Mayfly

Mayfly

TL;DR

Seseorang berusia seratus tahun mencari pasangan dalam dunia di mana perjodohan ditentukan oleh persentase kecocokan. Meskipun memiliki waktu yang cukup, ia terus berjuang untuk mencapai standar tinggi. Dalam pencariannya, ia mempertimbangkan kehidupan singkat seekor lalat capung yang efisien dalam reproduksi. 

Semakin pendek siklus hidup suatu makhluk, semakin terasa panjang satuan waktu alam semesta baginya. Di Bumi, satu hari berarti dua puluh empat jam berarti seribu empat ratus empat puluh menit berarti delapan puluh enam ribu empat ratus detik. Ketika usiamu memasuki puluhan tahun, kau akan melihat satu pekan hanya sebagai bagian kecil dari hidupmu, terlebih lima dari tujuh harinya hampir pasti kau habiskan untuk bekerja menghasilkan uang yang kau butuhkan untuk hidupmu selanjutnya.

Bagi perempuan, satu pekan bisa berarti rentang waktu penderitaan menjelang datang bulan, rentang waktu penderitaan saat datang bulan, atau rentang waktu penderitaan saat ovulasi. Satu pekan bisa berarti rentang waktu untuk menumpuk pakaian kotor yang harus kau masukkan ke binatu, rentang waktu untuk saatnya mengganti seprai dan sarung bantalmu, mencuci sepatu, memeriksa persediaan bahan makananmu, rentang waktu untuk kembali bertemu dengan teman-temanmu. Namun satu pekan yang singkat bagi manusia itu, berarti tujuh kali reinkarnasi bagi seekor Ephemeroptera. Nama yang dalam Bahasa Inggris sangat efisien menjelaskan dirinya: lasting a day.

Dalam bahasa awam, Lalat Capung merupakan serangga dengan siklus hidup terpendek di Bumi, seluruh hidupnya dari lahir hingga mati hanya menghabiskan waktu dua puluh empat jam. Dua puluh empat jam untuk menemukan pasangan, bersenggama, dan bertelur kembali ke air tempat asalnya sebagai the final act sebelum mati. Tak ada waktu untuk menumpuk pakaian kotor, mencari hobi, memutus generational trauma, memikirkan menu meal-prep sepekan ke depan, merasa bosan dan mulai membohongi pasangan, menabung uang muka untuk rumah cicilan lima belas tahun ke depan, memanjat tangga karier, decluttering kelebihan barang, menyisipkan power nap selama lima belas menit pada jam makan siang, berebut tiket mudik lebaran. Tak ada waktu. They had one job and it’s to procreate. Sedangkan manusia—

***

Hari ini aku genap berusia enam puluh tahun, memasuki rentang usia yang diizinkan untuk mulai mencari kandidat pasangan. Menurut yang kudengar dari ibuku, zaman dulu sekali, pada zaman generasi-sangat-tua dari keluargaku hidup, orang-orang mulai berpasangan pada usia dua puluhan, dan orang usia empat puluh sudah dianggap terlambat untuk mencari pasangan dan mesti bersiap untuk menjalani sisa hidup sendirian, karena rata-rata mereka hanya hidup sampai usia tujuh puluh. Itu artinya, jika aku hidup di masa itu, sisa umurku hanya tinggal sekitar sepuluh tahun saja. Tidak bisa kubayangkan. Bagaimana mungkin tujuh puluh tahun cukup untuk melakukan semua hal yang ingin kau lakukan dalam hidup? Kudengar dari ibuku juga, orang-orang di masa itu memiliki kecenderungan menekuni satu profesi saja sepanjang hidup, sungguh membosankan.

