Memeriksa Klaim Luthfi Assyaukanie dan Pendukung Israel Lainnya

Baru-baru ini saya menonton video berjudul ‘DUKUNGAN ISRAEL BUAT PALESTINA MERDEKA’ (ya, semua ditulis dengan kapital) yang dibagikan oleh seorang teman.

Luthfi Assyaukanie membuka video itu dengan kalimat, “Ada yang mengejutkan dari Sidang Umum PBB Di New York. Perdana Menteri Israel,Yair Lapid menyampaikan dukungan atas solusi dua negara atas konflik Israel-Palestina”. 

Apa yang dikatakan dalam video itu tidak sesuai dengan kenyataan yang sedang dialami oleh rakyat Palestina hingga detik ini, yakni genosida yang telah memakan korban 10.000 jiwa dan korban itu semua merupakan manusia yang sama dengan kita–punya ide tentang masa depan, kebebasan, hidup tenang, berkerabat dan masih banyak lagi. 

Karena saya tak mudah percaya dengan hanya sekali lihat, saya lakukan pengecekan ulang, ternyata video tersebut berasal dari satu tahun ke belakang, tepatnya 2022. Tapi, apabila kita melihat tuntas isi video tersebut dan membandingkan dengan postingannya di tanggal 15 Oktober di Facebooknya, tampak masih ada kesamaan argumen dalam melihat konflik Palestina-Israel. Kira-kira begini poin-poin yang mau dikatakannya:

Solusi dua negara adalah jalan keluar paling logis, bagi Yahudi dan orang Arab di Palestina saat itu.
Sebelum Islam lahir dan orang-orang Arab datang. Palestina dikuasai kerajaan Yehuda dan Israel. Karena itu, solusi yang ditawarkan pemerintah kolonial Inggris sangat masuk akal.
Sebab satu negara untuk bangsa Yahudi dan satu negara untuk bangsa Arab. Dua bangsa ini sudah mendiami Palestina sejak ratusan bahkan ribuan tahun.
Palestina menderita karena kegilaan Iran dan negara-negara Arab.
Harus diakui bahwa Israel adalah negara kuat yang tak mudah ditaklukkan. Mereka hanya ingin menguasai “tanah yang dijanjikan,” yang luasnya tak lebih dari 26 ribu km/segi. Itu tanah moyang mereka. 
Kerajaan Judah dan Israel pernah ada di sana selama ratusan tahun. Harus diakui bahwa penduduk aseli Palestina adalah orang2 Yahudi, bukan orang Arab.
Orang Arab baru datang belakangan, setelah Islam melakukan ekspansi ke wilayah2 yang sebelumnya dikuasai Romawi dan Persia. Sepanjang sejarah, Palestina didiami bangsa Yahudi dan beberapa etnis lain.
Orang Arab serakah dengan tanah. Konflik Israel-Palestina adalah konflik tanah. Situs-situs agama hanyalah alasan untuk menguasai tanah. Orang Arab masih terus terobsesi dengan tanah Palestina, yang secara historis milik bangsa Yahudi. Untuk memperkuat tekadnya, mereka kasih alasan agama, agar mendapat dukungan dari sebanyak mungkin orang.

Membaca poin di atas, tampak ada semacam upaya untuk menyalahkan akar semua masalah genosida ini pada orang Arab yang dianggap tak mau berbagi dan keras kepala, apabila mereka menerima resolusi 181 pada November 1947, niscaya menurut Luthfi, mereka masih akan memiliki tanah di Palestina dan bangsanya tidak akan terusir dari tanah tempat tinggalnya–saya tak paham ada kepicikan apa orang ini pada bangsa Arab. Sementara Saut Situmorang, 5 November, di status Facebooknya menyebut Luthfi Assyaukanie sebagai “jaringan buzzer bayaran Israel dan Israel Lobby di Amrik. Jadi mereka akan menghalalkan segala cara untuk menutupi keberadaan Palestina yang secara historis bahkan sudah diakui oleh Dinasti Keduapuluh Mesir Kuno (1150 SM) itu. Untuk menutupi identitas Zionis mereka, maka kaum buzzer Israel ini memakai nama Arab biar dianggap muslim kayak ISIS yang made in USA itu.”

