Hujan dan awan gelap menyelimuti Madison Square Park, tapi hari kelabu tidak menghalangi para fans untuk berkumpul di bawah payung berwarna aqua. Hari itu, 16 Desember 2018, mereka berkumpul untuk merayakan setahun kepergian sang idola, Jonghyun dari SHINee. Jonghyun yang saat itu berumur 27 tahun meregang nyawa di apartemen setelah mengirim catatan bunuh diri ke kakaknya.
Bagi para Shawol (fans SHINee) yang berkumpul di sana, kematian Jonghyun terasa begitu dekat dan personal. East Coast Kpop Outlet (ECKO) sebagai organisator paham betul akan hal ini. Mereka mengadakan acara peringatan ini sebagai ruang bagi fans untuk berkumpul dan menguatkan satu sama lain.
Emilee Lasoski kepada Billboard menyatakan kematian Jonghyun sangat mengguncang kondisi mentalnya. “Ketika kamu kehilangan seseorang yang penting untukmu, kamu seperti merasa tidak tahu apa yang harus kamu lakukan,” ucapnya. “Ketika dia [Jonghyun] meninggal, aku tidak bisa mendengarkan lagu mereka, aku tidak bisa melihat mereka. Rasanya sakit sekali.” Setahun setelah kematiannya, Lasoski bisa mendengarkan beberapa lagu dari album anumertanya yang berjudul Poet | Artist, tapi tidak bisa mendengarkan seluruh lagunya dan Replay, single debut mereka.
Sayangnya, kematian Jonghyun bukanlah tragedi pertama atau terakhir yang menerpa industri K-pop.
Linimasa tragedi idola K-pop
U;Nee, 2007
U;Nee yang bernama asli Hur Youn pertama kali tampil di layar kaca dalam drama KBS Grown-ups Just Don’t Understand pada 1996. Karier aktingnya terus menanjak hingga ia mengubah haluan kariernya menjadi idola K-pop pada 2003 dibawah naungan J’S Entertainment.
Bukan rahasia umum jika industri K-pop sangat erat dengan eksploitasi dan tekanan berat. Manajemen mengikat para idolanya dengan kontrak ketat yang mengatur bagaimana mereka bersikap dan menampilkan diri. J’S Entertainment bukan pengecualian.
Setelah single barunya, “Go” (2003) mendapat perhatian positif dari media dan publik, agensinya mengubah imej U;Nee sebagai penyanyi seksi beraliran R&B. Transformasinya meliputi operasi plastik di rahang dan hidung serta pembesaran payudara. Sayangnya usaha pemasaran ini malah menjadi bumerang bagi U;Nee. Ia diserang warganet yang menganggap imej barunya “terlalu seksi”.
U;Nee yang aslinya memiliki kepribadian tertutup sangat terpukul oleh hujatan warganet. Depresi yang diidapnya sebelum menjadi idola kpop bertambah parah. Tekanan dan pukulan yang teramat besar ini membuatnya gantung diri pada 21 Januari 2007.
U;Nee baru berumur 25 tahun ketika tutup usia.
Ahn Sojin, 2015
Kompetisi yang harus dilalui trainee untuk mendapatkan tempat di sebuah grup sangatlah ketat. Tak jarang jalan mereka pupus di tengah jalan karena perubahan formasi atau pergantian konsep. Ketatnya kompetisi ini bahkan dijadikan konsumsi publik lewat acara kompetisi trainee. Memang, acara seperti ini bisa meningkatkan kesadaran publik serta menjaring fans baru. Tapi ia juga memberikan tekanan baru dan membuat trainee rawan didera cyberbullying.
Ahn Sojin adalah salah satu trainee yang terlibat dalam kompetisi. Ia dan enam kontestan lainnya terlibat dalam kompetisi Kara Project untuk menggantikan eks-anggota KARA Nicole dan Jiyoung. Selama kompetisi berlangsung, Sojin ditunjuk menjadi leader dan digadang-gadang sebagai kontestan terkuat yang akan menjadi bagian dari KARA.
Namun para penonton lebih memilih Youngji sebagai anggota baru KARA. Di akhir acara, Sojin mengucapkan, “Mottoku adalah hidup dengan bahagia. Semua rasa sakit dan kesulitan yang aku lalui nantinya akan kukenang sebagai momen-momen kebahagiaan.”
Sayang, mimpi Sojin untuk menjadi bagian dari girl group kandas di tengah jalan. Pada Januari 2015, tujuh bulan setelah acara berakhir, DSP Management memutuskan kontraknya. Ia juga tidak menjadi bagian dari April, girl group baru besutan DSP Ent..
Sebulan setelahnya, Sojin ditemukan bunuh diri. Ia dilarikan ke rumah sakit tapi tidak tertolong. Ia tutup usia di umur 22 tahun.