Aku selalu merasa beruntung lahir di masa yang tepat, di mana rerata usia manusia mencapai seratus dua puluh tahun dan tubuhmu masih bugar dan produktif hingga usia seratus, proses berkembangbiak sepenuhnya dilakukan di luar tubuhmu sehingga tak ada risiko kesehatan, kau punya waktu yang panjang untuk menemukan pasangan yang benar-benar sesuai untukmu, dengan metode akurat yang sangat efektif dan efisien. Oh! Benar juga. Aku juga pernah membaca salah satu manuskrip catatan harian milik salah satu generasi-sangat-tua dari keluargaku pada kumpulan arsip keluarga, katanya di zaman itu kau mesti memulai perkenalan secara perlahan dengan kandidat pasangan yang secara fisik menarik bagimu. Kau perlu membangun hubungan emosional sedikit demi sedikit sambil melakukan penilaian atas segala aspek pada dirinya, menimbangnya dengan segala aspek yang ada pada dirimu, hingga pada titik tertentu kalian berdua merasa sangat cocok dan memutuskan untuk berpasangan. Tak jarang pada proses tersebut salah satu dari kalian merasa ragu dan memutuskan untuk berhenti, atau bisa juga salah satu dari kalian bertemu dengan kandidat lain yang dirasa lebih sesuai. Atau bisa juga kalian merasa cocok namun keluarga kalian menentangnya. Proses yang rumit dan serba tak pasti. Salah satu generasi-sangat-tua keluargaku itu juga membandingkan kehidupannya dengan hidup seekor Lalat Capung yang efisien karena hanya punya waktu dua puluh empat jam untuk mencari pasangan dan berkembangbiak, pertimbangannya tidak banyak dan rumit.

Lucu juga kalau dipikir-pikir, karena itu mirip dengan proses mencari kandidat pasangan yang akan aku jalani. Yang perlu kulakukan sekarang hanya pergi ke Pusat Perjodohan di areaku dan mulai mendaftarkan diri untuk pemindaian. Semua orang melakukannya pada hari ulang tahunnya yang ke enam puluh. Pusat Perjodohan bertanggung jawab untuk menjodohkan orang-orang pada satu area, dengan batas bawah persentase kecocokan saat ini sebesar 88%. Setelahnya, kedua calon pasangan diminta memutuskan untuk melanjutkan atau tidak. Jika lanjut, mereka akan diresmikan sebagai pasangan. Selesai. Namun jika salah satu atau keduanya memutuskan untuk tidak lanjut, kau akan diminta kembali pada tahun berikutnya untuk pemindaian dan perjodohan ulang, karena menurut riset, satu tahun merupakan waktu yang cukup bagi seseorang untuk berubah karakternya sehingga akan ada probabilitas kecocokan yang baru. Jika tiga tahun berturut-turut perjodohanmu tak kunjung berhasil di areamu, kau akan mendapat izin untuk melakukan transfer ke Pusat Perjodohan di luar areamu, dengan prosedur yang sama.

***

Hari ini aku melakukan perjodohan kedua sejak genap berusia enam puluh tahun. Di perjodohan pertamaku, aku hanya mendapatkan satu calon pasangan dengan persentase kecocokan sebesar 88%, namun aku membatalkannya karena aku ingin mencoba mencari orang lain dengan persentase kecocokan yang lebih tinggi dari ambang batas bawah. Lagi pula aku bukan Lalat Capung, aku masih punya banyak waktu untuk mencoba. Dan benar saja, hari ini aku mendapatkan tiga calon pasangan dengan masing-masing persentase kecocokan sebesar 89%, 91%, dan 95%. Peningkatan yang membanggakan. Sebetulnya aku tidak keberatan melanjutkan dengan yang mana saja, namun ternyata ketiganya memutuskan untuk membatalkan. Yang pertama merasa masih akan ada kesempatan untuk mendapatkan calon pasangan dengan persentase kecocokan yang lebih tinggi. Wajar. Yang kedua memutuskan untuk melanjutkan dengan orang lain yang wajahnya lebih ia sukai, meski dengan persentase kecocokan 1% lebih kecil dibandingkan denganku. Sungguh keputusan yang tak dapat kumengerti. Yang terakhir memutuskan untuk melanjutkan dengan orang lain dengan persentase kecocokan 99%! Fantastis! Aku jadi terpacu untuk mendapatkannya juga pada perjodohan ketigaku tahun depan. Tidak sabar.

