Mendambakan Kota yang Ideal

Sub: Mimpi siang bolong Jakarta nggak semenyiksa ini. 

Sebagai anak asli Semarang, saya cukup kebal dengan hawa panas. Maklum, kota ini sudah didapuk jadi salah satu kota terpanas di Indonesia. Ketika merantau ke Jakarta untuk kuliah, pernah suatu hari, saya dan 12 teman saya harus tidur di satu kamar kos sempit karena acara esok pagi. Saya tidur lelap. Paginya, 12 teman saya heran karena hanya saya saja yang bisa tertidur, sedangkan yang lain kepanasan. 

Tapi terus terang, akhir-akhir ini saya juga dibuat megap-megap dengan cuaca panas Jabodetabek. Lantas saya berpikir, andai  saja ada kota yang suhu cuacanya ideal….

Standar Iklim yang Ideal di Indonesia

Merujuk pada BMKG, standar suhu yang ideal untuk wilayah Indonesia adalah 28°C di wilayah pesisir, 26°C di daerah rendah-menengah, dan sekitar 23°C untuk daerah pegunungan. Namun, secara keseluruhan untuk di perkotaan, standar suhu yang nyaman dipatok sekitar 25-27°C. Alasannya ya karena Indonesia adalah negara tropis—memang segitulah standar ilmiah negara yang dilewati oleh garis khatulistiwa. 

Sayangnya kenyataan berkata lain. Pada 2023, suhu beberapa kota tembus hingga 39°C, terutama kota-kota di pulau Jawa seperti Semarang, Majalengka, Surabaya. Artinya, sebagian besar masyarakat yang tinggal di pulau Jawa terasa kepanasan bukan main. Dan ini sudah pasti membuat manusia kelelahan menghadapinya. Rata-rata suhu Indonesia di tahun ini tercatat di angka 27,2°C, hanya turun 0,1°C dari rekor suhu terpanas Indonesia yang tercatat di tahun 2016.

Sumber: BMKG

Dilihat dari data di atas, rata-rata suhu di Indonesia meningkat tajam pada 1998, setelahnya naik turun meskipun tak drastis. Baru pada 2011 sampai saat ini, suhu rata-rata hampir terus merangkak naik berkat efek rumah kaca. 

Sebenarnya, memiliki suhu yang ideal di sebuah kota juga dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya pembangunan gedung, jumlah populasi manusia, lingkungan hijau dan seterusnya. Nah, seperti apa sih kota yang punya iklim ideal? Atau lebih lanjutnya lagi, kota yang ideal dan layak ditinggali itu seperti apa sih?

Kota dengan Iklim yang Ideal

Transportasi umum: Kalau peduli dengan kesehatan bumi, yuk beralih ke transportasi umum. Sebagai gambaran, mobil mengeluarkan emisi   sebesar 299 gram per mil (1,6 km). Sementara bus mengeluarkan emisi karbon sebesar 97 gram/mil per penumpang dan kereta lebih kecil lagi, yaitu 28 gram/mil per penumpang. Emisi karbon bus diesel dan listrik bisa ditekan turun sampai 99,9%. Mau lebih turun lagi? Jalan kaki dan bersepeda adalah pilihan paling tepat.

Hunian bertingkat: Semakin hari, jumlah lahan semakin sedikit dan harga rumah semakin melangit. Opsi rumah susun atau apartemen menjadi pilihan terbaik, terutama untuk yang masih mau tinggal di dalam kota Jakarta. 

Nah, kebetulan tinggal di rusun atau apartemen jauh lebih ramah lingkungan daripada tinggal di rumah tapak. Hal ini juga diakui oleh pemerintah DKI Jakarta—sejak tahun 2016, pemerintah berkomitmen untuk membangun hunian berkelanjutan untuk mengurangi 30% CO2 pada 2030. Mengutip data Green Building Council Indonesia (GBCI), implementasi gedung hijau di Jakarta per Mei 2016 sebesar 15 juta meter persegi telah mampu menghasilkan penghematan energi 853.914 megawatt jam (MWh) setiap tahun. 

Selain itu, ada  penghematan biaya operasional sekitar 68,31 juta dollar AS per tahun, serta pengurangan emisi karbon sebesar 605.425 ton per tahun. Pemanfaatan lahan pun jadi lebih efisien. Daripada dipakai untuk halaman rumah yang kering kerontang, lebih baik digunakan sebagai hunian bagi banyak orang.

Tempat olahraga: Selain tempat tinggal yang efisien, tentunya kita juga butuh tempat berolahraga yang ramah lingkungan. Mari tengok Gelora Bung Karno (GBK), tempat olahraga kesukaan warga ibukota. Stadium ini telah melakukan terobosan untuk mengurangi emisi karbon. GBK mulai menggunakan panel surya dengan kapasitas 420 kWp yang mampu menghasilkan rata-rata 1.470 kWh/hari. 