Tragedi ini menyulut diskusi kritis soal betapa keras dan tidak adilnya kehidupan trainee. Kpopstarz melaporkan daftar anggota yang akan debut sering berbeda. Trainee juga harus berjuang mati-matian untuk bertahan karena agensi tidak membayar mereka sepeserpun. Periode training yang lama juga tidak menjadi kepastian seseorang untuk debut, seperti yang terjadi ke Sojin. Ia sudah menjadi trainee selama lima tahun, tapi agensinya tidak memasukkannya ke grup baru dan memutuskan kontraknya secara sepihak.
Kim Jonghyun, 2017
Depresi menjadi topik yang sering dibicarakan dalam K-pop. Beberapa artis terbuka dengan depresi dan gangguan cemas yang mereka alami, lewat curhat di reality show atau lirik lagu. Jonghyun SHINee adalah salah satunya.
Kala isu kesehatan mental dianggap aib, Jonghyun secara terbuka menceritakan tentang perjuangannya melawan depresi, rasa bersalah, dan inferioritas serta ketidakteraturan jadwalnya sebagai idola. Kala masyarakat tidak paham soal pentingnya memberikan ruang untuk orang lain, Jonghyun melakukannya kepada anggota band.
Jonghyun adalah bagian dari SHINee, boy group besutan salah satu agensi terbesar Korea Selatan, SM Entertainment. Musik, koreografi, dan fesyen SHINee yang upbeat berhasil menarik banyak fans muda. Tak butuh waktu lama bagi SHINee untuk merambah pasar internasional, ditandai dengan kontrak bersama EMI Records Jepang dan tur dunia yang meliputi Jepang, New York, dan Paris pada 2011-2012.
Ketenaran di kancah internasional adalah pedang bermata dua. Banyak yang bermimpi untuk menjadi idola papan atas, tapi sedikit yang bisa bertahan dengan tekanan luar biasanya. Kepada Esquire, Jonghyun menceritakan betapa menyiksanya jadwal yang tidak teratur, perjalanan panjang, dan tempat asing—semuanya efek samping dari menjadi idola kelas dunia.
Dalam wawancara yang sama, Jonghyun menceritakan bagaimana Blue Night, acara radio personalnya menjadi tempat untuk berlindung dari kerasnya dunia idola. “Aku pikir menjadi host radio sulit untuk dilakukan. [Menjadi host radio] tidak cocok dengan kepribadianku. Tapi setelah seminggu melakukan ini, aku menjadi sangat senang dengan perasaan berada di dalam studio setiap hari di jam yang sama.” ucapnya kepada Shin Kijoo, jurnalis yang menemani acara radio Jonghyun selama tiga tahun, dan Jung Woosung. “Mungkin aku datang ke radio untuk kabur [dari kehidupan idola]. Aku tidak suka keluar rumah. Dan aku juga tidak suka bertemu banyak orang. Namun radio ini rasanya sudah menjadi ruang pribadiku. Radio menjadi tempat pengungsian mentalku, tapi ia juga menyelimutiku dengan kelelahan fisik. Bisa dibilang ia menjadi tempat diisi dengan cinta dan kebencian.”
Sembilan bulan setelah Jonghyun mundur dari radio Blue Night, ia mengirimkan catatan panjang tentang perasaan depresi dan inferioritas yang menghantuinya ke temannya, Nine9.
“Hatiku hancur.
Depresi perlahan mengoyak-ngoyakku, hingga akhirnya melahapku sepenuhnya.
Aku tak bisa melawan negativitas ini.”
(Baca surat lengkapnya di sini).
Dua minggu setelahnya, Jonghyun ditemukan tak sadarkan diri di apartemennya. Kakaknya yang mendapatkan pesan mencurigakan dari Jonghyun langsung menelepon polisi. Ia ditemukan tak sadarkan diri dan segera dilarikan ke rumah sakit, tapi tidak terselamatkan.
Jonghyun meninggal dunia di usia 27 tahun.
Kematian Jonghyun mengguncang fans K-pop seluruh dunia. Banyak yang mencurahkan rasa sedih yang teramat dalam dan terkoyak-koyak karena ditinggalkan sang idola. Melihat besarnya efek kasus ini, dokter dan praktisi kesehatan mental lainnya khawatir akan akan potensi copycat suicide. Into The Light, organisasi advokasi pencegahan bunuh diri menghimbau fans, keluarga, dan media untuk tetap tegar dan tidak memberikan stigma terhadap kematian Jonghyun beserta efeknya.
Hingga sekarang kematian Jonghyun tetap dirayakan lewat acara peringatan, konser, eksibisi seni, dan komentar SHINee yang terus menyebut band mereka memiliki lima anggota.
Sulli, 2019
Mayoritas artis K-pop meniti karier sejak belia. Mereka berlatih sampai malam di agensi ketika teman-teman mereka nongkrong atau belajar di tempat les. Seringkali mereka debut di usia 16-18 tahun, tak jarang ada juga yang baru debut di usia awal 20an. Namun hal yang sama tak terjadi ke Sulli, nama asli Choi Jinri. Ia menjajaki dunia entertainment dari usia 11 tahun sebagai aktris anak di drama Ballad of Seodong (2005).
