Menabung (di Bank) Tak Lagi Pangkal Kaya

Menabung (di bank) Tak Lagi Pangkal Kaya: Suku Bunga Nol Persen, Masih Tertimpa Aneka Biaya


 

Pada umumnya orang menabung agar mampu memenuhi kebutuhan di masa mendatang. Kecenderungan inilah yang selama ini ditangkap bank. Bank menawarkan keamanan sekaligus imbal hasil lewat besaran suku bunga tertentu agar orang mau menabung di bank. 

 

Sampai 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sebanyak 80,27 juta penduduk negeri ini telah memiliki rekening bank. Angka ini setara dengan 40,3 persen dari total penduduk saat ini yang berjumlah lebih kurang 272 juta jiwa. 

 

Namun, tak banyak orang yang menyadari suku bunga bank tak selamanya manis. Ada kalanya suku bunga bank tinggi, ada kalanya justru turun. Sialnya, Bank Indonesia (BI) mencatat rata-rata tingkat suku bunga bank umum di negeri ini terus menurun dalam enam tahun ke belakang. Per Juni 2022, rata-ratanya hanya 0,64 persen. 


 

 

 

Bahkan, beberapa bank menetapkan suku bunga untuk saldo tabungan bermata uang rupiah di bawah Rp1 juta sebesar nol persen. Betul, sama sekali tanpa bunga. Beberapa bank tersebut antara lain BNI, OCBC NISP, CIMB Niaga, dan Panin Bank. 

 

Setidaknya ada dua hal yang mempengaruhi tingkat suku bunga tabungan bank di negeri ini.

 

Pertama, kondisi likuiditas bank. Sederhananya, likuiditas adalah kemampuan bank membayar kewajiban jangka pendeknya. Kondisi likuiditas bank dikatakan sehat bila punya kas cukup untuk melunasi kewajibannya itu. 

 

Salah satu cara mengetahui kesehatan likuiditas bank adalah dengan menghitung Loan to Deposit ratio (LDR). Sederhananya, LDR adalah perbandingan jumlah pinjaman dan simpanan dana dalam bank. Bila rasionya tinggi, berarti simpanan dana di bank sedikit dan likuiditasnya buruk. Dalam kondisi ini, bank cenderung menaikkan suku bunganya demi menarik lebih banyak simpanan dana dari nasabah. 

 

Sebaliknya, bila rasionya rendah maka dana tersimpan lebih banyak dari kredit, artinya likuiditasnya sehat. Ketika ini terjadi, bank cenderung menurunkan atau tak mengubah tingkat suku bunganya. 

 

BI menetapkan tingkat LDR sebuah bank untuk dikatakan sehat bila di rentang 80%-90%. Berdasarkan catatan BI, tingkat LDR bank umum konvensional menunjukkan tren menurun dalam tiga tahun terakhir. Terendah pada 2021 dengan 77,13%. Tak ayal suku bunga tabungan terus menurun. 

 

 

 

Kedua, adalah tingkat suku bunga acuan Bank Indonesia (BI). Secara sederhana, suku bunga acuan adalah besaran bunga yang setiap bulan ditetapkan BI sebagai bank sentral untuk menjadi acuan produk pinjaman bank serta lembaga keuangan lain. 

 

Ketika inflasi tinggi, BI akan cenderung menaikkan suku bunga acuannya. Ini terjadi pada periode Agustus 2022. BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 3,75% sebagai mitigasi inflasi meroket akibat kenaikan harga BBM bersubsidi. Terlebih per Juli 2022 inflasi sudah menyentuh 4,94% dan menjadi yang tertinggi dalam lima tahun ke belakang. 

 

Kenaikan suku bunga acuan selalu diikuti suku bunga simpanan. Per Agustus 2022, suku BI menentukan bunga simpanan atau Deposit Facility Rate sebesar 3%, naik juga 25 bps. Tujuannya agar tak banyak masyarakat yang menarik uang tabungannya di bank. Dengan begitu uang lebih sedikit beredar dan inflasi dapat ditekan. 

