Memang Bocil Kampung (Tidak Bisa Tidak) Menginvasi Kompleks
Saya adalah anak kampung. Rumah saya berdiri di gang. Struktur jalannya terdiri dari tanah dan konblok. Gang tidak memiliki perencanaan yang baik, sehingga ia mengular tanpa tata letak yang jelas. Gang-gang ini akan terbelah lagi selayaknya aliran sungai atau ranting pohon.
Apabila kamu bukan anak kampung, kamu tidak akan pernah mengerti logika jalan kampung. Kamu akan tersasar; masuk ke pekarangan rumah warga, jalan buntu, kebon singkong, halaman musala, atau bahkan berhenti dan tercengang di tengah kuburan.
Saya lahir dan besar di sebuah kampung di Tangerang. Yang menarik dari masa kecil ini adalah pengetahuan saya akan tanda. Salah satu tanda yang akan mengingatkan saya akan pelanggaran adalah portal. Di kampung saya, portal-portal membelah jalan kampung, memisahkan kami “orang kampung” dengan “warga kompleks”. Kalau bocah-bocah kampung bermain terlalu lama di tengah kompleks, warga kompleks akan meneriaki kami untuk segera enyah. Kerap mereka mengucap ancaman yang membuat kami fobia anjing selamanya: “Pulang, pulang! Nanti anjing saya, saya lepasin lho biar ngejar kalian!”
Bagian Tak Terpisahkan itu Bernama Kampung Kota
Di bangku kuliah, saya baru tahu bahwa tempat tinggal saya disebut sebagai kampung kota. Kampung kota adalah permukiman yang dibangun secara mandiri oleh masyarakat, dan karenanya kampung kota tidak memiliki perencanaan yang jelas. Kampung kota adalah memiliki tipologi selayaknya sebuah desa, tetapi berkontradiksi dengan bentuknya ia yang berdiri di tengah kota. pidato budaya Dewan Kesenian Jakarta menyatakan kampung kota diposisikan sebagai ruang antara: sebuah ruang peralihan dari desa yang tradisional menuju kota yang modern. Masih mengutip Melani Budianta, kampung beserta seisinya adalah “yang liyan” dari kota.
Terutama dalam diskursus feminisme, “yang liyan”—atau the other—adalah konsep mengenai subjek lain yang kurang, submisif, tidak sekuat subjek diri atau self. Terminologi itu dicetuskan oleh Simone de Beauvoir untuk mendeskripsikan bagaimana perempuan dibentuk oleh masyarakat menjadi gender kelas dua. Sama halnya dengan imaji kampun: kotor, tidak tertata, sarang DBD beranak pinak. Pula orang kampung yang identik dengan kemiskinan, kedunguan, pendidikan rendah, pekerja kerah biru, dan bocah-bocah bandel yang hobi memanjat pohon jambu air milik warga kompleks. Profesi penghuni kampung yang mayoritas adalah pekerja informal, pekerja minim keterampilan (unskilled labor), dan agrikultur, mendukung stigma tersebut.
Kompleks sendiri adalah bentuk perubahan bentuk dan fungsi ruang (gentrifikasi) yang menghasilkan komunitas berpagar—nama gaulnya, gated community. Kompleks di dekat kampung saya membangun dinding di sepanjang lokasinya, menaruh portal, menyetel CCTV, dan mengupah satpam untuk menjaga selingkung mereka. Portal akan ditutup pukul 23.00 setiap harinya. Mulai jam 24.00, satpam akan berputar dan mengetuk-ngetuk tiang listrik. Semua itu untuk memastikan tiada yang dicuri dari dalam pagar kompleks.
Fenomena kelahiran kompleks adalah respons atas permintaan pasar. Seperti halnya kota-kota berkembang dengan jutaan populasi di dunia, Jakarta perlu meluaskan lahan huniannya untuk menampung permintaan properti. Wilayah pinggiran, seperti Tangerang, perlahan ditelan oleh pembangunan gated community yang serba mencukupi fasilitas penghuninya. Karenanya, gated community memilih untuk menjadi tertutup, termasuk mengetatkan penjagaan di selingkungnya.
Gated community menjelma dalam wujud superblock (raksasa properti) atau kompleks (juragan properti cilik). Keduanya kerap kali dibangun dengan menggeser kampung kota yang sudah lebih dulu berdiri di sana. Orang kampung yang tidak pindah—entah karena tanahnya tidak masuk dalam masterplan pembangunan atau alasan lain—akan hidup dikelilingi pagar perumahan yang menjulang tinggi.
Mengalami hal tersebut sepanjang masa kecil saya, membuat saya menerjemahkan konsep panoptikon dari Foucault sebagai upaya pengawasan warga kompleks terhadap orang kampung. Panoptikon adalah sebuah konsep arsitektur penjara yang menginternalisasi pengawasan terhadap setiap orang di dalamnya. Seluruh tahanan dibiasakan oleh bentuk sel, menara pengawas, patroli rutin penjaga penjaga, hingga asal cahaya, sehingga segala tindakan mereka dapat terlihat oleh otoritas, tanpa mereka tahu siapa yang mengawasi. Setelah terbiasa diawasi, tahanan akan menjadi docile body, atau tubuh yang taat. Selayaknya kita paham kita harus berhenti di lampu merah, jika tidak kita bisa kecelakaan atau ditilang atau keduanya.
