Medali Emas untuk Para Pekerja di Paris

Medali Emas untuk Para Pekerja di Paris

Olimpiade

Olympic

Paris

2024

Medali Emas

Metro Ticket Price

Dampak penutupan stasiun Metro Paris pada pekerja

Kondisi transportasi publik di Paris selama Olimpiade 2024

Kenaikan harga tiket Metro Paris selama Olimpiade

Wisatawan mengalami penutupan tempat wisata Paris Olimpiade

RER B Paris padat saat Olimpiade 2024

  • Penutupan stasiun dan peningkatan tarif transportasi menyulitkan pekerja Paris selama Olimpiade 2024.

  • Wisatawan dan pekerja mengalami gangguan akibat penutupan tempat ikonik Paris.

  • Kondisi transportasi publik Paris menjadi lebih padat dan kacau selama Olimpiade.

 

Saat itu RER B (Réseau Express Régional rute B) yang saya naiki berhenti cukup lama di Cité Universitaire. Tatapan bingung para penumpang saling balas dalam keheningan yang ganjil. Seakan, mereka saling bertanya, apa yang menyebabkan kereta ini berhenti cukup lama? Tanpa ada pengumuman dan jawaban yang memuaskan, kami berdiam dalam gerbong yang sumuk dan pengap. 

 

RER B yang membawa kami dari Stasiun Massy-Palaiseau memang selalu padat pada jam berangkat kerja. Mereka yang memakai setelan rapi memenuhi RER yang berhulu dari Paris Zona 4—Paris sisi suburban atau yang biasa dikenal sebagai Arrondissement sisi luar. Zona yang memuat banyak imigran, keturunan, dan mereka yang mengadu nasib di pusat mode dunia dengan mencari hunian relatif lebih murah ketimbang pusat kota. 

 

Jam di ponsel menunjukkan pukul 7.34. Keringat mulai membanjiri dan bau ketiak khas musim panas perlahan tercium memuakkan. Mungkin saya juga menyumbang bebauan tak enak di kabin ini, hanya saja sayanya tak sadar. Tapi demi apapun, bau ketiak ketika musim panas itu bau level iblis yang menyaingi bau sampah TPST Piyungan dan Bantargebang. 

 

Tak berselang lama, RER kembali berjalan menuju Châtelet-Les Halles, stasiun besar yang memungkinkan untuk transit ke berbagai jaringan transportasi seperti Metro, RER rute lain, bus, dan trem. Setelah kereta berjalan, saya—dan penumpang kabin lainnya—berpikir soal penyebab molornya jadwal. Tak lain dan tak bukan biang keroknya adalah Olimpiade Paris 2024. 

 

Betapa Sialnya Plesiran di Paris Saat Ini

 

Olimpiade Paris 2024 bagi sebagian orang amat menyenangkan. Mereka punya hiburan untuk menonton berbagai pertandingan olahraga yang melibatkan berbagai negara di dunia. Namun, bagi sebagian lagi dianggap sebagai nestapa yang mengesalkan. 

 

Beberapa tempat penting di Paris yang biasanya didatangi turis terpaksa ditutup untuk menjaga kondisi area penyelenggaraan beberapa cabang olahraga. Ambil contoh Menara Eiffel yang perimeternya dipagari, memaksa turis untuk memotret menara ikonik itu dari jauh. 

 

Pun hal yang sama juga terjadi dengan Notre-Dame sampai Sainte-Chapelle, memaksa para wisatawan untuk menyusuri pagar-pagar itu untuk melihat gedung bersejarah . Melihat mereka membuat saya berpikir mereka terlihat seperti marmut yang sedang menjelajahi kandang yang sudah disiapkan majikannya.

 

Jika ngeyel, ah, rasanya tak mungkin. Polisi berjaga di sepanjang jantung Kota Paris tanpa henti. Dari yang polisi berkuda, yang memakai motor BMW, bahkan yang jalan kaki berjaga dengan awas dan siap mengejar para turis yang ngeyel.  

