Mau Jakarta Tidak Macet? ERP Solusinya

1. Kemacetan Jakarta disebabkan oleh terus meningkatnya jumlah kendaraan pribadi meskipun transportasi publik makin beragam dan digunakan.

2. Electronic Road Pricing (ERP) terbukti efektif mengurangi kemacetan dan polusi di berbagai kota dunia, termasuk New York City.

3. Penerapan ERP di Jakarta mendesak dilakukan demi mengurangi polusi, meningkatkan efektivitas transportasi publik, dan menekan dampak negatif kemacetan.

Tak ada paradoks yang lebih membingungkan dari Jakarta: jalanan selalu bertambah (1, 2, 3), moda transportasi umum semakin bervariasi, ditambah jumlah pengguna transportasi umum meningkat pesat. Tapi kenapa kemacetan terus menghantui kota ini?
 
Ya karena jumlah kendaraan pribadi terus bertambah tiap tahun. 

Sumber: Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis Kendaraan (unit) di Provinsi DKI Jakarta - Tabel Statistik - Badan Pusat Statistik Provinsi Dki Jakarta

Ketika dihadapi masalah ini,satu-satunya solusi yang perlu dicoba adalah electronic road pricing (ERP) atau jalan berbayar elektronik. Sistem ini pertama kali diimplementasikan di Singapura tahun 1998 dan merupakan pembaharuan dari area licensing scheme.

Setiap mobil yang dibeli di Singapura harus dipasang In-vehicle Unit (IU) berisi semacam kartu elektronik di kanan bawah kaca depan mobil. Daerah ERP akan ditandai dengan gerbang penanda jalan yang sudah dilengkapi dengan teknologi radio frequency identification (RFID, antena komunikasi, detektor kendaraan, dan kamera pengawas pelanggaran. Data ini kemudian dikirim ke Control Center yang berfungsi untuk memantau pengendara, memproses transaksi pembayaran biaya melintas jalan, dan mengatur periode waktu melintas pada semua gerbang ERP. Biaya tolnya bervariasi tergantung daerah dan jam, tapi umumnya bervariasi dari S$0,5-6 sekali masuk.

Sistem ini terbukti efektif dalam menekan angka kemacetan di area sibuk dan membuat orang-orang menggunakan transportasi publik. Setiap tarif ERP dinaikkan S$1, ada kenaikan 12-20% komuter pagi dan 10% komuter malam yang memilih untuk menggunakan transportasi publik. Sementara itu, mereka yang rela membayar premium di jam sibuk bisa melaju di jalan kosong. Kecelakaan jalan menurun—selain karena jumlah mobil yang berkurang, juga karena kecepatan dibatasi 45-65 km/jam di jalan tol dan 20 km/jam di jalan arteri di jam sibuk.

Kebijakan ini begitu sukses sampai ditiru di kota-kota besar Inggris, Swedia, Italia, dan Amerika Serikat. Baru minggu lalu, New York City (NYC) memberlakukan ERP di central business district—pusat bisnis mereka. Respons warga bervariasi: dari para pengemudi mobil yang kesal karena harus bayar $9 sekali masuk, pemilik bisnis di area Queens yang takut pemberlakuan ERP akan membuat pemasukan mereka menipis, sampai pejalan kaki, pesepeda, orangtua, dan urbanis yang senang karena prospek udara kota yang lebih bersih, jumlah kecelakaan yang menurun, dan pembiayaan MTA alias otorita transportasi publiknya NYC supaya mereka bisa memperluas jalurnya. 


Peta ERP New York City

Penerapan kebijakan ini bukannya tanpa perlawanan tahunan yang keras dari berbagai lini. Rencana pembatasan kendaraan yang masuk ke pusat bisnis NYC sudah diusulkan dari tahun 1970an, tapi gagal dan terus gagal. 

Mungkin bukan suatu kebetulan rencana soal ERP selalu dibawakan oleh gubernur-gubernur dari partai Demokrat. 

Gubernur Michael Bloomberg kembali menghidupkan rencana ini di tahun 2007 tapi dijegal oleh Majelis Negara NY. 

Rencana serupa dibawa lagi oleh Gubernur Andrew Cuomo sebagai respons terhadap krisis transportasi umum. Apesnya, rencana ini baru disetujui senat di tahun 2023. 

Untungnya gubernur penerusnya, Kathy Hochul, adalah pendukung keras ERP. Tapi enam bulan lalu ia terpaksa menelan ludahnya sendiri, mengutip beanya terhitung mahal ($15) dan ekonomi NYC belum kembali ke level pra-pandemi. Tapi alasan sebetulnya ya, tidak jauh-jauh dari elektabilitas partai Demokrat—yang kemarin dikalahkan oleh partai Republikan di pemilu kepresidenan. 

Jakarta juga mengalami nasib yang sama. Kegagalan kebijakan 3 in 1 dalam mengurai kemacetan Jakarta membuat perhatian pemerintah bergeser ke ERP. Riset Kemenlu dengan JICA (2012) menunjukkan program ERP akan mendulang rupiah yang nantinya bisa dipakai untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur. ERP kembali disebut oleh Menhub Budi Karya Sumadi di tahun 2018

Kebijakan ini juga akan mendorong orang-orang untuk menggunakan transportasi umum, seperti yang dinyatakan MRT Jakarta di Agustus 2023.Pernyataan MRT Jakarta ini, sayangnya, tidak bisa dilepaskan dari besarnya utang dan kerugian dari pembangunan MRT dan LRT. Mantan Presiden Jokowi bahkan mendukung pemberlakuan kebijakan ini, sebulan setelah MRT Jakarta mengungkapkan solusi anti-macet dan polusi mereka. Ya bagaimana tidak, sejak ERP diberlakukan di NYC, pemerintah kota itu mendulang $15,85/detik. Dalam setahun, mereka bisa meraup $500 juta yang nantinya akan digunakan untuk revitalisasi transportasi umum NYC. 

Soal ERP, Pemerintah DKI Jakarta sudah memasukkannya ke Raperda Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik (PL2SE) di tahun 2022-2023. Rencananya akan ada 25 ruas jalan yang dikenai tarif ERP. 

Semakin ke sini, urgensi untuk menerapkan ERP di Jakarta semakin tinggi. Polusi yang diakibatkan oleh kendaraan pribadi sudah berada di level berbahaya dan kemacetan yang merugikan secara waktu, finansial, dan mental sudah terlalu lama menghantui warga. Alih-alih memberikan subsidi ke mobil listrik, pemberlakuan ERP jauh lebih tepat guna.

Ini adalah win-win solution: polusi suara dan udara berkurang, tingkat stres karena macet menipis, kecelakaan lalu lintas menurun, dan transportasi publik semakin menjangkau ceruk-ceruk kota.