Subtitle: Sejarah meramban alias yang sempat dilupakan, tapi kembali berkat pandemi.
Sewaktu kecil, saya sering ikut ibu mencari daun muda di sebuah desa kecil di pinggiran Mojokerto. Ibu dan orang-orang sekitar rumah menyebutnya sebagai ‘meramban’. Hampir setiap hari mereka meramban—bukan untuk hewan ternak, tapi untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.
Kami kerap meramban di kebun belakang rumah, ke semak-semak di pinggir sungai, di pekarangan kosong dekat lahan tebu, atau bahkan sampai ke kuburan. Sebab tiap tempat tersebut punya jenis tanaman liarnya masing-masing. Misalnya, hari ini ingin makan sayur asem, kami cukup memanen koro uceng (Lablab purpureus) yang tumbuh liar melilit carang bambu dan memetik lung pete (kuncup daun petai). Esoknya, ganti menu menjadi sayur bening yang terdiri dari belustru (Luffa aegyptiaca) dicampur dengan bayam kakap (Amaranthus hybridus) yang tumbuh di tepi sungai.
Sedangkan jika musim hujan tiba dan bosan makan sayur berkuah, kami meramban beluntas (Pluchea indica) di pinggir sungai, rebung di rumpun bambu belakang rumah, lalu bunga pepaya gantung (Carica papaya), koro (Lablab purpureus), serta daun singkong (Manihot esculenta). Beragam jenis sayuran tersebut tumbuh liar dan di sepanjang sungai belakang rumah. Semua sayuran dicuci bersih, lalu semua sayuran, kecuali rebung harus direbus dan dirajang. Setelah matang, semua dicampur dengan kelapa parut yang telah dibumbui. Jadilah hari itu kami makan sayur urap dengan lauk ikan asin dan tahu goreng.
Kegiatan meramban ini tak akan mungkin kalau saja ibu tidak pandai mengidentifikasi makanan yang dapat dimakan. Pernah suatu hari kami sekeluarga ziarah ke makam leluhur, tangannya aktif mencabuti rumput, meremas daun, dan membaui tanaman yang ia temui. Ia pulang membawa setangkup daun berbentuk hati. Daun-daun itu dicampur bumbu halus, tahu, parutan kelapa, petai cina, kemudian dikukus, dan jadilah botok daun simbukan (Paederia foetida) untuk makan siang. Aduhai sedapnya~
“Besok kalau mau masak ini (daun simbukan) lagi, pas cari daunnya diremas dulu, ya. Permukaan daunnya agak kasar, dan baunya seperti kentut…” begitu ujarnya sambil membungkus adonan botok. Saya mengangguk, manut saja dengan omongannya.
Berkat pengetahuan meramban turun-temurun dari keluarga ibu, daun-daun hijau tak pernah absen dari piring makan kami. Tapi, itu dulu waktu masih tinggal di pedesaan awal tahun 2000-an, sebelum desa ditinggal para pemudanya merantau ke kota dan pekarangan tak lagi dijamah oleh tangan manusia.
Meramban: Dari Penanda Musim Sampai Perbaikan Gizi Nasional
Melihat realita yang lebih luas di luar desa saya, ternyata meramban ini banyak istilahnya dan bisa diseriusi, lho. Ada yang menyebutnya etnobotani, ada juga yang menyebut sebagai foraging.
Meramban sudah dilakukan oleh berbagai masyarakat sejak ratusan tahun silam. Jenis sayuran dan buah yang didapatkan bergantung pada musim. Kondisi geografis Eropa dan Amerika Utara dengan iklim sedang menumbuhkan masyarakat yang terbiasa keluar-masuk ke hutan untuk meramban kacang-kacangan, jamur, dan buah beri-berian di musim semi. Di belahan dunia lain, masyarakat Jepang mencari dan mengumpulkan sansai (tanaman liar dari gunung) seperti rebung dan pakis.
