Mengawal Serikat Dosen

Untuk waktu yang lama, peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day selalu identik dengan perjuangan kaum buruh lewat serikatnya. Di Indonesia, ada anggapan bahwa buruh cenderung merujuk kepada pekerja kerah biru.

Akan tetapi, beberapa tahun belakangan, pekerja profesional atau kerah putih juga mulai berteriak kencang atas ketidakadilan yang mereka alami dan turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi dan suara. Pada tahun 2017, para pekerja media dan industri kreatif membentuk Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi). Pendiriannya didasarkan pada kesadaran atas kerentanan ketenagakerjaan yang mereka alami terlebih di era perkembangan ekonomi digital. Serikat diharapkan bisa menjadi medium untuk saling mendukung dan menjadi jaring pengaman bagi pekerja media dan industri kreatif yang saat ini notabene diisi oleh kaum muda.

Keinginan untuk berserikat ini mulai menjalar ke profesi lain. Pada May Day tahun ini, para dosen juga mulai merapatkan barisan untuk membentuk serikat yang menaungi mereka. Ajakan ini dilontarkan oleh akademisi yang tergabung dalam Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) pada 29 April 2023.

KIKA menegaskan bahwa dosen adalah buruh. Sebagai buruh, para dosen harus berserikat agar suara disampaikan dalam satu wadah bersama yang bisa menjadi daya tawar bersama. Beberapa persoalan dosen yang disorot oleh KIKA adalah perjuangan atas kesejahteraan, kebebasan akademik, dan penolakan terhadap Peraturan Menteri Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PermenPANRB) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional.

Regulasi yang disebut terakhir mengubah tugas dosen yang awalnya menjalankan tugas sebagai individu, menjadi bagian dari tujuan institusinya. Dalam penyesuaian ke kebijakan baru ini, perguruan tinggi wajib mengakumulasi kinerja dosen yang telah diperoleh selama ini dengan batas waktu pengunggahan sampai 30 Juni 2023.

Aturan yang diresmikan pada bulan Maret sempat menuai kontroversi. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi (Dirjen Dikti Ristek) mewajibkan para dosen menginput ulang data tridarma yang sangat banyak ke dalam sistem baru. Waktunya sangat mepet dengan deadline 15 April 2023, sebelum akhirnya diundur menjadi 15 Mei 2023 setelah ada protes yang masif dari para dosen. Lalu sanksi apabila tidak menunaikan hal tersebut dirasa sangat tidak adil, yaitu hangusnya semua data yang selama ini telah diinput ke sistem sebelumnya. Para dosen merasa semakin dipersulit dengan urusan administrasi dan sistem aplikasi pemerintah yang terlalu banyak dan tidak terintegrasi.

KIKA melihat serikat bisa menjadi alat perjuangan bagi para dosen untuk mencapai tujuan-tujuan yang berpihak kepada dosen. Hal ini senada dengan riset Potret Kesejahteraan Dosen yang diselenggarakan oleh tim dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Mataram, dan Universitas Indonesia. Riset ini merekomendasikan pembentukan serikat dosen mengingat saat ini perlindungan dan perjuangan kolektif untuk dosen masih lemah. Tim telah melakukan survei pada 1.300 akademisi di Indonesia. Sebanyak 87,5 persen responden menilai, serikat dosen diperlukan sebagai medium kolektif untuk menciptakan relasi ketenagakerjaan yang lebih baik.

Sengkarut Persoalan Dosen

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2021 terdapat 311.642 dosen di Indonesia. Secara rinci, ada 265.452 dosen di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan 46.190 dosen yang dinaungi Kementerian Agama (Kemenag). Adapun provinsi yang paling banyak memiliki dosen adalah Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara.


Grafik 1. Jumlah Dosen di Indonesia 2021 (Sumber: BPS)

Grafik 2. Top 5 Provinsi dengan Jumlah Dosen Terbanyak 2021 (Sumber: BPS)
Meski berjumlah banyak, tetapi para dosen belum pernah membicarakan persoalan yang menimpa mereka secara kolektif. Biasanya disampaikan secara pribadi lewat opini di media massa ataupun dalam pembahasan terbatas. Hal ini berbeda dengan para guru yang lebih terbuka dan aktif secara bersama memperjuangkan hak mereka.