Jalanan: Indonesia menargetkan 0% emisi karbon di tahun 2060. Permasalahannya, pembangunan jalan maupun konstruksi lainnya masih menyumbang emisi yang sangat besar. Aktivitas konstruksi bangunan menyumbang 36% konsumsi energi global dan 39% CO2. Untuk mengurangi itu, perlu dicanangkan pembangunan program jalan hijau dengan material berkelanjutan seperti biochar, bioplastik, limbah pertanian, wol hewan, fly ash, dan beton self-healing untuk pembangunan yang lebih ramah lingkungan.

Gedung bertingkat/perkantoran: Mirip dengan pembangunan jalan, pembangunan gedung juga menyumbang emisi yang besar. Penelitian dari Architecture2023 menyebutkan bahwa bahwa pengangkutan, perakitan, dan pembuatan bahan bangunan seperti baja, beton, dan kayu menyumbang 8% dari penggunaan energi global. Sementara pembangkit listrik berbahan bakar batu bara yang digunakan gedung-gedung menghasilkan sekitar 30% dari total emisi karbon.

Pertanyaannya, bagaimana menciptakan bangunan yang ramah lingkungan? Gedung-gedung ini bisa berkontribusi dengan penggunaan tenaga surya, serta mengoptimalkan atap, jendela, pintu luar, dan dinding untuk pengaturan suhu dan cahaya. Tak hanya itu, bangunan juga perlu memperhatikan mitigasi bencana alam. 

Kabar baiknya, sejak 2022 42% gedung perkantoran Jakarta sudah bersertifikasi ramah lingkungan.

Tempat pembuangan sampah: Tempat pembuangan sampah yang menggunung tak hanya berbau tengik, tapi juga menghasilkan gas metana yang besar. Gas metana ini punya kemampuan merusak iklim 80 kali lebih besar dari CO2. 

Lebih sedihnya lagi, sampah akan terus menumpuk. World Bank memperkirakan akan ada 73% peningkatan volume sampah di tahun 2050. Untuk mengurangi jumlah sampah dan gas metana yang dihasilkan, kita perlu lebih gencar melakukan metode reduce-reuse-recycle. Metode ini bisa mengurangi 60% gas metana dengan biaya rendah atau bahkan tanpa biaya sama sekali. 

Wilayah hijau dan taman kota: Ruang hijau seperti taman dan hutan kota menyimpan karbon yang lebih banyak dibanding tanah biasa. Dengan memperbanyak ruang hijau, kota bisa menekan angka CO2 dan menambah jumlah O2. Para peneliti mempelajari 56 kawasan ruang hijau perkotaan dan ekosistem alami dari 17 negara, hasilnya mengatakan bahwa lapisan tanah paling atas adalah bagian paling aktif untuk menghasilkan O2. Hal ini dibantu pula oleh para microba yang hidup di dalam tanah. 

Sayangnya, semakin panas suatu kota, membuat tanah semakin mudah kehilangan O2 Mari kita lihat Suriname, negara ini dijuluki sebagai negara paling hijau di dunia dengan 93% hutannya. Ibukota Suriname, Paramarino, gencar mendorong penelitian tentang peran ruang hijau dalam masyarakat dan lingkungan, dan mencakup berbagai kegiatan lokal: perburuan di luar ruangan, penanaman pohon, video yang menampilkan tukang kebun lokal untuk menginspirasi penduduk lain untuk memulai kebun mereka sendiri.

Saluran air: Sungai dan saluran air dapat menjadi senjata untuk melawan perubahan iklim, tapi juga bisa menjadi faktor yang memperparah perubahan iklim. Sungai-sungai terbesar di Asia seperti Sungai Gangga, Salween, Irrawaddy, dan Mekong, dianggap sebagai pusat untuk mentransfer karbon dari atmosfer ke samudera. Karbon memulai perjalanannya hilir ketika hujan asam alami (yang mengandung karbon dioksida terlarut dari atmosfer) melarutkan mineral-mineral dalam batuan. Proses ini menyebabkan perubahan CO2 menjadi bikarbonat dalam air sungai. Proses kimia ini, yang disebut pelapukan kimia, adalah salah satu cara utama CO2 dihilangkan dari atmosfer dalam apa yang disebut ilmuwan Bumi sebagai skala waktu panjang. Karbon diangkut oleh sungai-sungai ke samudra, dan begitu karbon tersebut mencapai samudera, secara alami disimpan dalam sedimen laut dalam selama jutaan tahun.