Mengapa PHK Masih Terus Berlangsung?

Subtitle: Nyalahin ekonomi lagi gonjang-ganjing, aslinya para bos ga bisa mikir~

Tahun 2023 merupakan tahun 'efisiensi' bagi berbagai perusahaan. Badai PHK belum berakhir. Tak terkecuali Meta.

Mark Zuckerberg, CEO Meta, pada Maret lalu menyatakan Meta akan melakukan pemecatan 10 ribu lebih personil dalam waktu dekat. Divisi teknologi yang paling pertama terkena imbasnya, lalu diikuti oleh gelombang pemecatan bulan Mei dari divisi non-teknis, seperti divisi pemasaran, keamanan, dan manajemen proyek. 

Sebelumnya, Zuckerberg telah melakukan PHK gelombang pertama yang terjadi di bulan November 2022. Korbannya 11 ribu orang atau setara 13% dari total pegawai. Lalu pada 19 April, 4 ribu pegawai turut dipecat—bahkan mereka yang menangani Facebook, Instagram, Reality Labs, dan WhatsApp. 

Alasan pemecatan besar-besaran ini akibat mulai runtuhnya pengaruh Facebook di dunia digital. Setelah dua dekade merajai media sosial, pamor Facebook mulai menurun karena TikTok, fitur gawai Apple yang menghalau algoritma iklan untuk bekerja efektif, dan tekanan regulasi. Lebih mengagetkan adalah fakta ia mengakui pernyataan pekerjanya bahwa gelombang pemecatan adalah kesalahan dari pihaknya. Meskipun menurutnya, "adalah hal yang alamiah bahwa perusahaan tidak akan mengalami hypergrowth melulu. Ketika pada titik itu diperlukan momen untuk melakukan perpindahan bisnis."

Meta Pindah Model Bisnis

Meta saat ini memasuki babak baru. Perusahaan ini sedang bekerja keras untuk mengoperasikan bisnis model yang berbeda—ditandai dengan pengetatan anggaran, tidak buru-buru merekrut pekerja, dan melangsingkan manajemen. Selain itu, mereka juga sedang menjalani perubahan model bisnis. 

Sumber pendapatan utama Meta berasal iklan, keluarga aplikasi Meta (Facebook, Instagram, Reality Labs, dan WhatsApp), dan pendapatan-pendapatan lainnya yang tidak disebut. Ada pula ambisi Zuckerberg, yaitu membuat Horizon Worlds, dunia metaverse Meta, sebagai pemimpin bisnis media sosial. Sayang, hal ini tidak kunjung terwujud. Dalam laporan The Wall Street Journal, pengguna aktif Horizon Worlds kurang dari 200 ribu/bulannya dan hanya 9 persen wilayah Horizon Worlds yang pernah dijelajahi.  

Ambisi ini tentunya tak muncul secara tiba-tiba. Ia berawal dari Zuckerberg mengakuisisi Oculus Rift, startup virtual reality. Selain untuk gim, Zuckerberg ingin realita virtual digunakan untuk tujuan pendidikan, lalu berkembang menjadi tempat untuk ngobrol dengan orang lain sambil berbelanja.

Biaya yang dikeluarkan untuk mendulang cuan dari Reality Labs hampir mencapai 14 miliar dollar pada 2022. Sementara biaya divisi riset dan pengembangan (R&D) Meta dalam 3 bulan menghabiskan 9 miliar dollar atau setara dengan 33 persen pendapatan Meta. Dengan kata lain, investasi untuk mengganti model bisnis Meta belum berhasil. Tamparan lainnya adalah perbincangan soal Metaverse dan realitas virtual hanya bisa bertahan selama beberapa bulan saja, sebelum dilupakan oleh publik.

Lalu, karena profit turun dan bisnis tidak berjalan sesuai harapan, jawabannya langsung potong karyawan, gitu?

Para Dewa yang Salah, Tetap Pekerja Bawah Kena Imbasnya

Derek Thompson dari The Atlantic menyebut pemecatan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar seperti Meta, Google, Amazon, Microsoft, Twitter, Warner Bros dan firma konsultasi Big Four (PwC, EY, KPMG, dan Deloitte) punya pola yang seragam. Pola ini juga terulang di startup Indonesia—sebut saja Shopee, Tokopedia, Bibit. 