Apa saja persoalan yang dihadapi oleh para dosen? Seperti yang disampaikan oleh KIKA, kemelut yang mereka hadapi sebenarnya hal-hal basic dan klasik. Seperti kesejahteraan, kebebasan akademik, serta tidak direpotkan oleh hal-hal administrasi yang muluk-muluk.

Persoalan utama, crème de la creme dari sengkarut ini adalah perihal kesejahteraan. Untuk menjadi dosen, seseorang minimal harus berpendidikan S-2. Dosen lulusan S2 pun didorong untuk segera mengambil S3. Biaya S2 dan S3 tidaklah murah, kecuali anda berhasil mendapatkan beasiswa. Banyak yang menilai bahwa lulusan S2 dan S3 tentu akan dihargai dengan gaji yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang lulusan S1. Anggapan itu ternyata tidak benar, masih banyak dosen yang bergumul dengan urusan kesejahteraan.

Masih dari bagian riset Potret Kesejahteraan Dosen, Dosen Universitas Indonesia Kanti Pertiwi memaparkan hasil survei dari 1.300 responden tentang rata-rata gaji dosen di Indonesia. Hasilnya, gaji dosen di Indonesia hanya berkisar antara Rp2 juta hingga Rp5 juta per bulan. Beberapa mendapatkan penghasilan tambahan dengan menjadi pejabat struktural di kampusnya masing-masing.

Dosen yang baru berkarier dinilai yang paling rentan dengan masalah kesejahteraan. Mereka biasanya berada di rentang gaji Rp 2–3 juta, di mana biasanya dosen muda ini juga baru mulai membangun rumah tangga dengan segala tetek bengeknya. Sementara para dosen yang memiliki pendapatan di atas 5 juta, biasanya memiliki pendapatan di luar profesi dosen dengan menjadi konsultan, tenaga ahli, guru bimbingan belajar, bahasa asing, hingga ada yang membuka usaha sendiri dan berdagang. Pendapatan besar tidak didapat dari profesinya sebagai dosen. Sementara, peneliti di Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Milda Istiqomah mengungkapkan, hanya ada 9 persen dosen di Indonesia yang menerima gaji lebih dari lima juta rupiah per bulannya.

Secara pribadi, saya juga pernah mendapat offering gaji dosen tetap non PNS di salah satu universitas negeri di Sumatera, di mana gaji yang ditawarkan saat itu (2015) adalah Rp 2,5 juta/bulan tanpa ada tunjangan tambahan. Statusnya pun sebagai dosen tetap non PNS, tetapi kontrak diperbarui setiap dua tahun sekali.

Hal ini berbeda sekali dengan perusahaan swasta di mana pegawai tetap adalah mereka yang bekerja hingga usia pensiun tanpa harus ada perpanjangan kontrak secara berkala. Selain itu tidak ada benefit seperti tunjangan hari raya (THR), bonus, jaminan kesehatan ataupun jaminan pensiun seperti yag ditawarkan oleh perusahaan swasta.

Persoalan kedua adalah masalah administrasi. Keruwetan administrasi yang disebabkan oleh negara sudah tampak dalam implementasi PermenPANRB 1/2023 seperti yang dijelaskan di atas. Akan tetapi di dalam kampus sendiri, dosen muda kerap kali menjadi “korban” untuk menyelesaikan hal-hal yang menyangkut administrasi. Kanti menyampaikan dosen muda banyak mengeluh karena harus mengerjakan pekerjaan administrasi dan menjadi panitia dalam berbagai kegiatan kampus. Selain itu, banyak dari mereka yang harus mengurus jurnal dengan kompensasi yang minim. Karena persoalan administrasi ini, beban dosen jadi menumpuk di samping pekerjaan mereka untuk mengajar, meneliti, dan mengabdi pada masyarakat.

Persoalan ketiga adalah kebebasan akademik. Pada 2022, Amnesty International Indonesia merilis laporan bahwa pada Januari 2019 hingga Mei 2022 terdapat 64 orang dan 5 lembaga yang menjadi korban dari serangan terhadap kebebasan akademik. Serangan yang dialami berupa serangan digital, intimidasi/kecaman, kriminalisasi, sanksi dari universitas, penahanan, dan penganiayaan.