 

Tempat-tempat ikonik ini juga ditempeli stiker, banner, atau plakat yang berhubungan dengan Olimpiade Paris 2024. Saya pikir hal-hal ini mengganggu estetika bangunan. Namun mau bagaimana lagi, ini adalah kali kedua Paris menjadi tuan rumah Olimpiade sejak tahun 1900. Sudah lebih dari satu abad sejak penyelenggaraan Olimpiade pertama mereka, wajar kalau mereka merayakannya seheboh ini.

 

Sayang, perayaan bagi warga Prancis ini menjadi malapetaka bagi turis. Para turis yang awalnya ke Paris untuk membuat konten tempat wisata, terpaksa banting setir mem-posting betapa sialnya mereka plesiran di Paris saat ini. 

 

Ya, benar, sial bagi mereka yang plesiran ke kota bukan untuk menonton berbagai cabor Olimpiade. Namun tentu saja yang lebih sial adalah para pekerja di kota ini yang bebannya akan berlipat ganda selama beberapa pekan. 

 

Lipat Ganda Rasa Lelah Para Pekerja

 

Ketika saya naik Metro dari Cluny-La Sorbonne menuju Vaneau, beberapa stasiun Metro ditutup. Pengumuman selalu berkumandang ketika Metro melintasi pelan stasiun yang ditutup dan gelap itu. Beberapa penumpang melenguh pelan. Tiap kali ada pengumuman, mereka melihat jam tangan atau membuka ponselnya dengan gelisah. Ada maupun tidak adanya Olimpiade tidak menggeser fakta bahwa waktu adalah anak emas bagi mereka.

 

Kementerian Transportasi Prancis mengumumkan ada beberapa stasiun yang ditutup selama Olimpiade berlangsung. Beberapa diantaranya adalah Concorde dan Champs-Elysées-Clémenceau. Juga dengan beberapa rute trem yang sementara diberhentikan karena mengganggu akses jalanan seperti di Porte d’Issy. 

 

Situasi membingungkan semakin bertambah di masa pembukaan Olimpiade. Beberapa akses vital ditutup. Para penduduk terpaksa mencari rute lain yang berarti harus memutar atau kembali mengantri untuk masuk halte atau stasiun. Situasi paling apes terasa di masa pembukaan Olimpiade yang diadakan pada hari Jumat—hari yang tak mungkin libur bagi para kelas pekerja bawah. 

 

Jika hunian mereka berada di dekat stasiun Metro yang ditutup, artinya mereka harus jalan kaki. Mencari bus pun percuma; Metro yang berada di bawah tanah saja ditutup, apalagi bus yang berada di permukaan Paris. 

 

Sebenarnya jalan kaki bukan hal yang asing bagi orang-orang Paris. Pedestrian di kota ini prioritas abadi. Tapi beda ceritanya di jam pulang kantor; orang-orang mau segera kembali ke rumah atau cafe untuk makan dan menyesap wine. Jadi bisa dibayangkan betapa sesaknya kota ini tiap jam pulang kantor berdering. 

 

Sekarang, kepadatan itu bertambah berkali-kali lipat. Biro pariwisata Paris Je t'aime mengeluarkan selebaran bahwa Paris akan diisi oleh 500 ribu penonton Olimpiade per hari. Para pekerja di Paris harus mengatur ulang efisiensi waktu dan rute mana yang lebih efektif untuk sampai ke kantor dan rumah. Kecuali kalau mau menunggu sampai jam 11 malam, di tengah musim panas yang lembab. 

 

Bulan Agustus (biasanya) memang saat yang tepat untuk mengambil jatah cuti. Namun kemewahan itu hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Beberapa ada yang menyimpan jatah cutinya, beberapa yang lain tidak mungkin mengambil cuti di saat produktif macam ini karena pekerjaan mereka dibutuhkan saat Paris didatangi jutaan orang seperti cleaning service dan operator pengelolaan sampah. 

