), setidaknya ada dua gelombang yang bertepatan dengan revolusi tata ruang kantor. Gelombang merger pada 1965-1969 terjadi seiring kemunculan kubikel di kantor-kantor Amerika yang dipasang karena perpindahan masif pekerja dari satu kantor ke kantor lainnya menambah kebisingingan. Revolusi setelahnya, yang terjadi seiring gelombang merger 1980an, membawa desain ruang terbuka yang kini diterima sebagai kewajaran.

 

Ironisnya, pemasangan dan pembongkaran kubikel dilakukan atas dasar dua argumen identik: menunjukkan kesetaraan antara manajer dan pekerja, serta mendorong kolaborasi (dengan privasi lebih besar untuk ruang berkubikel, tentunya). Pertanyaannya, apa yang menyebabkan perusahaan mengambil dua tindakan yang berbeda? Faktor apa yang membuat kalangan bisnis akhirnya mengambil tindakan untuk memasang kubikel sehingga menopang suasana kerja yang lebih manusiawi?

Jawabannya mungkin ada di taraf keanggotaan serikat yang mampu memperbesar daya tawar pekerja. Pada 1973, 24,2% pekerja di sektor swasta Amerika adalah anggota serikat. Pada 2014, angkanya menyusut hingga 6,6%.

Pada 2014, kubikel sudah lama runtuh.