Mengapa Malaikat dalam Film Tidak Ditampilkan Biblically Accurate?

Penjelajah abad ke-15, Christopher Columbus, melaporkan dalam catatan pelayarannya bahwa ia melihat penampakan makhluk-makhluk ajaib berbentuk perempuan cantik berekor ikan di perairan Karibia. Bahkan, desas-desus mengatakan ia sempat ena-ena melepaskan stress akibat melaut bertahun-tahun tanpa bertemu perempuan satupun, bersama makhluk yang disebut putri duyung tersebut!

Terlepas dari kebenarannya, menurut kalian putri duyung yang dilaporkan Columbus ini bule atau orang kulit berwarna?

Pertanyaan yang enggak masuk akal ini sayangnya harus dilontarkan ketika Disney merilis teaser trailer untuk The Little Mermaid yang akan tayang di Mei 2023. Orang-orang heboh karena putri duyung Ariel dimainkan oleh Halle Bailey, seorang aktris dan penyanyi berkulit hitam. Orang-orang white supremacist kebakaran jenggot, marah-marah, sampai tantrum, hingga mengeluarkan tagar #notmyariel karena katanya Halle Bailey tidak sesuai dengan Ariel versi animasi yang keluar di tahun 1989. Sementara, yang berkulit hitam dan pro representasi minoritas bersorak senang atau bahkan menangis haru karena putri Disney favoritnya dimainkan oleh artis yang mirip dengan mereka.

Kontroversi ini malah makin menggaris bawahi pentingnya representasi dalam sinema untuk memperlihatkan bahwa kaum-kaum minoritas juga adalah sesama manusia yang juga punya cerita untuk dipersembahkan kepada dunia. Media, dalam hal ini film, dianggap sebagai cermin masyarakat namun sering kali gagal memotret kaum-kaum minoritas dengan perspektif yang adil. Kelompok-kelompok orang kulit berwarna, perempuan dan LGBT, pemeluk agama dan kaum etnis minoritas, orang yang terlalu gemuk atau terlalu kurus, serta orang-orang difabel kerap jatuh ke peran-peran sampingan, atau terjerumus stereotip yang sempit.

Tokenisme, Stereotip, dan Typecasting

 

Media—televisi, film, dan buku cerita, dan lainnya—memotret orang atau komunitas tertentu. Lalu jadilah representasi. Di Indonesia, media kebanyakan menampilkan pemeran utama berbahasa Indonesia dengan aksen Jakarta dan beragama Islam. Jika ada orang dari suku Jawa, Batak, Cina, Papua, Sunda, atau agama selain Islam, maka karakter ini akan digambarkan secara komikal dan terjerumus sebagai tokoh token yang stereotipikal.

Tokenisme dalam film terindikasi ketika film tersebut menampilkan tokoh dari kaum minoritas hanya untuk pantes-pantes aja, supaya terkesan Bhinneka Tunggal Ika. Pernah dengar kan ungkapan “Token black guys will die first”? Orang kulit hitam di film Barat kerap bertugas jadi punakawan yang ngasih punchline dengan blaccent, lalu mati duluan ketika musuh mulai menyerang. Atau “best gay friends” di romcom seperti Mean Girls (2004) atau serial Sex and The City (1998-2004)? Tugas para gay di sini hanya menjadi sidekick bagi pemeran utama perempuan kulit putih, dan juga lagi-lagi jadi badut punakawan dengan kehidupan seks mereka yang lucu dan memalukan.

Terjerumus ke dalam stereotip juga adalah penyakit industri film. Stereotip adalah asumsi bahwa sekelompok orang akan berperilaku tertentu tergantung identitas ras, etnis, gender, agama, atau identitas seksualnya. Stereotip bisa jadi berbahaya bagi satu kelompok tertentu, terutama jika mereka terlalu sering dipotret secara negatif dan tidak realistis. Misalnya, orang Arab di film-film Barat kerap digambarkan sebagai syekh kaya raya atau teroris berdarah dingin. 

Stereotip juga membuat industri film terjerumus dalam typecasting, yang membuat seorang aktor jadi terjebak ke dalam peran yang merepresentasikan stereotip kelompok identitasnya terus-menerus. Aktor dan komedian keturunan India, Aziz Ansari menulis di The New York Times bahwa ia sering kali ditawari untuk memainkan peran yang didefinisikan oleh etnisitas dengan aksen tertentu yang dianggap “India banget”. Salah satu aktor yang bisa mendobrak typecasting adalah aktor Inggris keturunan India, Dev Patel. Ia mendapatkan nama besar setelah berperan menjadi orang India di film-film Hollywood, namun kemudian mendapatkan peran sebagai tokoh legenda Inggris, Sir Gawain dalam The Green Knight (2021), dan mengeksekusi peran tersebut dengan amat apik. 

Persoalan casting atau pemilihan pemain yang tidak menghormati latar belakang aktor atau tokoh yang diperankan memang kerap jadi masalah. Sering sekali orang kulit putih yang punya akses lebih baik ke industri film serta memenuhi “standar kecantikan” film dipilih untuk memainkan peran-peran orang kulit berwarna. Misalnya, Elizabeth Taylor yang memainkan ratu Mesir kuno Cleopatra di tahun 1963, atau Liam Neeson yang memainkan Ra's al Ghul di The Dark Knight Rises (2012), padahal menurut komik aslinya supervillain ini lahir di suku pengembara padang pasir di jazirah Arab. 