Tampak dari argumen serupa dengan Luthfi seringkali bisa kita jumpai di beragam sosial media seperti X, Instagram dan Tiktok oleh para pendukung segala kebijakan Zionisme. Dari sini saya langsung kembali membuka bukunya Ilan Pappe dan website DeconolizePalestine untuk melihat lebih jauh klaim-klaim bombastis yang bersilangan seperti tak terputus antara peristiwa sejarah yang jauh di era Mesir Kuno, Romawi hingga upaya pendirian negara Israel sekarang. Di tulisan kali ini saya akan mencoba untuk membongkar mitos secara umum mengenai klaim antara Palestina-Israel.

Menjahit Sejarah Palestina-Israel

Perkataan bahwa dalam sejarah tiada negara yang disebut Palestina itu sebenarnya cukup terburu-buru. Dokumen pertama yang mencatat nama Palestina datang dari zaman Ramses II dan III, pertengahan abad 12 SM. Sebuah prasasti bertanggal sekitar 1150 SM di kuil Medinet Habu di Luxor yang mengacu pada Peleset (PLST) di antara mereka yang berperang melawan Ramses III. Saat ini kita mengenal Peleset sebagai bangsa Filistin.

Sementara Ilan Pappe, dalam bab 1 Palestine Was an Empty Land, cukup jelas bahwa secara geopolitk yang kita kenal sebagai Palestina telah diakui sejak zaman Romawi dengan sebutan Suriah-Palestina. Namun, ini sebenarnya memunculkan perdebatan di antara mereka yang percaya sumber dari Bible yang tak memiliki nilai historis dan mereka yang memegang teguh bahwa kitab suci sebagai catatan sejarah.

Pappe melanjutkan bahwa ada kesepakatan di antara para peneliti, selama periode kekuasaan Romawi, Byzantium, daerah ‘Palestina’ merupakan provinsi kerajaan dan sebagaimana provinsi yang ada di tiap kerajaan waktu itu sangat bergantung pada siapa yang berkuasa, baik itu Romawi dan terakhir Konstantinopel.

Lalu pada pertengahan abad 7, sejarah Palestina berkaitan erat dengan dunia Arab dan Muslim. Berbagai kerajaan dan dinasti Muslim dari utara, timur, selatan bergantian menguasai wilayah tersebut. Selain karena disebut sebagai tempat suci kedua setelah Mekah dan Madinah, wilayah Palestina sangat strategis dan subur.

Hingga sampai kerajaan Ottoman yang menguasai Byzantium, wilayah Palestina menjadi wilayah kekuasaan kerajaan Ottoman pada tahun 1517 yang berkuasa selama 400 taun dan beberapa peninggalannya masih bisa dirasakan hingga detik ini. Seperti misalnya sistem peradilan hukum Israel dengan catatan pengadilan agama (the sijjil), tanah yang terdaftar (the tapu), serta beberapa batu permata adalah contoh yang ditinggalkan periode Ottoman. Selain itu, di sana juga hidup masyarakat beragama dengan mayoritas Islam Sunni, kurang dari 5 persen adalah Yahudi dan kemungkinan 10 atau 15 persen merupakan Kristen.

Meneruskan paparan Pappe, Palestina di masa Ottoman tak berbeda jauh dengan masyarakat Arab dan Timur Tengah lainnya. Hal yang menonjol adalah warga Palestina sangatlah terbuka pada budaya, masyarakat luar dan menerima perubahan serta modernisasi. Bisa dibilang Palestina telah menjadi bangsa (nation) jauh sebelum kehadiran gerakan Zionisme. Selain itu, harus dipahami juga bahwa seperti halnya masyarakat lain yang ada di dunia waktu itu tidak mengenal konsepsi negara-bangsa seperti yang diuraikan oleh Benedict Anderson.

