Anime dan manga Jepang sering kali menggunakan unsur agama sebagai elemen penting dalam ceritanya. Sebut saja judul-judul populer seperti Enen no Shouboutai dan Noragami, yang memadukan konsep Shinto, dewa-dewa, dan kepercayaan spiritual lainnya. Namun, kehadiran unsur agama ini tidak selalu berarti sebagai sarana dakwah. Sebaliknya, agama dipakai untuk memperkuat cerita dan menarik minat penonton.
Pengaruh agama dalam manga dan anime tidaklah baru. Seni emaki pada periode Heian (794-1185 M) sudah memanfaatkan unsur agama untuk menyampaikan pesan melalui gambar. Biksu Buddha menggunakan seni untuk dakwah, dengan karya-karya seperti Shigisan Engi Emaki yang mengangkat kisah ajaib seorang biarawan. Hingga periode Edo (1603-1868), unsur-unsur agama tetap menjadi bagian dari seni populer, meskipun lebih banyak dikemas dalam bentuk hiburan seperti ukiyo-e.
Pada era modern, manga seperti karya Osamu Tezuka, Buddha, mengangkat cerita spiritual, namun fokus unsur agama dalam anime-manga seperti Monster dan Jujutsu Kaisen lebih sering dipakai sebagai dekorasi cerita, bukan dakwah. Ini membuat cerita terkesan lebih kompleks dan menarik bagi penonton.
Kasus terorisme oleh Aum Shinrikyo pada tahun 1995 menciptakan trauma nasional terhadap sekte agama di Jepang. Hal ini tercermin dalam banyak anime-manga seperti Enen no Shouboutai dan Naruto, di mana sekte-sekte agama digambarkan sebagai kelompok jahat yang menipu pengikutnya demi tujuan yang salah. Meskipun demikian, tidak semua anime-manga menggambarkan agama dalam citra negatif.
Agama dalam anime-manga Jepang berfungsi lebih sebagai elemen estetis untuk menarik penonton, bukan sebagai sarana dakwah. Namun, unsur agama ini mampu menambah kedalaman cerita dan memperluas pandangan spiritual bagi pembaca dan penonton muda, terutama dalam rentang usia 18-25 tahun.