Mencari Dian

Mencari Dian: Kisah Representasi Perempuan Neurodivergent
Dalam hidupnya, Dian selalu merasa terasing. Masa kecilnya dipenuhi dengan cemoohan dan rentetan panjang keluhan dari orang-orang di sekitarnya bahwa ia adalah anak yang aneh dan menyusahkan. Dian diasingkan oleh masyarakat di sekitarnya, seakan-akan semua orang sedang mengacungkan jari telunjuk kepadanya. Maka, sedikit demi sedikit ia mundur beberapa langkah dan terpaksa memasang topeng untuk dapat berbaur. Hingga ia kehilangan dirinya sendiri, tak lagi mengenali dirinya yang sebenarnya.
Dian mencuri-curi waktu untuk membuka topengnya ketika ia sedang berayun, juga ketika ia sedang berjalan berputar-putar di tempat. Saat kecil, Dian bisa berayun selama dua jam non-stop. Kini, yang tersisa hanya berputar-putar. Dian bisa berputar-putar sambil bicara sendiri di kamarnya semalaman jika ia terlalu girang, juga ketika sedang banyak pikiran, atau ketika dirinya sendiri tidak tahu persisnya kenapa. Sekarang dia sudah tahu sedikit soal kondisinya bahwa tubuhnya membutuhkan itu. Mungkin ini yang terbaik; ia mendengarkan tubuhnya sendiri tanpa merasa bersalah. 
Di setiap cerita pendek yang Dian tulis pada usia remajanya, Dian selalu menuliskan soal dirinya yang baru bisa menemukan dirinya sendiri pada setiap ayunan yang ia tumpangi; pada tiap putaran tubuhnya, pada tiap kali tangannya menyentuh tekstur yang berhasil memberikannya rasa, pada tiap tetesan air yang membentuk riak ombak pada genangan. Dian, baru bisa mendapatkan kesadaran dirinya kembali melalui hal-hal kecil seperti itu.
Masa sekolah Dian dilalui dengan sangat berat. Guru Dian ikut merundungnya. Nama Dian disebut dengan menggunakan pengeras suara di dalam masjid. Ia disebut anak yang kurang ajar karena jarang melakukan kontak mata ketika sedang diajak bicara. Tak banyak orang tahu, justru ketika Dian terlihat serius mendengarkan percakapan, di saat itu Dian sebenarnya tidak bisa memproses percakapan tersebut.
Memasang topeng yang lama membuat jati dirinya terkikis banyak. Dian tidak bisa lagi memproses perasaan tak nyaman yang ia rasakan.  Dian kesulitan dalam meregulasi diri, meledak-ledak hingga dicap sebagai perempuan gila. Orang-orang membawanya untuk di-ruqyah, tapi hal ini justru membuatnya menjadi korban pelecehan seksual. Tumpukan trauma-trauma ini yang membuat topengnya semakin melekat.
Berada Pada Spektrum dan Kegilaaan
Perempuan autis adalah kelompok minoritas dari minoritas. Ia memiliki lapisan marjinal yang lebih tebal. Perempuan seringkali tidak terdiagnosis karena kondisinya “tidak dikenali.” Perempuan autis (dan/atau neurodivergen lainnya), kerap mendapatkan salah diagnosis sebagai penyakit mental oleh para tenaga kesehatan.
Untuk dapat berbaur di masyarakat umum, individu neurodivergen  melakukan kamuflase dengan masking. Pada penelitian, kamuflase tampaknya lebih umum terjadi pada perempuan autis. Tak mengherankan terjadi dikarenakan perempuan ering diinvalidasi pengalamannya oleh masyarakat umum (neurotipikal). Meski terdengar positif bagi individu neurotipikal karena masking dilakukan untuk dapat berbaur di masyarakat. Namun, hal ini sangat melelahkan bagi individu neurodivergen. Penyamaran sosial yang lebih tinggi berpengaruh pada kesehatan mental yang lebih buruk. Individu autis, contohnya, menekan ciri-ciri autis untuk dapat dianggap sebagai non-autis. Konsekuensinya adalah stres, menderita penyakit mental, dan kehilangan identitas diri.
Dian takut, jika ia memang hanya seorang perempuan gila; identitas diri yang ia kenali selama ini. Namun, setelah anaknya bisa berjalan, ia menyadari bahwa anaknya juga melakukan gerakan berulang untuk meregulasi dirinya. Stimming, umum ditemukan pada individu neurodivergent sebagai bentuk dari mencari stimulasi. Dian mengamati anaknya yang berputar-putar tak berhenti selama tiga puluh menit seperti gasing.  Ia memutuskan untuk mengikutinya dengan memutari ruangan. Anaknya, mulai sadar akan hal di sekitarnya dan girang. Dian kini, dibuntuti oleh anaknya yang riang untuk terus memutari ruangan. Seperti Dian kecil, anaknya juga jarang menunjukkan ada kontak mata.
Di pertemuan kesekian terapi okupasi, Dian diminta untuk rajin mengajak anaknya bermain ayunan. Katanya, untuk memaksimalkan input sensorik sehingga anaknya dapat meningkatkan kesadaran diri dan sekitarnya. Sedikit demi sedikit, topeng Dian yang lekat itu terlepas dan Dian mulai mengenal dirinya lagi dalam diri si anak.
Ketakutan pun kini berubah menjadi kekuatan dalam diri Dian. Dian ingin agar anaknya tidak perlu memakai topeng sepertinya. Dian menyadari bahwa setelah mendapatkan diagnosis, orang akan berfokus pada bagaimana orang dengan autisme belajar untuk beradaptasi dan diterima di masyarakat. Terapi pada anak pun banyak mengarahkan agar anak dapat membaur dan tidak “mengganggu” orang-orang. Penekanannya ada pada bagaimana mereka harus bisa beradaptasi dengan dunia orang-orang neurotipikal.
Neurodiversitas dikenal sebagai disabilitas yang tak terlihat. Namun, sebenarnya bukan tidak terlihat tapi orang-orang tidak mau melihatnya. Dian menolak keras hal itu. Dian ingin anaknya bisa berteman dan bersosialisasi tapi dia lebih ingin perasaan dan pengalaman anaknya divalidasi lebih dahulu. Dian ingin kelompok neurodiversitas menjadi terlihat. Neurodiversitas bukan soal bagaimana mereka dapat menjaga kenyamanan orang-orang umum. Karena bukankah seharusnya kita bisa lebih mengakomodasi mereka yang berbeda?