Melintasi Jagat Spider-Verse

Melintasi Jagat Spider-Verse

Dari kegagalan Donald Glover, Supaidaman hingga kegilaan Labah-Labah Merah

Oleh: Arif Utama

Minggu ini adalah minggu yang menyenangkan bagi fan Spider-Man di seluruh dunia termasuk saya. Di bioskop, Spider-Man Across The Spider-Verse dirilis dan di konsol gim Spider-Man 2 juga dirilis. Dalam euforia itu, izinkan saya bernostalgia.

Saya kembali teringat apa yang membuat saya pada akhirnya menggilai superhero ciptaan Stan Lee ini: universe-nya. Hal kecil yang sebenarnya saya ketahui dengan tidak sengaja. Tapi, seperti yang Jon Kabat-Zinn, seorang profesor asal Massachusetts, bilang, “Hal kecil? Momen kecil? Mereka tidaklah sekecil yang kita kira.”

Saya masih berusia 12 tahun saat Spider-Man 3 tayang ke bioskop, dan saya ingin punya posternya. Untungnya, waktu itu XY Kids merilis poster resmi sebagai bonus untuk dua majalah edisi spesial Spider-Man. Walau harganya belasan ribu (yang itu sangat mahal untuk anak SD tinggal di luar Jakarta dan dijatahin jajan 2 ribu setiap hari), saya tetap membelinya. Tentu setelah melewati beberapa hari puasa.

Hal yang tidak saya sangka, pengetahuan saya terhadap Spider-Man jadi terlampau luas, Macam-macam trivia-trivia menarik saya temukan, dan itu membuat saya bisa memandang Spider-Man lebih luas dari trilogi film yang dibintangi Tobey Maguire. Saya pun jadi kenal konsep multiverse (atau fan Spider-Man lebih suka menyebutnya Spider-Verse) jauh sebelum Marvel dan Disney mempopulerkannya lewat Avengers.

Fakta yang saya dapatkan secara sepotong-sepotong itulah yang saya coba lengkapi. Maka, mari kita mulai tulisan ini dengan berkenalan dengan varian-varian Spider-Man.

Spider-Verse, Multiverse-nya Spider-Man

Ya, benar. Spider-Man punya banyak versi dan tak jarang pula mereka saling berinteraksi. Miles Morales, misalnya, bisa menjadi Spider-Man akibat Peter Parker di Earth-1610B meninggal akibat kebengisan Wilson Fisk. Tak lama, laba-laba radioaktif yang mestinya mengenai Peter malah menggigit Miles. Sejarah dunia Earth-1610B pun berubah.

Spider-Man versi Miles sangat menggambarkan kultur dalam komunitas kulit hitam dan keluarga hispanic. Ayah dari Miles adalah polisi, dan saat muda sangat tertarik dengan sound engineering. Inilah yang membuat Miles sangat menggilai hip hop dan bahkan aksinya bergelantung dari satu gedung ke gedung lain terasa seperti orang yang berdansa mengikuti beat musik.

Di lain sisi, sang ibu juga seorang aktivis yang aktif membantu komunitas imigran di Harlem. Karena tumbuh dengan lingkungan seperti itu, Miles lebih terbuka daripada Peter pada umumnya. Dia tak menyembunyikan identitasnya kepada orang-orang yang dia sayang.

Selain backstory, asal muasal Spider-Man varian Miles ini juga… berbeda. Semua bermula dari usaha Donald Glover untuk menjadi Peter Parker di The Amazing Spider-Man (2012). Walau pada akhirnya sang pelantun “This is America” itu gagal mendapatkan peran tersebut, Glover malah menginspirasi Brian Michael Bendis.

“Ketika saya melihat dia [Glover] mengenakan kostum itu, saya ingin membaca komiknya. Pada akhirnya, saya puas telah menciptakannya,” ucap Brian, sang pencipta Spider-Man Miles Morales bersama Sara Pitchelli kepada USA Today. “Saya pikir sudah kelamaan. Walau memang sudah ada beberapa karakter superhero African-American, kata saya gila saja…”

Walau awalnya mengalami penolakan karena Miles adalah Spider-Man pertama berkulit hitam, pelan-pelan karakter Miles disukai. Sebagai wujud terima kasih, Glover beberapa kali diberi Marvel kesempatan terlibat dalam proyek Spider-Man. Dia menjadi pengisi suara Miles Morales di serial animasi pertama Spider-Man Miles Morales yang pertama kali tayang pada 2014, dan menjadi cameo di 2 dari 5 film Spider-Man yang terakhir tayang di bioskop.

Oke, sekarang kita bahas yang lebih underrated… seperti Spider-Ham.

Spider-Ham Makan Hot-Dog

[CAKEP]

Lanjutkan sendiri pantun di atas…

Alkisah di Earth-8311, hiduplah Peter Porker, seekor babi (betul, Anda tidak salah baca) yang digigit oleh laba-laba radioaktif, sehingga jadilah dia babi yang bisa berdiri tegap, menempel di dinding dan mengeluarkan jaring. Dia punya pacar seekor banteng bernama… Mary Jane Waterbuffalo.