 

Maka, normatifnya bank-bank juga akan menaikkan suku bunga simpanannya baik untuk deposito maupun tabungan. Namun, suku bunga acuan BI tak sepenuhnya mengikat bank-bank lain. Bank tetap bebas menentukan suku bunga simpanannya. 

 

Bank pun biasanya hanya menaikkan suku bunga deposito. Mengingat, deposito cenderung berisiko rendah karena nasabah terikat kontrak menyimpan dananya di bank jangka waktu tertentu. Tak seperti dana tabungan yang bisa diambil sewaktu-waktu oleh nasabah. 

 

Tertimpa Aneka Biaya

 

Hal lain yang tak banyak disadari ketika memutuskan menabung di bank, adalah bank tak memberi jasanya gratisan. Bank membebankan aneka biaya kepada nasabahnya untuk meraup pendapatan.

 

Bank Mandiri, misalnya, membebankan biaya administrasi kepada nasabahnya sebesar Rp12.500 per bulan. Lalu, beban biaya kartu debit antara Rp2.000-10.000 per bulan tergantung jenis kartunya. Ada pula biaya transfer dengan berbagai besaran harga, salah satunya sebesar Rp5.000 per transaksi yang dibebankan kepada nasabah yang ingin mentransger uang ke pemilik rekening bank domestik lain. 

 

Seluruh biaya itu tentu bisa membebani orang yang menabung di bank di saat suku bunga sangat rendah. Terutama bagi mereka yang saldo tabungannya rendah. Bahkan sangat mungkin saldo mereka di tabungan berkurang seiring waktu hanya untuk membayar biaya-biaya tersebut. 

 

Mari coba kita hitung. Bank Mandiri saat ini menetapkan suku bunga sebesar nol persen untuk saldo tabungan di bawah Rp50 juta. Bila seseorang saat ini hanya punya saldo tabungan sebesar Rp1 juta di Mandiri dan tak pernah menambah dananya, maka duitnya bakal habis dalam lebih kurang 40 bulan hanya untuk membayar biaya admin bulanan. 

 

Kalaupun saldo orang tersebut Rp 50 juta, maka ia hanya akan mendapat bunga 0,10% atau sekitar Rp4.109 per bulan berdasarkan ketetapan Mandiri. Jumlah ini tetap tak cukup untuk menutupi ongkos admin bulanan yang mesti ditanggung. 

 

Mandiri tentunya bukan satu-satunya bank yang membebankan aneka biaya kepada nasabahnya. Hal ini karena potensi pendapatan berbasis fee ini cukup besar. 

 

Pada Februari 2022 lalu, Mandiri meraup Rp4,7 triliun dari sumber-sumber ini atau setara 32% dari total pendapatannya. Raupan tersebut tumbuh 5,6% dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. 

 

Sepanjang tahun 2021, Bank BCA pun meraup Rp14,68 triliun dari pendapatan berbasis fee. Begitu pula BRI dan BNI yang masing-masing meraup Rp16,5 triliun dan Rp13,63 triliun pada periode yang sama. 

 

Maka ada baiknya jika kita mulai memikirkan tempat lain untuk menabung. Pasalnya, menabung di bank konvensional saat ini tak lagi pangkal kaya. Kecuali penghasilanmu stabil dan bisa terus menambah saldo sampai miliaran rupiah. 

 

Sementara belum mampu menabung sebanyak itu, mari berharap bank-bank konvensional segera beralih ke digital. Sehingga, mereka bisa mengurangi ongkos-ongkos yang tak perlu, seperti untuk biaya gedung yang bisa dialihkan untuk memberi bunga lebih tinggi ke nasabah dan biaya-biaya tak penting lainnya seperti biaya ATM. 

 

Dan tentu saja, mari tetap bekerja.