Senada dengan Ilan Pappe, salah satu artikel Introduction to Palestine 1: Palestine throughout history menyatakan sejarah Palestina begitu panjang dan catatan pertama terekam di masa Mesir kuno sebagai Peleset--wilayah antara Mediterranean dan sungai Jordan telah menjadi wilayah yang penting bagi banyak warga tiap wilayah berbeda. 

Dari waktu ke waktu, Palestina telah menjadi rumah dari banyaknya kebudayaan, kerajaan dan kekaisaran. Mulai dari Assyrian, Nabataean hingga Persia, Romawi dan Ottoman, kesemuanya saling mempengaruhi satu sama lain terkait kebudayaan dan banyak hal lainnya yang masih bisa dilihat pengaruhnya terkait ungkapan, kosakata, nama daerah yang digunakan oleh sebagian warga asli Palestina. Bahkan kita bisa mengecek praktek pertanian yang dilakukan oleh warga Palestina dipengaruhi oleh Natufians—leluhur dari petani pertama—pada 9.000 SM/BC

Kemudian ketika Palestina di bawah kekuasaan Ottoman, Pappe mencatat ada setidaknya 600.000 Muslim Sunni, 10 persen Kristen Palestina, dan Yahudi Palestina sekitar 25.000 dan kebanyakan berada di wilayah Jerusalem, Hebron, Safad dan Tiberius. Hubungan antar berbagai pemeluk agama ini terbilang damai dan alamiah bertahun-tahun karena telah tinggal secara berdampingan meski berbeda-beda.

Klaim Zionisme abad 19 bukanlah perkara soal benar-salah, bahwa mereka yang sekarang mendiami Israel adalah keturunan Yahudi yang di hidup di zaman Romawi. Melainkan karena dengan berdirinya negara Israel merupakan perwakilan untuk seluruh Yahudi yang ada di dunia. Kemudian narasi pendirian negara-Israel ini ada andil pemerintah Inggris dengan kekuatan militernya untuk meletakkan kakinya ke wilayah Palestina dan sekaligus meyakinkan orang-orang Yahudi untuk kembali ke Palestina. Klaim Zionisme ini terbukti ampuh hingga tahun 1967 untuk pendirian negara Israel dan negara AS menjadi pendukung pertama segala kebijakan yang dipilih oleh Israel hingga hari ini.

Nenek Moyangku Lebih Dulu & Palestina Sekarang Berasal dari Arab

Sebagaimana para penganut agama yang biasa menafsir kitabnya dengan beragam interpretasi persoalan dunia, hal ini juga yang dilakukan oleh para Zionis, teolog yang mempelajari Bible dan para arkeolog pasca 1904 yang menetapkan Palestina sebagai wilayah yang ideal oleh para Zionis. Proses kembalinya Yahudi ke Palestina didorong karena alasan keagamaan bahwa “kembalinya Yahudi” merupakan bukti janji ilahiah dan awal dari kembalinya Mesiah. 

Selain narasi keagamaan untuk mendorong orang-orang pergi ke Palestina, dulu tanah Palestina memang dimitoskan sebagai tanah yang tak berpenghuni. Lalu pada tahun 1882, ketika koloni Zionis baru mau dibangun, mereka yang berkunjung ke Hadera kaget, sebab ternyata wilayah tersebut dihuni oleh orang-orang Arab, mulai dari laki-laki, perempuan dan anak-anak. Mengetahui kenyataan di sana banyak warga Arab yang mendiami wilayah Palestina, salah satu cara paling ampuh adalah dengan melibatkan Tuhan untuk membenarkan tindakan kolonialisme Palestina, meski sekalipun para Zionis ateis.