Tapi, di komik Amazing Spider-Man Family, misalnya, MJ bukan jodohnya Peter. Melainkan… Mary Crane Watsow, seekor unggas putih. Aneh :/

Sayangnya, atau mungkin syukurnya (tergantung bagaimana cara Anda memandangnya), hanya itulah varian Spider-Man yang ditulis dengan niat bercanda. Rata-rata, varian Spider-Man memiliki gagasan yang bisa dibilang keren, dan tentu saja, kematian Paman Ben sebagai pivot dari perubahan motivasi Peter sebagai pribadi dan superhero.

Ambil contoh Spider-Noir, yang bercerita tentang Peter Parker yang hidup pada era Great Depression-nya Amerika, 1930, dalam Earth-90214.

Paman Ben tewas akibat kejahatan yang dilakukan sang Goblin, Norman Osborne, dan kroni-kroninya. Karena terlalu miskin, Peter pun mencuri benda antik dari rumah orang kaya. Dan di salah satu guci, seekor laba-laba istimewa keluar dan menggigit Peter.

Setelahnya Peter seperti mendapat pencerahan. Dia bermimpi bertemu dewa laba-laba, bangun dengan memiliki kekuatan super, dan bertekad untuk membersihkan kota New York dari kejahatan dan tentu saja Norman menjadi target utama.

Meski secara backstory sama saja dengan cerita Spider-Man pada umumnya, Spider-Noir berhasil membuat kesan yang lebih serius dan taktikal. Mulai dari jubah kulit yang dikenakan Peter, aksinya yang lebih banyak bergerak dalam stealth. Di versi layar kaca pun, Spider-Noir menjadi menarik karena setiap aksinya visual langsung berubah menjadi hitam-putih.

Oh, iya, jangan lupakan Miguel O’Hara alias Spider-Man dari masa depan. O’Hara hidup di Earth-928 dan salah satu Spider-Man terkuat. Di beberapa komik, sosok yang lebih biasa dikenal dengan nama Spider-Man 2099 ini menjadi pemimpin para Spider-Man, yang kemudian diawasi oleh Madame Web–yang seperti Tuhan bagi para Spider-Man.

Jika Anda ingin lebih tahu seberapa kerennya Spider-Man 2099, dan jika Anda juga hobi main gim, saya sangat sarankan Anda mencoba Spider-Man: Shattered Dimension. Spider-Man 2099 ini punya fisik yang sangat kuat dan bergerak lebih cepat daripada waktu.

Sebenarnya masih banyak varian Spider-Man yang pernah dirilis oleh Marvel di masa lampau. Tapi, cukup sampai di situ karena saya punya hal yang tak kalah menarik untuk saya sampaikan: Nyatanya, cerita Spider-Man sendiri tidak hanya datang dari corong Marvel.

Spider-Man Lain di Luar Dunia Marvel

Dulu, ketika saya kecil, saya sempat mengira Indonesia punya versi Spider-Man sendiri juga. Kembali ke potongan majalah yang saya baca ketika kecil itu, saya berkenalan dengan sosok Labah Labah Merah yang memiliki kostum seperti Spider-Man. Bahkan, dalam beberapa edisi lawas, judul Labah Labah Merah pun disandingkan dengan nama Spider-Man.

Namun, setelah saya besar, membaca, dan mencari tahu lagi, secara kemampuan dia lebih mirip Daredevil daripada Spider-Man, sih. Labah Labah Merah tidak menembakkan jaring, sang karakter utama juga tak terkena laba-laba radioaktif. Walau, yah, dia bisa menempel di dinding, sih, karena menggunakan jubah spesial.

Labah Labah Merah dirilis sang komikus legendaris, Kus Bram, pada tahun 1969 dan berkisah tentang Bramiana. Bramiana punya latar belakang yang kelewat unik: Mahasiswa hukum tahun terakhir, kerja di tempat sirkus, bisa karate, judo, dan pencak silat. Bisa dibilang Bramiana seorang adrenaline junkie, dan obsesi terhadap keseruan hidup itulah yang membuat fisiknya kuat.

Bramiana baru serius ingin menjadi pahlawan super setelah bosnya tewas terbunuh sekawanan perampok, dan dia terkena tembakan. Setelah sembuh, Bramiana dibuatkan kostum anti peluru oleh sang ayah, yang merupakan seorang profesor, yang juga bisa membantunya menempel di tembok. Dan… begitulah Bramantia berubah menjadi sang Labah Labah Merah.

Komik Labah Labah Merah ini punya 26 judul dan beberapa judul ada yang memiliki jilid di atas 10. Pada akhirnya, Labah Labah Merah dibuat versi reboot dan dirilis pada tahun 2022 lalu oleh Anjaya Comics. Kali ini, jubah Labah Labah Merah sudah didesain ulang sehingga tak lagi terkesan seperti Spider-Man bootleg.