 

Itu baru masalah momentum; belum lagi masalah ongkos transportasi yang naik. Tiket Metro yang biasanya dijual 2,15 euro, selama Olimpiade naik menjadi 4 euro. Kenaikan ini cukup bikin rungsing banyak kepala. Apalagi mereka yang apes tidak punya kartu langganan Metro, yang kerap kali merupakan warga kurang mampu Paris.

 

Demo besar-besaran terjadi karena pemerintah Prancis menggelontorkan duit begitu banyak hanya untuk membersihkan. Saking muaknya, mereka mengancam akan berak besar-besaran di sungai itu ketika presiden mereka mau renang sebagai bentuk Sungai Seine sudah bersih. Walau sungai ini sudah dinyatakan aman dan dijadikan tempat kompetisi para atlet, saya tetap menganggap sungai itu masih butek. Seine boleh tak sebutek Kali Gajahwong, tapi masih jauh dari Kali Oya di Imogiri sana. 

 

Lalu siapa yang menanggung biaya pembersihan Seine sebesar 1,4 miliar euro itu? Ya wisatawan dan warga Prancis. 

 

Medali Emas untuk Para Pekerja di Paris

 

Hubungan antara kota dan manusia yang tinggal di dalamnya kadangkala membentuk pola-pola yang rumit. Kadang membuat seorang manusia menjadi teralienasi lantaran kota itu tak beradab dalam menunjang pengalaman hidup. Kadang pula sebuah kota membentuk sisi kemanusiaan yang sukar dijelaskan. 

 

Paris termasuk keduanya—kota ini tak hanya menyimpan ratusan nestapa, tapi juga harapan. Penduduk asli yang tak berduit terasingkan dan terusir dari tempat tinggal mereka di arrondissement 1-5 oleh mereka yang bertujuan mencari tas-tas mahal. Begitu pula dengan kemanusiaan, kota ini mencoba membayar hutang keterasingan penduduk asli dengan menyediakan moda transportasi sebaik mungkin.

 

Pun hal yang sama juga berlaku untuk Olimpiade Paris. Di satu sisi, banyak yang mengeluhkan acara ini menghabiskan terlalu banyak uang—uang yang sama yang bisa digunakan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat. Namun di sisi lain, perhelatan akbar ini menyatukan orang-orang, tak peduli latar belakang etnis dan kelasnya.

 

Tapi tetap saja, dibalik gemerlapnya Olimpiade ada kehidupan marjinal yang semakin terlupakan. Xavier, gelandangan yang biasanya tidur di dekat Stasiun Austerlitz, di tepi Sungai Seine meratapi nasibnya yang semakin terpinggirkan. Polisi merebut paksa tendanya dan mengusirnya dari sana. “Kami adalah cela untuk Olimpiade,” ucapnya.

 

Esok, para atlet satu per satu akan dikalungi medali. Esok pula para atlet akan memperjuangkan kebanggaan negara masing-masing. Mereka layak untuk itu semua karena Olimpiade memberikan ruang bagi para atlet untuk menunjukkan yang terbaik. 

 

Selain para atlet, berikan pula tepuk tangan paling meriah untuk mereka yang berjubel di Metro, bertungkus lumus di hadapan layar monitor, mengerahkan tenaga untuk menyelesaikan pekerjaan, dan mereka yang beradu peluh ketika gegap gempita Olimpiade Paris sedang berlangsung di hadapan mereka. 

 

Berikan podium yang layak, kalungkan medali emas untuk mereka, para pekerja setidaknya sudah memperjuangkan kestabilan perekonomian untuk bangsa yang dikenal sebagai salah satu pusat kebudayaan Eropa. Berkat mereka, Paris tetap bisa mendongakkan dagu sembari belenggak-lenggok dengan keanggunannya di karpet merah.