Narasi bahwa nenek moyangku lebih dulu ada di sini, maka tindakan mengusir semua orang Arab yang ada di Palestina untuk pergi–benar-benar tak bisa masuk di akal kepala. Herannya, penalaran semacam ini masih bercokol di kepala orang-orang seperti Luthfi Assyaukanie dan para anti-Arab (bukan pemerintahannya). Kalo kita mau liat sejarah seperti yang dituliskan di buku-bukunya Ilan Pappe, inilah sikap yang dilakukan oleh Zionisme untuk pembenaran seperti pengusiran tanah dari warga Arab Palestina mulai dari tahun 1880an, 1948, 1967, 1970 dan hingga detik ini. Peristiwa pengusiran, genosida dan sikap anti-arab ini kurang lebih banyak mendasarkan pada kitab suci bahwa orang Yahudi dulu bertempat tinggal di tanah ini dan berdasarkan kitab, tanah Palestina milik orang Yahudi, maka segala upaya yang Zionisme lakukan dapat 'dibenarkan'.

Selain itu, ada lagi narasi mengenai Palestina yang ada saat ini adalah orang Arab yang tiba abad ke-7. Artikel “Palestinians are Arabs that arrived in the 7th century” menurut saya cukup bagus untuk mengurai sesat pikir dan bagi mereka yang begitu bangga dengan klaim-kaumku-yang-duluan. 

Pertama, sangat sulit untuk memisahkan orang Arab, Muslim dan Palestina. Karena Arab memiliki sejarah yang panjang untuk wilayah yang ada di pantai timur Laut Mediterania (Suriah, Libanon, Palestina, Israel dan Yordania). Kita bisa meruntutnya dari kerajaan Nabataean, kerajaan Ghassanid yang menguasai Yordania, selatan Palestina, dan Sinai yang telah menguasai wilayah tersebut sebelum Muslim datang. 

Kedua, menurut artikel tersebut, proses Arabisasi atau Islamisasi di Timur Tengah dan Afrika Utara cenderung lambat. Misalnya Persia menjadi mayoritas Muslim membutuhkan waktu 2 abad. Bahkan dulu tiap-tiap wilayah diperintah dengan bahasa, hukum, dan mata uangnya sendiri. Barulah proses Arabisasi datang belakangan karena untuk kebutuhan administrasi seperti misalnya dipilih bahasa Arab sebagai bahasa resmi. Dengan kata lain, mayoritas populasi wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara secara eksistensi tidak dibunuh/dihilangkan dan mengidentifikasi dirinya sebagai Arab meski secara etis bukan berasal dari Arab. Bandingkan dengan kolonialisme yang dilakukan oleh Eropa atau sekarang yang dilakukan oleh Israel yang berusaha mengusir dan memusnahkan etnis Arab-Palestina dari tanahnya.

Terakhir, soal solusi dua-negara yang berakar pada tahun 1970 ini menurut Pappe merupakan versi Zionis yang berupaya menjadikan West Bank dalam pengawasan Israel, quasi-negara, menguasai lebih banyak tanah bagi Zionis dan menyisakan sedikit bagi warga Palestina. Menurutnya, rencana ini menegaskan pada warga Palestina 'berhentilah berharap untuk kembali, memiliki hak yang sama, kembali ke Jerusalem dan menikmati kehidupan normal di tanah air kalian'.

Mari kita pikirkan kembali, segala upaya yang dilakukan oleh negara Israel harusnya tak dapat dibenarkan–apalagi klaim “nenek moyangku di sini lebih dulu” sebagai bahan bakar utama. Belum lagi perlakuan mereka terhadap warga Palestina selalu menggunakan kekerasan, pengusiran secara paksa, dan berusaha untuk menghilangkan etnis Palestina dari pandangannya. Karena apabila kita melihat sejarah, sebelum Zionis datang dengan ide penjajahannya, kelompok Palestina dan Yahudi berada di wilayah yang sama dan saling berbagi tanpa adanya pertumpahan darah.