Mengajari Mesin Berpikir

 

Hati-Hati

Ada Pekerjaan

 

Mobil yang saya tumpangi melewati sebuah papan oranye berisi tulisan di atas. Ia papan peringatan biasa, kita bisa menemukannya di setiap proyek perbaikan jalan. Sungguh tak ada yang spesial dari momen itu hingga Faiz, yang menyetir, nyeletuk: "Busyet, kalau yang baca papan tadi lagi nganggur sedih kali, ya? Ada pekerjaan malah disuruh hati-hati."

 

Lalu saya menanggapi sambil tertawa, "Ditulis sama orang trauma overwork kali."

 

Mobil melaju pelan. Rangkaian lampu pekerjaan berkedap-kedip di sebelah kiri. Siluet raksasa--mungkin sekelompok pohon besar, mungkin bukit, mungkin juga megafauna yang cuma keluar saat malam buat kencing--berbaris di luar pagar tol, seolah memagari pekerja-pekerja jalan tol di malam hari. Lalu sebuah papan:

 

Akhir dari Pekerjaan.


 

Fetish Kiamat

 

Sebelum meneruskan membaca, saya memperingatkan ini adalah tulisan yang panjang dan fafifu, jadi bagi yang ingin segera melihat hasil pembuatan komik menggunakan MidJourney bisa langsung klik ini [anchor link]

 

Ketertarikan (yang di dalamnya meliputi rasa takut dan kagum dan perasaan tak terdefinisikan yang merentang di antaranya) manusia terhadap kiamat rasanya hampir setua peradaban manusia itu sendiri. Kisah-kisah kiamat di dalam kitab-kitab suci, penuturan dari mulut ke mulut yang disampaikan dari generasi ke generasi, melebur dalam puisi, karya-karya fiksi, dan banyak medium cerita.

 

Di dunia sinema, medium cerita paling populer hari ini, kita bisa menelusuri film-film kiamat sejak Verdens Undergang tahun 1916 atau yang kemudian menjadi pijakan sinema kiamat modern seperti When Worlds Collide di 1951. Di Asia, cerita tentang kehancuran dunia bisa dilihat dari Godzilla (1954) hingga AKIRA (link ke artikel Jurno tentang AKIRA) ke All of Us Are Dead (2022). Pada rentang 106 tahun itu berbagai trope, premis, bangunan dunia, model kiamat dari perspektif relijius hingga sekuler telah disajikan, didaur-ulang, diimani. Di dalam musik pun kurang lebih sama. Anda yang akrab dengan musik-musik rock industrial tahun 90-an tentu lebih tahu.

 

Menjelang pergantian milenium, peradaban barat bertanggung jawab memopulerkan fatalisme dalam budaya populer. Mereka membantu melanggengkan sikap paling merusak yang dapat dipikirkan oleh kebanyakan masyarakat: hidup tak layak dijalani dan semua upaya kita pada akhirnya akan menyebabkan rasa sakit dan kekecewaan. Mereka yang menjalani kenyataan dan melewati hari-hari nelangsa tentu akan merasa terwakili oleh tema-tema ini, sehingga karya-karya ini jadi masuk akal dan populer.  

 

Sangat mudah menemukan cerita distopia kiamat atau pascakiamat dalam imajinasi kolektif yang mendominasi dunia, terutama di alam pikir mereka yang memiliki privilese dan tinggal di perkotaan dengan ragam akses dan referensi. Secara estetis kisah-kisah distopia terlihat lebih keren dan ceritanya dianggap mewakili pikiran dan perasaan banyak orang. Hingga hari ini saya sendiri takjub bagaimana persentase orang-orang yang dapat mengakses budaya populer, yang sangat kecil jika dibanding populasi satu negara, dapat menyusun kenyataan bahwa beginilah akhirnya: dunia hancur dan tak ada lagi yang dapat kita lakukan untuk memperbaikinya. Semangat nihilistik yang menjadi pijakan genre kiamat yang semula memiliki kekuatan politik jadi tumpul, kurang mengancam, dan fokus pada fetish kehancuran belaka. Kabar baiknya, ia jadi semakin mudah dipasarkan.

 

Begitu pula imajinasi tentang yang melibatkan AI (Artificial Intelligence). Ia kebanyakan mengambil tema distopia, seolah tak ada lagi hal lain yang bisa dibicarakan ketika kita membicarakan AI. Wajar saja, karena cerita-cerita itu tetap merefleksikan dunia hari ini di mana cerita itu dibuat, sekalipun setting cerita dituturkan di tahun 2168.