Tak hanya sebagai pemenuhan bahan pangan saja, meramban juga bisa menjadi gerakan nasionalisme, seperti yang terjadi di Korea Selatan. Ini berawal dari filosofi masyarakat Korsel yang melihat gunung sebagai sumber kehidupan. Apabila seseorang ingin memperbaiki kualitas kesehatannya, maka dianjurkan untuk memakan makanan alami dari gunung.
Maka tak mengherankan apabila masyarakat, tak memandang tua, muda, tinggal di kota atau desa, akan memakan sayur dan buah gunung di musim-musim tertentu. Pada 2016, praktik ini dikembangkan oleh pemerintah menjadi bagian dari ekowisata. Tak hanya itu, pemerintah juga mendongkrak penelitian potensi obat herbal dari tanaman hutan, serta menjadikan gunung sebagai ladang budidaya pasokan sayuran liar dan akar-akar berkhasiat dengan kualitas prima.
Beragam jenis sayuran dari gunung-gunung Korea kemudian tersaji di atas meja makan berupa Namul (나물) atau salah satu pilar masakan Korea yang mewajibkan tiap-tiap rumah tangga untuk menyajikan sayur, baik yang berupa tunas, daun, dan akar di meja makan. Maka, tak heran jika Korea menjadi konsumen sayur terbanyak di dunia pada 2015-2017.
Pengaruh untuk lebih banyak memakan sayur tak hanya terjadi di Korsel. Ia juga membuka mata masyarakat di seberang lautan untuk mencicip makanan Korsel yang berbasis sayur lewat drama keluarga maupun acara ragam. Beberapa diantaranya adalah 2 Days 1 Night atau K-Drama Let’s Eat 1-3 yang selalu menampilkan olahan sayur liar maupun musiman yang di menu makanan mereka.
Bagaimana dengan Indonesia yang memiliki iklim tropis ini?
Penggunaan kata meramban/ngeramban mungkin hanya familiar bagi penduduk Jawa saja. Kendati demikian, aktivitasnya biasa dilakukan masyarakat pedesaan Indonesia sepanjang tahun dengan sebutan yang beragam, misalnya ngonon di Bali. Sejarah meramban pun sudah terdokumentasi di masa penjajahan Hindia Belanda lewat penelitian Lands Plantentuin te Buitenzorg, (sekarang Kebun Raya Bogor). Hasilnya dimaktubkan di buku Indische Groenten, dengan daftar tanaman ramban yang dapat dikonsumsi serta diperdagangkan. Misalnya saja tunas muda daun kejaranan (Lannea grandis) dan bayam kremah (Alternanthera sessilis) yang dimakan sebagai kulup/lalapan mentah atau ditumis untuk dihidangkan di rijsstafel.
Yang disayangkan, kebiasaan meramban ini sempat menjadi ironi. Ia dilekatkan dengan aktivitas ndeso yang sarat kemiskinan karena tidak mampu membeli sayur hasil pertanian yang lebih mahal. Lagu rakyat Banyuwangi berjudul Genjer-genjer pernah dituduh sebagai bahan propaganda Partai Komunis Indonesia (PKI) karena dianggap jadi simbol perjuangan kelas akar rumput, sehingga tabu diperdengarkan khalayak umum. Padahal lagu ini menceritakan kesengsaraan semasa pendudukan Jepang (1942-1945), kejadian belasan tahun sebelum sempat dicekal semasa Orde Baru karena penciptanya tergabung dalam Lembaga Kesenian Rakyat (LEKRA). Akibatnya, jenis tanaman ini hilang dari peredaran dan ingatan kolektif masyarakat selama beberapa dekade.
Kembali ke Alam… Di Kota
Dalam buku Eating Wild Japan, kebiasaan mengumpulkan sayur dan bahan pangan liar dari gunung dimaknai sebatas simbol tradisi yang mulai ditinggalkan oleh masyarakat. Kalaupun ada yang melakukannya, ia tak lagi dilakukan untuk memenuhi piring, tapi juga status ‘sadar lingkungan’. Ini berhubungan dengan naiknya kesadaran terhadap pangan alternatif, perubahan iklim, pangan lokal, hingga penerapan gaya hidup sehat, terutama setelah dunia dihantam pandemi.
