Membahas Mutual Abuse, Mengapa Disebut Mitos?

Persidangan Amber Heard dan Johnny Depp bukan cuma membuat jagat internet ramai, ia juga mempopulerkan istilah mutual abuse. Sejak seorang psikolog klinis dalam persidangan pencemaran nama baik itu menggunakan istilah mutual abuse, pencarian mengenai istilah ini meningkat selama April dan bulan selanjutnya. Google Trends merekam adanya peningkatan query atau kata kunci pertanyaan yang signifikan perihal mutual abuse pada mesin pencari Google.

 

Ungkapan "mutual abuse" juga banyak dibahas, berputar-putar di ruang publik virtual kita. Pembahasannya datang dari gesekan pendapat yang tajam dari sisi pendukung Johnny Depp dan Amber Heard. Namun, term mutual abuse sendiri ternyata dinilai bermasalah oleh banyak pihak.

Ketika Term Mutual Abuse Digunakan, Siapa yang Diuntungkan?

National Domestic Violence Hotline mengungkapkan bahwa istilah mutual abuse sering digunakan sebagai taktik manipulasi dan usaha untuk menyalahkan korban atau victim blaming. Ungkapan-ungkapan seperti, “Apakah benar ia adalah korban?” “Bukankah dia yang memulainya duluan?” “Dia juga menyerangnya,” merupakan contoh-contoh ungkapan yang muncul karena adanya anggapan bahwa korban juga melakukan kekerasan kepada pelaku.

Istilah mutual abuse sendiri digunakan untuk mendefinisikan kondisi di mana kedua belah pasangan saling melakukan kekerasan kepada satu sama lain. Argumen di atas berusaha ditepis oleh jaringan yang aktif mengadvokasi isu kekerasan dalam rumah tangga. Bahkan pada website The Hotline, Advokat National Domestic Violence Hotline, Jessica R membubuhkan kata mitos pada artikelnya yang membahas mutual abuse.

Artikel Jessica R berjudul The Myth of Mutual Abuse muncul di laman pertama hasil pencarian Google yang kemudian menjadi rujukan bagi publik dalam membahas mutual abuse di media sosial. Google Trends bahkan merekam adanya peningkatan yang pesat pada kueri terkait “the myth of mutual abuse” pada mesin pencari.

 

The Myth of Mutual Abuse menjelaskan kekerasan yang saling dilakukan merupakan kasus yang jarang sekali terjadi. Seringkali serangan timbal balik merupakan bentuk perlawanan atau upaya mempertahankan diri dari kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya, sehingga aksi tersebut bukanlah bentuk kekerasan.

Istilah mutual abuse merupakan hal yang berusaha untuk ditepis karena dianggap sebagai pengalihan masalah yang dilakukan oleh pelaku kekerasan. Alih-alih meminta pertanggungjawaban kepada pelaku, istilah mutual abuse membuat publik mempertanyakan posisi korban.

Ada Apa dengan Power Dynamics?

Ruth Glenn, Presiden dan CEO National Coalition Against Domestic Violence (NCADV) mengatakan bahwa pembelaan diri dapat terlihat sebagai kekerasan, tetapi itu tidak sama dengan pelaku yang melakukan kontrol atas korban.

Meskipun ada serangan balik kepada pelaku, kekerasan seharusnya tak hanya dilihat dari bentuk serangan saja. Dalam kasus kekerasan rumah tangga, penting untuk melihat adanya power dynamics atau dinamika kekuasaan dalam sebuah hubungan. Ini penting karena kekerasan dalam hubungan adalah adanya ketimpangan kuasa dan kontrol antara pelaku dan korban. Ketimpangan ini datang dari sistem patriarki yang sudah mendarah daging.

Bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi bisa berupa penyerangan fisik berupa pemukulan, penyerangan seksual, dan lain-lain. Perilaku kekerasan ini adalah pola sistematis yang merupakan bentuk dari kekuasaan dan kontrol yang dilakukan oleh mitra terhadap pasangannya atau anggota keluarga yang lainnya seperti anak.

Pada banyak kasus kekerasan rumah tangga dapat ditemukan adanya pola yang sistemis dari pelaku kekerasan untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan dan kendali atas pasangannya. Inilah pentingnya memahami perbedaan antara hubungan yang tidak sehat (unhealthy) dengan hubungan yang terdapat kekerasan (abusive).