Pertanyaannya kemudian adalah apa yang sedang terjadi sebenarnya, apakah betul hanya karena kondisi ekonomi yang menurun sejak pandemi?

Barangkali sebabnya adalah eksekutif dan investor usaha digital menganggap pandemi bisa sepenuhnya mengubah kebiasaan orang-orang untuk berbelanja, menonton, dan melakukan olahraga secara daring. Pandemi menjadi ladang basah ‘akselerasi digitalisasi’ masyarakat. Padahal itu semua hanyalah gelembung yang tinggal menunggu pecah. Pun pecahnya sudah terjadi sejak tahun lalu dan terus bertahan sampai kini. 

Ini juga diperparah dengan kondisi ekonomi dunia yang sedang tidak baik-baik saja. Suku bunga rendah yang diberikan oleh pandemi membuat para investor ‘membuang uang’ di perusahaan-perusahaan yang memiliki narasi ‘valued-growth’—atau dalam kata lain, perusahaan teknologi. Ketika inflasi dan suku bunga meningkat, perusahaan jangka panjang akan berada dalam masalah. 

Alasan berikutnya adalah karena adanya perlambatan di sektor periklanan. Efek ini paling terasa sejak Apple menghadirkan fitur do not track me yang membuat penargetan iklan semakin tidak efisien. Terakhir, para pemilik bisnis hanya mengikuti apa yang dilakukan juga oleh pemilik bisnis lainnya. Bayangkan Anda bekerja di perusahaan teknologi atau agensi dan ada 10 kompetitor. Pada suatu waktu, 7 kompetitor melakukan pemecatan bertahap terhadap pekerjanya, besar kemungkinan Anda juga akan terkena imbas pemecatan. 

Namun hanya karena profit perusahaan menurun sementara jumlah pekerja terlalu banyak, bukan berarti perusahaan harus melakukan PHK. Setidaknya ini pandangan yang dipegang oleh Jeffrey Pfeffer, profesor bisnis Stanford. Komentarnya terhadap pemecatan Meta:  “Apakah Meta kelebihan pekerja? Mungkin. Tapi apa kelebihan ini membuat Meta memecat mereka? Jelas tidak. Meta masih mencetak keuntungan. Justru Meta melakukan itu karena ikut-ikutan perusahaan lain yang sedang getol memecat pekerja.”

Hal ini senada dengan Annie Lowrey yang melihat tindakan latah ini sebagai alasan untuk mengurangi tenaga kerja. Bukan karena tak ada pilihan lain, tapi hanya karena  'harus melakukan' pemecatan.

Melakukan pemecatan ketika banyak perusahaan melakukan hal yang serupa membuat mereka terhindar dari pengawasan publik. Masyarakat jadi memaklumi pemecatan ini sebagai imbas dari kondisi ekonomi/tidak mampu bersaing dengan kompetitor/dan alasan-alasan lainnya. Sementara kalau hanya satu perusahaan yang melakukan pemecatan, kemungkinan besar perusahaan tersebut akan dinilai tidak mampu mengelola bisnis atau bermasalah. 

Tindakan ikut-ikutan PHK  juga menjadi alasan para eksekutif untuk tidak mengevaluasi strategi bisnis mereka. Tindakan ini juga melimpahkan kesalahan ke faktor luar, alih-alih secara jujur menyebutkan kekurangan dari strategi bisnis dan/atau tenaga kerja yang direkrut. Implikasinya pekerja akan menyalahkan faktor-faktor luar atas nasib buruknya, alih-alih memprotes dan menyalahkan atasan mereka.

Lebih lanjut, Lowrey dan Pfeffer setuju PHK sebetulnya menghambat kinerja para pekerja yang tidak terdampak, menambah pengeluaran perusahaan karena harus mengeluarkan pesangon, serta tidak meningkatkan keuntungan dan valuasi perusahaan karena adanya kekosongan pengetahuan. 

Seharusnya pemecatan hanya dilakukan ketika adanya kontraksi ekonomi yang cukup parah. Lebih bagus lagi kalau tidak merekrut pekerja jangka pendek atau malah memberi apresiasi terhadap pekerja ketika banyak perusahaan lain melakukan PHK terhadap pekerjanya.