Saya salah satu yang terkena virus kembali ke alam setelah pandemi berakhir. Saya ingin kembali menghidupkan ingatan masa kecil. Maklum, sudah 9 tahun saya pindah ke Yogyakarta. Dalam rentang waktu itu pula lidah saya terlanjur terbiasa dengan makanan instan ala anak kos.
Yang mengembalikan semangat saya untuk meramban justru ketika saya berjumpa kembali dengan selada air (Nasturtium officinale) di salah satu warung makan tengah kota Yogyakarta. Dari sanalah saya mulai memburu tanaman ramban yang tidak umum di pasar-pasar tradisional Yogyakarta.
Ternyata, meramban di belantara kota tak semudah yang dibayangkan. Beruntung saya punya teman warga lokal sekaligus mamak asuh di kaki Merapi serta beberapa tempat yang mengajari saya untuk kembali meramban.
“Melu ngalas opek godhong jendal ora, mbak?” (Mau ikut ke hutan ambil daun singkong, mbak?) begitu tanya mamak asuh ketika akan pergi mencari rumput untuk pakan sapi. Alas yang dimaksud bukanlah hutan, melainkan pinggiran sawah yang ditanami padi. Biasanya jam 9, saya akan ikut ngalas. Setibanya di sana, kami langsung mengambil daun singkong di galengan sawah, memetik cabai, tomat, dan timun secukupnya.
Menu favorit saya saat berkunjung ke tempat mamak asuh di kaki Merapi adalah daun singkong rebus dan jembak dengan sambal bawang-gula jawa lengkap dengan lauk ikan asin dari pasar Talun, Magelang. Memakan makanan ini tak hanya membangkitkan memori, tapi juga proses mendisiplinkan kembali lidah ke makanan yang lebih alami.
Saya sadar tak semua orang punya akses ke gunung. Bagi kalian yang tertarik untuk mencoba meramban, saya merekomendasikan dua tempat, Omah Lor dan Tepikota. Keduanya menawarkan pengalaman meramban dan panganan lokal di kebun mereka. Proses ini ditemani oleh pemandu yang menceritakan tentang sistem pertanian mereka.
Selama mengikuti tur dua tempat itu, saya berkenalan dengan daun jintan (Coleus amboinicus) yang diseduh bersama sereh, salam koja atau daun kari (Murraya koenigii), daun mangkokan (Polyscias scutellaria), dan bayam brazil (Alternanthera sissoo). Saya juga menjadi sadar akan banyaknya tanaman yang bisa diramban. Kuncinya hanya satu, peka dengan lingkungan. Memang jenisnya tak banyak—saya sendiri menemukan tumpang air/sirih cina (Peperomia pellucida), katuk (Sauropus androgynus), dan chaya (Cnidoscolus aconitifolius) di sekitar kosan.
Sedikitnya jumlah tanaman liar yang bisa diramban merupakan penanda tingkat polusi yang tinggi. Jarangnya lahan kosong juga menjadi faktor penting. Akhirnya kita, warga kota yang rindu panganan lokal, harus mendapatkannya di pasar dan supermarket. Saya sempat menjumpai tanaman semacam genjer (Limnocharis flava), pakis (Diplazium esculentum), dan bunga turi (Sesbania grandiflora).
Namun perlu diingat bahwa kehadiran mereka tak luput dari rantai panjang peran pemilik kebun dan permintaan warung makan rumahan. Mereka datang dari pedesaan di Pakem, Sleman, dan Godean. Maka dari itu keberadaan mereka di meja makan menjadi spesial, karena sayuran-sayuran ini bersifat musiman.
Menulis ini membuat saya lapar. Jadi, makan apa kita hari ini?