Perlu diingat bahwa kekerasan juga bisa muncul dalam berbagai bentuk, seperti kekerasan seksual, ekonomi, dan emosional. Sehingga kekerasan dalam rumah tangga tak hanya dapat mengakibatkan korban mengalami luka fisik, tapi juga trauma psikologis, dan bahkan kematian. Efek negatifnya bisa dirasakan dalam waktu yang panjang, bahkan bisa diturunkan ke generasi selanjutnya. 

Mengidentifikasi Kuasa yang Timpang dalam Hubungan

Untuk dapat mengidentifikasi kekerasan dalam rumah tangga, National Domestic Violence Hotline dan United Nations menggunakan Power and Control Wheel yang dikembangkan oleh Domestic Abuse Intervention Project sebagai kerangka acuan untuk dapat melihat adanya penyalahgunaan kuasa dan kontrol dalam hubungan.

 

Seringkali seseorang baru menyadari bahwa ia berada dalam hubungan yang penuh kekerasan ketika dia mengalami serangan fisik karena ia adalah bentuk kekerasan yang paling terlihat. Namun bentuk kekerasan yang lain juga memiliki dampak yang besar. Apalagi ketika itu merupakan penggabungan dari bentuk-bentuk kekerasan lainnya sehingga memungkinkan pelaku untuk mengendalikan kehidupan dan keadaan korban.

Diagram roda di atas dapat membantu dalam memahami pola perilaku kekerasan yang dilakukan oleh pelaku untuk mendapatkan dan mempertahankan kendali atas pasangannya atau korban lainnya, misal, anak.

Bagian dalam diagram roda yang berwarna putih ini terdiri dari perilaku-perilaku halus yang biasanya dilakukan oleh pelaku secara terus-menerus dari waktu ke waktu. Sedangkan lingkaran luar melingkar yang berwarna hitam mewakili kekerasan fisik dan seksual yang dilakukan oleh pelaku.

Bagian putih adalah contoh perilaku-perilaku pelaku yang membuat pasangannya tidak berdaya. Contohnya dengan membuat pasangan merasa buruk terhadap dirinya sendiri, mengontrol kehidupan pasangan dari mulai apa yang dilakukan hingga dengan siapa saja dia bisa bicara dan ke mana saja dia bisa pergi, memiskinkan pasangan seperti dengan cara mengambil uang pasangan sampai memutuskan akses kepada penghasilan keluarga, hingga mengambil semua keputusan besar sendirian padahal hal tersebut bisa berpengaruh terhadap kehidupan pasangannya.

Meskipun sulit untuk diidentifikasi dari luar, pola intimidasi dan kontrol sebetulnya telah terjadi. Oleh karenanya penting bagi kita untuk memahami dinamika kuasa dalam hubungan. Sehingga kita bisa dengan mudah melihat siapa yang memegang kendali atas pasangannya dan siapa yang berpotensi melakukan kekerasan terhadap pasangannya.

Mengapa Korban Domestic Violence Erat dengan Perempuan?

Amber Heard adalah satu dari sekian banyak perempuan yang melaporkan kekerasan yang dialaminya. Ini tentunya menimbulkan pertanyaan, mengapa banyak perempuan mengaku dilecehkan dan dipukul oleh pasangannya? Mengapa ada gerakan #MeToo yang dipelopori oleh perempuan-perempuan di media sosial? Ini karena perempuan merupakan korban mayoritas dari kekerasan berbasis gender di seluruh dunia.

World Health Organization (WHO) memperkirakan ada sekitar 1 dari 3 perempuan di seluruh dunia telah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual. Sebagian besar kekerasan tersebut dilakukan oleh pasangannya. Sepertiga (27%) perempuan berusia 15-49 tahun melaporkan kekerasan fisik dan/atau seksual dari pasangannya.

Melihat angka-angka ini, kasus kekerasan terhadap perempuan yang terlihat dan dibicarakan pada ruang publik kita hanyalah puncak gunung es dari keseluruhan kasus yang ada. Meski kita bisa melihat ada kasus kekerasan di sekitar kita muncul pada berita dan media sosial, tapi sebenarnya masih banyak korban yang belum melapor.