 

Kisah Ringkas Manusia dan Mesin Pasca-Revolusi Industri

 

"Here we have, in place of the isolated machine, a mechanical monster whose body fills whole factories, and whose demonic power, at first hidden by the slow and measured motions of its gigantic members, finally bursts forth in the fast and feverish whirl of its countess working organs.”

 

Fun fact: paragraf di atas bukan ditulis oleh H.P. Lovecraft.

 

Karl Marx bukanlah penulis cerita horor kosmis, tetapi di esai di bab ke-15 dalam Capital: A Critique of Political Economy ia menulis seakan-akan tengah ketakutan setengah mati karena berhadapan dengan the unknown. Esai itu berjudul Machinery and Modern Industry, satu-satunya esai yang sanggup saya selesaikan (sisanya, saya hanya membaca Capital melalui buku-buku pendampingnya, seperti A Companion to Marx's Capital-nya Harvey) dan menjadi favorit atas alasan personal.

 

Di dalam bab ini, Marx tidak hanya mengajukan kritik terhadap ekspansi mesin-mesin kapitalis, ia juga merangkum perkembangan teknologi dan kaitannya dengan keadaan sosial. Sesuatu yang mungkin saat ini tak mendapat sorotan utama, terutama karena industri yang menaungi hi-tech membuat apa yang disebut teknologi perlahan memisahkan diri dari elemen sosialnya. Di bab ini kita bisa melihat kontradiksi yang amat jelas dalam pikiran Marx bahkan cuma dari pilihan-pilihan katanya. Ia kelihatan sangat bersemangat melihat kemajuan sekaligus ketakutan seperti melihat genderuwo secara live.

 

Ketika Marx menulis bab ini, faksi kelas pekerja terbesar adalah kelas yang "tidak produktif". Di sisi lain, kondisi pekerja tekstil, tambang dan industri logam di Inggris dan Wales pada 1860-an hidup dalam kondisi menyedihkan. “Sungguh konsekuensi yang meningkat dari eksploitasi kapitalis atas mesin,” serunya.

 

Pada bab ini Marx membicarakan mesin seperti membicarakan mayat-mayat hidup yang merangkak di tengah masyarakat, membawa kemalangan bagi tubuh-tubuh manusia yang ringkih. Ia mengungkapkan ketakutannya terhadap apa yang tengah dihadapi manusia, khususnya kelas pekerja, dengan narasi gotik nan gelap a la Dokter Frankenstein dan menunjukkan posisi politiknya menyikapi progres. Berbeda dari posisi ekstrem Luddite melihat teknologi, di dalam tulisannya tarik-menarik antara optimisme terhadap ilmu pengetahuan teknologi adu banteng dengan pesimisme akibat kebrutalan yang muncul akibat Revolusi Industri. Ia terkesima menyaksikan kemajuan, tetapi ia bukanlah seorang determinis teknologi.

 

Sekarang, simak tokoh kita selanjutnya.

 

"[...] kini hadir perangkat mekanis untuk menyanyikan lagu atau memainkan piano untuk kita, sebagai pengganti keterampilan manusia, kecerdasan, dan jiwa."

 

Kutipan itu terdengar seperti masalah hari ini, tak salah jika kamu berpikir ia diucapkan pada era 70-an atau 80-an, era di mana eksperimen musik digital sedang panas-panasnya, atau cuitan dari seorang pengguna Twitter. Tetapi, sayangnya salah. Kutipan itu berasal dari esai yang terbit di Appleton's Magazine pada 1906.

 

Artikel itu berjudul The Menace of Mechanical Music, ditulis oleh John Philip Sousa. Sousa adalah komposer musik militer yang, dari beberapa esainya, terlihat sangat petty dan pahit melihat penemuan teknologi audio. Kita bisa melihat dari mana kepahitan itu muncul: penyelidikan James Clerk Maxwell yang pada 1864 tentang gelombang elektromagnetik yang dapat merambat melalui ruang bebas yang membuat Hertz merasa perlu membuktikan teori Maxwell, dan eksperimen-eksperimen radio yang dilakukan setelah Hertz oleh Tesla, Marconi, dan lain-lain. Terutama kemunculan teknologi phonograph pada 1877. Musik, bagi Sousa, sudah tidak seperti yang ia kenal saat ia kecil, saat ia menghabiskan waktu belajar teori dan praktik berjam-jam hingga menjadi expert, dan musik akan berubah selamanya akibat penemuan mesin yang bisa bernyanyi.