Dalam laporannya Amnesty International Indonesia mengambil definisi kebebasan akademik sebagai kebebasan seseorang sebagai anggota komunitas akademik (mahasiswa, pengajar, akademisi, staf, bagian administrasi dsb) untuk melakukan aktivitas yang melibatkan penemuan dan penyebaran informasi dan gagasan yang dilindungi secara penuh dalam hukum hak asasi manusia.


Grafik 3. Serangan Kebebasan Akademik Jan 2019-Mei 2022 (Sumber: Amnesty International Indonesia)

Grafik 4. Jenis Serangan Kebebasan Akademik Jan 2019-Mei 2022 (Sumber: Amnesty International Indonesia)
Meruntuhkan Pengkotak-kotakan Pekerja

Wacana pembentukan serikat dosen diawali dengan sebuah kesadaran penting bahwa dosen adalah buruh. Di Twitter, para dosen menggunakan tagar #SayaDosenSayaBuruh untuk mengkampanyekan hal ini. Tagar tersebut terkesan ingin meruntuhkan pengkotak-kotakan pekerja di Indonesia.

Beberapa tahun lalu, seorang teman kantor saya pernah berkata bahwa ia sebagai pegawai kantoran berbeda dengan buruh. Dari pernyataannya ada kesan bahwa pegawai kantoran memiliki level di atas buruh, di mana buruh lekat dengan para pekerja kerah biru atau mereka yang bekerja menggunakan tenaga alias pekerja kasar.

Pernyataan rekan tersebut sebenarnya membuat saya terkejut. Sebab saya melihat hubungan kerja dalam kerangka oposisi biner. Yang memiliki modal disebut pemilik modal, sedangkan mereka yang digaji oleh pemilik modal apapun posisi dan jabatannya tetaplah buruh. Bila merujuk secara legal ke Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, buruh didefinisikan sebagai setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Pengkotak-kotakan pekerja tersebut tidak datang dari ruang kosong. Saat Indonesia masih baru merdeka, kata buruh mendapat penghargaan tinggi bahkan disematkan sebagai nama Kementerian. Kementerian Perburuhan dibentuk pada 3 Juli 1947. Akan tetapi, saat Soeharto naik menjadi presiden dengan sentimen Anti Komunisme, ia mengganti nama Kementerian Perburuhan menjadi Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi. Soeharto pun mengganti kata buruh sebagai tenaga kerja sesuai dengan semangat pembangunan kapitalistik yang dibawanya.

1 Mei 1966 adalah senjakala peringatan hari buruh internasional di Indonesia pada abad 20. Di era pemerintahan Soeharto, ia melarang peringatan May Day karena merupakan perayaan kaum komunis. Serikat buruh pun mulai banyak yang mengganti namanya menjadi serikat pekerja agar aman dari berbagai ancaman.

Gerakan buruh memang berhulu dari gerakan sosialis yang tidak lepas dari cerita-cerita kaum marjinal seperti buruh pabrik, buruh tani, buruh bangunan, kuli, dan lain sebagainya. Dus, pelabelan buruh sebagai komunis dan pekerja kasar selama hampir tiga dekade membuat orang-orang memisahkan diri dari label tersebut terutama mereka yang bekerja di kantor dan mengandalkan intelektualitas. Meski demikian, di era reformasi, negara kembali mengakui peringatan May Day di rezim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2013 dan resmi ditetapkan sebagai hari libur nasional.

Oleh karenanya, tagar #SayaDosenSayaBuruh menjadi sebuah terobosan kampanye ketenagakerjaan untuk meruntuhkan pengkotak-kotakan jenis pekerja yang telah berlangsung lama, antara yang menggunakan otot dan yang menggunakan otak. Sehingga fokus utamanya adalah bagaimana para buruh bisa bersatu secara kolektif untuk memperjuangkan hak-haknya untuk mendapatkan perlakuan dan penghargaan yang baik dan layak.

Pantauan Media

Berdasarkan pantauan Newstensity, selama periode 26 April hingga 3 Mei 2023, ada 61 berita yang menyebutkan tentang wacana pembentukan serikat dosen. Puncak pemberitaan terjadi pada 1 Mei dan 2 Mei yang masing-masing merupakan Hari Buruh Internasional dan Hari Pendidikan Nasional. Media mengambil momentum dua peringatan tersebut untuk menaikkan isu ini.