Untuk alasan yang tentu saja salah, saya suka dengan Labah Labah Merah dengan kostum Spider-Man. Terutama karena beberapa lawan yang dihadapi Labah Labah Merah sangat lokal. Seperti siluman kelelawar atau setan-setan dengan set perkelahian di neraka (dengan artstyle khas Siksa Kubur). Sesuatu yang mungkin tidak akan pernah dibuat Marvel dalam jangka dekat.

Kus Bram bukan satu-satunya orang yang karyanya membuat saya membayangkan hal yang out-of-the-box tentang Spider-Man. Spider-Man dari Jepang buatan Toei, Supadaiman, juga begitu. Seperti Labah Labah Merah, satu-satunya hal yang sangat Spider-Man dari Supaidaman cuma kostumnya saja.

Pada era 1970-an, Toei dan Marvel menjalin kerja sama yang unik terkait Intellectual Property (IP). Dari perjanjian itu, Marvel boleh menggunakan karakter Shogun Warriors dari Toei ke dalam komik-komik Marvel. Sebagai gantinya, Toei diizinkan Marvel untuk menggunakan karakter Spider-Man dan penggunaannya bisa sangat bebas.

Dari sini kegilaan terjadi, atau mungkin bisa juga disebut sebagai kejadian revolusioner.

Pada 1978, Toei merilis Supaidaman yang berkisah tentang Takuta Yamashiro, seorang pria dengan motor trail-nya. Ayah Takuta adalah arkeolog, dan dia meninggal saat tengah meneliti UFO yang hancur. Karena penasaran perihal musabab meninggalnya sang ayah, Takuta pergi juga ke sana dan kemudian dia mengetahui bahwa UFO tersebut datang dari Planet Spider.

Lantas bagaimana Takuta mendapatkan kekuatan laba-laba? Apa dia digigit? Oh, tidak.

Saat masuk ke pesawat alien itu, Takuta bertemu Garia. Garia adalah kapten UFO dan dia sekarat. Lalu Garia menceritakan latar belakangnya dan kedatangannya ke bumi untuk membalaskan dendam masyarakat Planet Spider kepada Professor Monster. Professor Monster adalah dalang kehancuran Planet Spider dan mengincar bumi sebagai target selanjutnya.

Setelahnya, Garia mentransfusi darahnya ke Takuta. Takuta kini memiliki kekuatan laba-laba super, sementara Garia meninggal. Hal yang tak kalah bikin geger, Garia juga mewariskan Takuta sebuah jam futuristik untuk membantunya berubah wujud dari orang biasa ke Supaidaman dengan cepat, dan Leopardon.

Secara format cerita, Supaidaman garapan Toei sangat mirip dengan Super Sentai pada saat itu: Karakter yang terlalu serius sampai tak sadar betapa konyolnya mereka semua, protagonis dan antagonis yang saling teriak untuk menjelaskan apa motivasi mereka, karakter utama berubah wujud menjadi superhero setelah menekan jam futuristik, mengalahkan gerombolan musuh dengan trik unik, dan akhirnya dihadapkan dengan monster utama. Lalu takluk dan menjadi monster raksasa.

Namun, berbeda dengan Super Sentai pada saat itu, Supaidaman tak akan melawannya dengan pesawat. Melainkan dengan pesawat yang kemudian berubah menjadi robot raksasa dengan pedang dan tameng laba-laba. Itulah dia Leopardon. Dan begitulah genre Tokusatsu bisa lahir di Jepang dalam keadaan yang tidak terduga.

Yang lucu, sebenarnya suit Leopardon yang digunakan untuk syuting dicuri saat serial Supaidaman masih on going. Untuk mengakali hal tersebut, tim produksi menggunakan potongan video yang sudah ada dan disambungkan dengan melawan monster-monster baru.

Kisah Supaidaman dan Leopardon ini bisa dibilang sukses dan tayang 41 episode dan episode terakhirnya dirilis pada 1979. Mainan Leopardon yang dirilis Toei juga laku keras, karena sebelumnya tidak ada yang kepikiran bikin pesawat yang berubah menjadi robot.

Alhasil, pada 1979 itu, Toei merilis Battle Fever J, seri Super Sentai dan kali ini mereka punya pesawat yang bisa berubah menjadi robot. Super Sentai laku keras, Power Rangers pun terlahir dengan konsep serupa dan sukses. Sementara Leopardon beberapa kali menjadi cameo di komik Marvel, dan juga mainannya sempat dirilis kembali pada tahun 2006 oleh Bandai.

Supaidaman sendiri juga diakui sebagai bagian dari Spider-Man yang hidup di Earth-51778.

Bagi saya, apa pun tentang Spider-Man sangat menyenangkan termasuk dengan menulisnya. Dan salah satu daya magis dari Spider-Man itu sendiri terletak pada kostumnya.

Seperti yang Stan Lee katakan kepada Newsarama pada 2015 lalu, “Yang saya suka dari kostum Spider-Man itu ya, semua orang yang melihatnya di belahan dunia mana pun bisa mengkhayal dirinya ada di dalam kostum itu.”

Kenyataannya, beberapa orang lebih berani dari sekadar mengkhayal: Mereka berani menuliskannya, menggambarnya, membuat film, dan menyebarkannya ke dunia.