 

Pemberontakan Sousa terhadap mesin-mesin yang bisa bernyanyi lahir dari hidupnya sendiri. Seperti kebanyakan musisi kulit putih Amerika pada zaman itu, Sousa lahir dari keluarga mapan. Ayahnya seorang tokoh terpandang yang berkediaman di Navy Yard di Washington DC, di mana mereka tinggal di dekat barak US Marine Band. Lingkungan ini penuh dengan musisi militer, terutama ketika Sousa masih kecil dan Perang Saudara AS sedang berlangsung. Sousa kecil mendapat guru musik terbaik. Ia masuk US Marine Band di usia 13 tahun dan mendapat "pendidikan musikal dan formal yang baik, serta makanan, pakaian, dan tempat untuk menginap." Esai-esai antiteknologi Sousa ditulis dengan penuh pendekatan emosional dan nostalgia. Hal ini bikin saya tidak bisa tidak membayangkan kehadiran mesin-mesin yang bisa bernyanyi ini seperti orang asing yang merebut mainan kesukaan Sousa sehingga bikin dia jadi tantrum.

 

Dari dua tokoh di atas, kita bisa melihat dua sikap dan perspektif kontras bagaimana peradaban barat memandang teknologi. Sikap dan perspektif ini sesungguhnya dapat kita lihat di dalam komunitas seniman dan kelas pekerja secara umum di dunia barat. Perdebatan dan kritik terus terjadi seiring ilmuwan komputer berupaya mengajari mesin untuk berpikir, sebelum mesin bisa menciptakan karya seni.

 

Ketika membicarakan seniman dan mesin, kita tak bisa tak menyertakan AARON dan Harold Cohen yang fenomenal.


 

Kisah Seniman dan AI yang Berakhir dengan Mati Listrik

 

Memasuki akhir dekade 60-an kita bertemu Marvin Minsky. Marvin adalah salah satu pionir AI, pada Computation: Finite and Infinite Machines ia menulis di tahun 1967 kita sudah memiliki pijakan awal: mesin-mesin bisa belajar untuk memainkan permainan manusia, mereka dapat menangani masalah matematika abstrak (non-numerik) dan bersinggungan dengan ekspresi bahasa sederhana, tipe kecerdasan yang sebelumnya berada di wilayah kecerdasan manusia, "Within a generation, I am convinced, few compartments of intellect will remain outside the machine’s realm—the problems of creating “artificial intelligence” will be substantially solved."

 

Tiga tahun setelah tulisan itu terbit, pioner seni komputer asal Inggris Harold Cohen menciptakan AARON. AARON adalah perangkat lunak yang dapat menghasilkan gambar sendiri. Setelah program itu berjalan, Cohen menciptakan semua karya seninya dengan berkolaborasi bersama AARON. Kamu bisa membaca sendiri motivasinya di The Further Exploits of AARON, tetapi kurang lebih ini yang perlu digarisbawahi: "What I intended by "human-like" was that a program would need to exhibit cognitive capabilities quite like the ones we use ourselves to make and to understand images."

 

Program AARON siap pakai pertama dibuat di Laboratorium AI Stanford. Pada masa itu, pendekatan AI adalah upaya menangkap pengetahuan: pegiat AI memecah aktivitas manusia menjadi serangkaian keputusan yang dirajut menjadi rantai. Rantai keputusan dan tindakan itu menghasilkan sebuah program. Komputer yang membuat keputusan berdasarkan rantai itu adalah "AI."

 

AARON dirancang untuk mengubah pilihan-pilihan garis dan komposisi ke dalam serangkaian aturan yang disusun dalam code. Saat AARON menggambar garis, ia dapat merujuk aturan itu untuk menentukan seperti apa garis berikutnya. Hasilnya bervariasi karena garis awal ditempatkan secara acak. Awalnya, AARON hanya menghasilkan garis-garis dan Cohen mewarnainya. Kode-kode baru dimasukkan dan kemudian AARON dapat mewarnai gambarnya sendiri. Karya-karya Cohen, mulai dari garis hingga komposisi dan warna, dihasilkan berdasarkan algoritme tanpa menghapus peran Cohen sendiri.

 

Sebagai seorang seniman, Cohen tentu tidak tertarik membuat mesin yang otonom. Jika dibandingkan dengan AI-generated-image hari ini, di mana tren AI tampak lebih berfokus pada gagasan keren bahwa mesin bisa mengerjakan segalanya secara otonom, mesin penghasil gambar di era awal seperti AARON berangkat dari gagasan 'mesin sebagai asisten' ketimbang entitas yang dirancang untuk menggantikan manusia. Ada satu baris tentang AARON dalam artikel di AI Magazine yang terasa familier dengan situasi AI penghasil gambar hari ini, "[...] Hasil lukisannya (AARON) terasa menggugah, tapi bukan dengan cara yang menarik, dan meski Cohen senang berinteraksi dengan pengunjung galeri, dia khawatir pertunjukan lukisan buatan mesin mengurangi nilai seni itu sendiri.”