Grafik 5. Lini Masa Pemberitaan terkait Wacana Pembentukan Serikat Dosen (Sumber: Newstensity)
Berdasarkan analisis artificial intelligence (AI) sentimen pemberitaan didominasi dengan sentimen positif sebanyak 84 persen. Sentimen positif mencakup berita-berita yang mendukung pembentukan serika dosen, misalnya seperti yang diterbitkan antaranews.com pada 1 Mei 2023 dengan judul “Akademisi: Momen Hari Buruh tepat perjuangkan kesejahteraan kolektif”. Sedangkan sentimen negatif sebanyak 15 persen. Di antaranya menyinggung gaji dosen yang kurang layak seperti yang dipublikasi oleh sinarharapan.co dengan tajuk “Peneliti LP3ES: Sebanyak 91% Dosen Terima Gaji di Bawah Rp 5 Juta Per Bulan”.


Grafik 6. Sentimen Pemberitaan terkait Wacana Pembentukan Serikat Dosen (Sumber: Newstensity)
Narasumber yang paling banyak disebut adalah Dosen Universitas Indonesia Kanti Pratiwi dan Peneliti LP3ES Milda Istiqomal. Keduanya fokus membahas besaran gaji yang diterima oleh dosen di Indonesia. Selain itu ada juga, Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia Vina Adriany yang menekankan pentingnya berserikat bagi para dosen. Kemudian, ada juga akademisi Universitas Krisnadwipayana Bekasi Abdullah Sumrahadi yang berharap pendirian serikat dosen ini bukan hanya sekadar wacana.


Grafik 7. KOL terkait Wacana Pembentukan Serikat Dosen (Sumber: Newstensity)
Berdasarkan analisis word cloud, gaji masih menjadi perbincangan utama yang dibahas dalam topik serikat dosen. Hal itu terlihat dari kata juta, gaji, digaji, Rp yang kerap muncul.


Grafik 8. Word Cloud Analysis terkait Wacana Pembentukan Serikat Dosen (Sumber: Newstensity)
Bila dilihat dari pesebaran berita, isu serikat dosen masih hanya menarik bagi media-media yang ada di pulau Jawa. DKI Jakarta menjadi episentrum publikasi dengan total 45 berita.


Grafik 8. Word Cloud Analysis terkait Wacana Pembentukan Serikat Dosen (Sumber: Newstensity)
Walau tidak menjadi percakapan yang besar, wacana serikat dosen juga digaungkan di Twitter. Berdasarkan pantauan Socindex pada 27 April — 3 Mei 2023 dengan menggunakan kata kunci “serikat dosen”, “dosen buruh”, serta tagar #SayaDosenSayaBuruh, isu ini mendapatkan 3.353 engagement. Jumlah percakapannya juga lumayan kecil yakni 676 percakapan. Meski demikian, potensi isu ini tersebar di lini masa pengguna Twitter cukup besar yakni 15,4 juta akun (buzz reach).


Grafik 9. Statistik Twitter terkait Wacana Pembentukan Serikat Dosen (Sumber: Socindex)
Engagement tertinggi di Twitter terjadi pada 1 Mei 2023 atau May Day dengan total 2.949 engagement.


Grafik 10. Lini Masa Percakapan terkait Wacana Pembentukan Serikat Dosen (Sumber: Socindex)
Top retweet untuk isu ini adalah akun @milikandi, @warungsastra, @conversationIDN, @KaukusAkademisi, dan @nabiylarisfa. Akun-akun tersebut menyampaiakn ucapan hari buruh termasuk untuk para dosen atau menekankan urgensi berserikat bagi para dosen.


Grafik 11. Top Retweet Twitter terkait Wacana Pembentukan Serikat Dosen (Sumber: Socindex)
EPILOG

Melihat statistik di media massa dan media sosial Twitter, wacana tentang serikat dosen memang masih belum terlalu banyak dibicarakan. Pun, wacana ini bisa naik karena ada momentum Hari Buruh Internasional dan Hari Pendidikan. Harapannya, intensitas percakapan bisa lebih meningkat dan berkelanjutan sehingga awareness tentang perjuangan dosen lewat serikat bisa semakin luas di masyarakat, khususnya di kalangan dosen sendiri.

Serikat Dosen
May Day
Studi Kasus
Media Monitoring
Social Listening