Pada saat perjodohan pertamaku, Ibuku sempat mengomel karena aku memutuskan untuk membatalkannya. Ia bilang aku kurang bersyukur dan 88% itu sudah bagus, seharusnya aku ambil saja. Toh dulu saat ambang batas bawah belum setinggi sekarang, ia dan Ayahku sama-sama memutuskan untuk lanjut meski hanya memiliki persentase kecocokan sebesar 77%. Aku membantah dan meyakinkan ia bahwa zaman sudah berubah, dan penentuan ambang batas juga menyesuaikan dengan perubahan kompleksitas karakter manusia. Di zaman sekarang, jika persentase kecocokanmu hanya 77% dan kau nekat memutuskan untuk berpasangan, sudah pasti kau akan bertengkar setiap hari dengan pasanganmu, dan itu sungguh membuang-buang umur, karena jika kalian memutuskan untuk berpisah setelah resmi berpasangan, kalian baru akan diizinkan untuk melakukan pemindaian dan perjodohan kembali sembilan tahun kemudian. Bayangkan ada berapa kesempatan bertemu dengan pasangan idealmu yang hilang dalam rentang waktu sembilan tahun itu. Sembilan kali perjodohan. Tiga area. Sungguh sebuah kesia-siaan. Lebih baik waktunya kugunakan untuk mencoba perjodohan ke berbagai area sampai benar-benar mendapatkan persentase kecocokan tertinggi yang pernah ada yaitu 99%. Oh, bahkan jika perlu, aku dan calon pasanganku akan jadi orang pertama yang bisa mendapatkan persentase kecocokan sebesar 100%. Fantastis. Lagi pula aku bukan Lalat Capung, aku punya cukup waktu.

***

Ini adalah perjodohanku yang kesembilan sejak genap berusia enam puluh tahun dan Ibuku mulai mengkhawatirkanku. Sejujurnya aku juga mulai khawatir dengan diriku sendiri. Sudah tiga Pusat Perjodohan dia tiga area berbeda yang kukunjungi dan selalu saja tidak menghasilkan apa-apa. Ambang batas bawah telah naik sebesar 1% menjadi 89%, namun standar pribadi orang-orang juga makin tinggi sehingga hampir tidak ada yang bersedia melanjutkan perjodohan dengan persentase kecocokan di ambang batas bawah. Meski diizinkan, menyetujui perjodohan dengan persentase kecocokan 89% adalah hal yang tabu. Jika kau melakukannya, kau akan dianggap putus asa dan tak punya harga diri. Aku sepakat. Jika perjodohan kesembilanku ini belum berhasil, aku akan diminta untuk mengambil cuti selama tiga tahun sebelum bisa mulai melakukan perjodohan lagi. Tak apa, aku yakin aku akan resmi berpasangan hari ini. Kalaupun tidak, cuti tiga tahun juga tidak buruk, jauh lebih buruk menyetujui perjodohan dengan persentase kecocokan rendah. Lagi pula aku bukan Lalat Capung, kan?

***

Hari ini aku genap berusia seratus tahun dan aku kehilangan hitungan soal berapa jumlah perjodohan yang sudah kulakukan. Soal berapa area yang sudah aku datangi. Soal berapa kali cuti yang telah kuambil. Ibu dan Ayahku sudah tidak hidup lagi, jadi tak ada yang mengomeliku soal ini. Orang-orang seusiaku sudah mulai menerima bahwa sampai mati mereka tak akan bertemu dengan calon pasangan yang mereka inginkan, dan memilih untuk menghabiskan sisa umur untuk melakukan apapun yang diinginkan. Meski sudah melepaskan ekspektasi, aku sendiri masih akan mencobanya untuk terakhir kali hari ini. Saat memasuki ruang pemindaian, aku teringat Lalat Capung yang hanya punya waktu dua puluh empat jam untuk melakukan hal yang menghabiskan waktu puluhan tahun hidupku. Apakah semua Lalat Capung berhasil melakukannya? Jika tidak, apa yang akan terjadi padanya selanjutnya? Mati begitu saja? Ah, mestinya aku mencari tahu.

Bunyi tanda mesin pemindai selesai bekerja. Hasilnya langsung terkirim ke bank data milikku. Aku bisa mengaksesnya saat ini juga. Namun aku tidak melakukannya. Tubuhku bergerak keluar ruangan, keluar bangunan, keluar area, keluar—