 

Di dalam esai bertajuk On Purpose, Cohen memandang relasi seniman dan mesin didorong terutama oleh tujuan. Tujuan mesin yang bisa menggambar menurut Cohen adalah sesederhana untuk menggambar garis. Dan tujuan garis itu adalah untuk menyusun garis lain. Seiring perkembangannya, pada 2005, Cohen berkata: "Saya pernah membuat lelucon tentang menjadi seniman pertama dalam sejarah yang mengadakan pameran karya baru secara anumerta." Tetapi, pada 2011 ia sepertinya berubah pikiran, ia tak lagi ingin abadi. "Ya, AARON bisa terus-menerus menghasilkan karya sampai tak terbatas," katanya, "Tapi realistisnya, saya curiga AARON akan mati ketika saya mati."

 

Setelah Harold Cohen meninggal, AARON ikut mati gara-gara kena pemadaman listrik akibat badai petir. Terasa seperti cerita sinetron, tapi ini memang benar-benar terjadi.

 

Pencucian Hak Cipta di Balik AI-Generated Images

 

Setelah membicarakan fetish kiamat, bagaimana secara kolektif umat manusia mudah membayangkan bahaya-bahaya yang lahir akibat teknologi, lalu kita juga menelusuri jejak sejarah antara manusia dan mesin, lebih spesifik lagi seniman dan mesin, saya ingin mengajak Anda untuk mempertanyakan hal paling dasar dari perkembangan AI-generated images ini: siapa yang paling diuntungkan dari pengembangan AI-generated images? Apakah Anda, user, orang yang memasukkan prompt ke dalam mesin dan membiarkan mesin memutuskan gambar seperti apa yang akan diciptakan? Atau seniman? Atau pekerja desain? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan menceritakan bagaimana proses saya bekerja sama dengan AI untuk membuat komik.

 

Ketika saya membuat komik ini, hal pertama yang saya lakukan adalah mencari tahu apa cerita yang hendak saya sampaikan di dalam komik ini. Saya membutuhkan premis.

 

Rumah masa kecil saya berada di dekat perumahan yang cukup besar. Di perumahan itu banyak terdapat kucing jalanan, kau bisa melihat mereka berguling-guling iseng di aspal atau meloncat dari pagar ke pagar. Ada empat titik pembuangan sampah publik di perumahan itu, dan di sanalah kucing-kucing liar itu suka nongkrong. Tempat sampah pertama berada di dekat lapangan bola, kedua berada di ujung jalan buntu, ketiga ada di dekat sungai kecil, dan keempat—yang paling besar—berada di belakang masjid yang bersisian dengan pagar pembatas antara kompleks dan kampung. Karena itu tempat sampah publik, bukan hanya petugas kebersihan berseragam yang suka mendatangi tempat sampah tetapi juga pemulung dan kucing.

 

Suatu hari saat saya remaja, pengembang perumahan memutuskan menutup semua tempat sampah publik. Mereka menutup akses masuk dari kampung sebelah ke perumahan serta menaikkan iuran sampah bulanan. Sampah-sampah domestik dikumpulkan di bak sampah di rumah masing-masing, tertutup rapat, dan petugas akan menjemput setiap sore. Rutinitas itu dijalankan secara terukur. Suatu hari sepulang sekolah, saya sadar, populasi kucing liar di perumahan itu menurun amat drastis.

 

Saya mengingat cerita itu saat berhadapan dengan laptop dan memutuskan, itulah premis saya: Kucing dan tempat hidup.

 

Dari premis itu, saya memikirkan tiga kata kunci:

 

  1. Kucing berwarna biru, sebagai protagonis
  2. Kota berdesain atompunk-ish, seperti di game Fallout atau karya-karya komik dalam payung raygun gothic, sebagai ruang tempat kucing tinggal
  3. Dave McKean sebagai basis estetika dan gaya. Pertama, kalau membicarakan mixed media antara digital-tradisional dia OG-nya. Kedua, pendekatannya yang gelap dan rada nyeleneh mungkin akan mengeluarkan visi saya melalui gambar yang akan diproduksi oleh AI


Saya membayangkan komik dengan premis di atas akan digambarkan secara cute, karena itu saya memasukkan ‘claymation’ dan untuk palet warna saya ingin hasilnya tampak tidak terlalu mencolok mata dan tidak terlalu banyak pilihan warna untuk mempersempit pilihan AI dengan harapan hasil gambarnya akan lebih konsisten, ini juga untuk mengantisipasi kemungkinan AI akan mengambil palet yang biasa dipakai Dave McKean. Setelah riset, saya memutuskan untuk memakai palet dari Commodore VIC-20 yang hanya memiliki 16 warna.