Hollywood juga membuktikan mereka sepertinya tidak bisa membedakan orang Asia Timur, atau tidak peduli dengan keakuratan itu. Memoirs of a Geisha (2005) dikritik karena tidak melibatkan aktris Jepang di peran-peran utamanya. Di dalam negeri, film yang mendapatkan banyak penghargaan, Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (2017) menempatkan Marsha Timothy, perempuan Jakarta keturunan Palembang, Batak, Tionghoa, dan Jerman, untuk memerankan perempuan pedalaman Sumba. Ia dipulas dengan make up kulit gelap dan memerankan perannya dengan aksen yang tidak sempurna. Mencari pemeran yang cocok untuk berakting di film memang proses yang ribet. Namun bukankah keribetan itu akan terbayar jika pembuat film berhasil menemukan sosok yang pas untuk memerankan tokoh dari budaya dan identitasnya sendiri? Tentu saja mencari perempuan Sumba yang mau dan bisa berakting adalah proses yang jauh lebih rumit daripada memulas seorang aktris Jakarta yang sudah punya nama dengan make up kulit gelap. Namun itu bukan berarti tidak dapat dilakukan. Pemilihan eyang Ponco Sutiyem untuk membintangi film Ziarah (2016) dan perempuan suku asli Mexico, Yalitza Aparicio, untuk Roma (2018) adalah salah satu contoh sukses casting yang sensitif representasi, yang memantik pembicaraan tentang keberagaman ketika orang pulang dari bioskop. 

Kabar baiknya

Belakangan ada banyak terobosan untuk memperlihatkan kaum-kaum marjinal dalam peran yang lebih utuh. Pasar sinema Barat mulai menayangkan cerita dengan tokoh-tokoh yang makin beragam. Orang-orang bule juga mulai melawan alergi mereka menonton film-filmn dengan subtitle, sehingga mulai mau terpapar film-film dari luar Hollywood seperti Parasite (2019), film Korea Selatan yang akhirnya memenangkan Best Picture di Academy Awards. Sutradara Latino yang besar di Hollywood, Alfonso Cuarón, juga memborong berbagai penghargaan untuk Roma (2018), film yang diperankan oleh aktor-aktor Meksiko dengan bahasa Spanyol dan Mixteco.

Sebelumnya, di tahun 2011, Peter Dinklage memerankan tokoh sentral Tyrion Lannister dalam drama epic Game of Thrones. Dalam perannya, ia mendobrak stereotip bahwa orang cebol hanya akan menjadi badut sirkus sebagai bahan tertawaan dalam film. 

Pada 2013, anak-anak perempuan melihat perempuan dewasa menjadi astronot dan ilmuwan, sekaligus menjadi ibu tunggal, serta menjadi pemeran utama dalam film ketika Sandra Bullock berperan sebagai Dr. Ryan Stone dalam Gravity.

Pada 2018, anak-anak kulit hitam untuk pertama kalinya punya film superhero yang mirip dengan mereka di layar lebar dan pasar mainstream dengan Black Panther. Untuk pertama kalinya, dunia melihat film yang didominasi aktor kulit hitam, dengan sutradara kulit hitam, serta kru kulit hitam, meraup keuntungan ratusan juta dolar.

Representasi yang kuat dan positif dapat membantu mendobrak stereotip yang kerap membahayakan kelompok tertentu di dunia nyata, serta membatasi peran mereka dalam masyarakat. Ketika sekelompok orang hanya pernah direpresentasikan secara buruk di media, kelompok lain akan menatap kelompok tersebut secara buruk. Mereka juga memandang kelompok mereka sendiri dengan buruk, menciptakan phobia internal yang menyedihkan. 

Sedangkan, representasi positif dapat menciptakan citra diri yang penuh percaya diri, kecintaan terhadap budaya dan identitas kelompoknya, serta menawarkan role model yang baik bagi anak-anak dari kelompok tersebut untuk ditiru. Gadis-gadis kecil kulit hitam yang bersorak senang karena Ariel ditampilkan sebagai putri duyung berkulit hitam adalah contohnya. Dengan adanya representasi positif kelompok mereka di masyarakat, mereka dapat menjadi superhero, astronot, atau putri duyung—siapapun yang mereka mau. Dengan seni dan sinema, semua lapisan masyarakat belajar bahwa kelompok lain adalah juga sesama manusia yang punya cerita untuk dibagikan.

 

Pada kenyataannya

 

Orang-orang ternyata tetap selalu punya cara untuk jadi rasis, misoginis, dan homofobik. Walau alasannya terkesan berlandaskan logika, ajaran moral atau agama, dasarnya tetap saja kebencian kepada suatu kelompok rentan. Hal ini hanya menunjukkan bahwa representasi yang baik sungguh penting demi kedamaian sesama manusia.

Jika orang-orang yang protes bahwa Ariel-nya Halle Bailey tidak persis dengan literatur, ke mana aja mereka ketika Yesus dan malaikat Gabriel, Mikael, Rafael tidak ditampilkan secara biblically accurate?