Sebagai orang kampung, saya paham bahwa saya tidak boleh main terlalu lama di lapangan kompleks, memetik bunga di trotoar kompleks, ngebut naik sepeda di jalan kompleks, atau memanjat pohon seri liar di pinggir kompleks. Karena, bila saya melanggar, saya akan dikejar anjing atau disiram air cucian piring atau keduanya.
Yang lebih menjejak dalam diri saya: saya bukan orang kompleks, saya tidak berhak menggunakan fasilitas kompleks, saya adalah yang liyan dari kompleks.
Mau Pakai? Bayar!
Kampung kota adalah dilema. Pun menghadirkan kontradiksi antara kota yang modern dan kampung yang norak. Kontradiksi-kontradiksi saling bertumpuk di atas lahan sengketa. Sengketa-sengketa lahan yang telah menggusur nenek dan kakek saya dari rumah kecil mereka di Semanggi menuju lahan kosong “tempat jin buang anak” di Tangerang. Upaya urbanisasi ke daerah baru adalah bentuk ekspansi pengembang yang secara gragas melirik-lirik lahan urugan sawah di Teluk Naga atau lahan sengketa ahli waris di Citayam.
Kampung kota adalah wilayah yang harus menjadi tumbal ekspansi kota yang dilematis. Ironisnya, meskipun bangunan baru telah bertengger di lahan bekas kampung kota, keberadaan kampung kota tetap diperlukan: sebagai lokasi mukim penjaga parkir di mal atau sebagai penjaja di kantin pusat bisnis. Henri Lefebvre menyebutnya sebagai kontradiksi ruang, yakni penyimpangan antara cetak biru pembangunan dengan realitas setelah sebuah ruang dibangun.
Dalam cetak biru pembangunan kota yang serba modern, kampung kota akan selalu menjadi ruang yang kontradiktif. Warga kompleks mengucilkan bocah-bocah kampung dari wilayah hunian mereka sebab kami adalah pembuat onar. Semisal, hobi kami dalam menggunduli kembang sepatu mereka dan mengubahnya menjadi menu dalam permainan masak-masakan.
Tetapi, orang-orang kompleks ini membutuhkan ibu dan bapak kami untuk bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) di rumah mereka. Pada akhirnya, bocah-bocah kampung ini akan berada dalam posisi yang membingungkan sebagai anak-anak. Mereka hanya bisa menjadi pemerhati dari fasilitas kompleks yang mengasyikkan untuk bermain. Sebab keasyikan itu tidak berhak dirayakan oleh mereka.
Ini adalah masalah akses. Bagaimana kota menjadi pemberi akses akan fasilitas dasar hanya pada mereka yang sanggup membayar. Contohnya, membayar pengembang untuk tinggal di kompleks berpagar tinggi. Anak-anak warga kompleks dapat seharian bermain di taman, tanpa penghakiman, tanpa pengusiran. Kondisi ini jauh dari kata ideal, serta dari cita-cita pembangunan berbasis hak atas kota.
Privatisasi ruang publik menjadi gated community menyempitkan wilayah terbuka publik untuk masyarakat berkegiatan dan bersenang-senang. Kenaikan penduduk secara drastis di wilayah penyangga ibukota merayu pengembang menciptakan hunian privat yang didukung pemerintah, lengkap dengan segala fasilitas dan akses terjaga. Tanpa disadari oleh penduduk kampung, mereka perlahan tersingkir dari lingkungan dan fasilitas publik yang seharusnya menjadi hak mereka. Mereka yang berada di sana tanpa hak kepemilikan properti seakan menjadi hama. Bocah-bocah kampung itu adalah penumpang gelap dari penghidupan yang layak.
Yang pula hadir dari penyingkiran terhadap masyarakat kelas bawah kota adalah perasaan terpinggir dan ketakutan pada penghuni kampung. Barangkali esok nanti, bukan hanya anak-anak mereka saja yang dilarang masuk ke wilayah kompleks, tetapi setiap non-penghuni kompleks dilarang masuk, walaupun hanya sekadar melintas.
Dalam konteks kota, privatisasi bukan hanya soal properti ini milik siapa. Privatisasi juga soal bagaimana masyarakat kelas bawah kota terpaksa menyaksikan pembangunan dan akses yang tidak adil dari seberang rumah mereka. Mereka disisihkan oleh “tetangga” mereka, dan hal itu seakan tak berhak mereka keluhkan.
Terlepas dari tetek bengek soal hak milik dan hak guna lahan, bocah tetaplah bocah dan bermain tetaplah kebutuhan mereka. Kampung atau kompleks, mereka tetap butuh lahan untuk berkembang. Mereka tetap berhak untuk tumbuh dengan layak.
Begitulah, kami tetap bocah kampung yang butuh hiburan! Sehingga, setiap sore hari, kami akan tetap menyelinap ke taman-taman kompleks, mengintai buah srikaya setengah matang untuk kami peram di rumah, dan memasabodokan pertikaian orang dewasa tentang hak guna properti.
Bocah kampung tetap menginvasi kompleks yang menakutkan dengan segala pengawasannya, yang menjadi pilihan termudah untuk bersenang-senang selayaknya anak-anak.
Saya tidak menyangka ingatan akan ancaman akan dikejar oleh anjing warga kompleks jika tidak segera pulang ke kampung akan menjadi salah satu perenungan saya di usia 20-an. Jika kalian cukup berprivilese untuk hidup di kompleks… berbaik hatilah pada bocah kampung yang iseng itu. Sebab mereka—pun saya di masa lalu—tidak punya banyak pilihan untuk bermain seperti anak-anakmu.