Dewi Fortuna terus mengikuti Sulli. Pada 2005, ia terpilih sebagai trainee S.M. Entertainment. Ia tinggal di asrama bersama Taeyeon dan Tiffany Girls’ Generation sampai girl group tersebut debut pada 2007. Dua tahun setelahnya ia debut di girl group f(x) bersama Amber, Krystal, Victoria, dan Luna.
Tahun-tahun berikutnya dihiasi dengan karier Sulli yang terus menanjak. Ia tak hanya mengeluarkan beberapa album studio dan melakukan tur bersama f(x) di SXSW di 2013, tapi juga membintangi drama sukses, To The Beautiful You (2012). Sulli juga dilantik sebagai brand ambassador makeup Etude House bersama Krystal. Di tengah puncak karier, Sulli memutuskan untuk hiatus dari dunia entertainment setelah rumornya berpacaran dengan Choiza dari Dynamic Duo merebak ke publik. Setahun setelahnya, Sulli memutuskan untuk keluar dari f(x) dan memilih fokus di dunia akting.
Saat itu fans tidak tahu kenapa Sulli keluar dari f(x). Spekulasi yang muncul: Sulli tidak kuat dengan komentar jahat netizen, tidak kuat dengan tekanan dunia idola, dan masih banyak lagi. Alasan sebenarnya baru diketahui beberapa tahun setelah Sulli keluar dari f(x).
Kepada manajernya ia berkata “Aku sudah aktif [di dunia entertainment] sejak muda, jadi tidak banyak orang yang menganggapku sebagai anak muda. Ada banyak sekali momen-momen menakutkan. Kalau mereka menyuruhku untuk melakukan sesuatu, aku akan melakukannya, padahal aku tidak tahu kenapa aku harus melakukannya. Tidak ada yang mendengarkanku. Aku merasa sendirian.”
Hidup yang terasing dan tidak teratur sebagai idola juga diutarakan oleh Sulli. Perasaan ini baru muncul setelah syuting Jinri Market (2018), sebuah reality show di mana ia membuka tokonya sendiri. Kepada Grazia ia mengatakan: “Acara ini membawaku yang selalu di rumah melihat dunia luar. Aku selalu merasa takut bertemu orang baru; aku tipe yang bahkan takut hal-hal kecil. Ketika syuting Jinri Market, aku harus terus pergi keluar seolah aku harus pergi kerja, aku harus melakukan tanggung jawabku karena aku terus rapat. Rasanya aku seperti pekerja kantoran. Aku suka hidup reguler.”
Menariknya acara Jinri Market dibuat untuk melawan komentar dan persepsi negatif yang dilayangkan ke sang aktris. Produsernya mengatakan publik punya kesalahpahaman yang besar terhadap Sulli; kalau saja publik bisa melihat dunia dari sudut pandangnya, mereka akan lebih paham tentang dirinya.
Ketidakpahaman publik datang dari betapa jujur dan terbukanya Sulli. Ia meluncurkan gerakan tidak memakai bra di Korea Selatan, mendukung revisi UU aborsi, memposting foto mabuk di Instagram, dan memanggil aktor lebih tua dengan nama depan. Hujatan yang diterima oleh Sulli karena menjadi dirinya sendiri menunjukkan betapa munafiknya kultur misogini K-pop dan Korea Selatan: mereka menuntut perempuan—baik perempuan biasa maupun idola—untuk menjadi perawan tapi di saat yang bersamaan seksi dan sensual.
Meski terlihat cuek, semua tekanan dan perundungan pada akhirnya mematahkan semangat hidupnya. Pada 14 Oktober 2019, Sulli gantung diri di rumah. Ia masih berusia 25 tahun.
Kematiannya memiliki efek yang sama besarnya dengan Jonghyun. Peristiwa ini tak hanya mengundang diskusi tentang betapa buruknya kondisi industri dan jahatnya netizen, tapi juga membawa perbincangan serius tentang misoginisme Korea Selatan.
Permasalahan ini juga diutarakan oleh Amber, mantan anggota f(x), setahun setelah Sulli meninggal. “Seharusnya orang-orang membiarkannya untuk hidup sesukanya, biarkan dia menjadi artis, biarkan dia menjadi aktris,” katanya ke CBS This Morning. “Lagipula itulah arti seni; sebuah ekspresi. Kamu tak bisa terus mengharapkan hal yang sama dari orang yang sama.”
Goo Hara, 2019
Misoginisme yang sama juga mengklaim Goo Hara. Artis yang lebih dikenal sebagai “Hara” adalah bagian dari girl group KARA, girl group Korea pertama yang berhasil terkenal di Jepang. Besarnya nama KARA di Jepang membuat Hara berkesempatan untuk berkolaborasi dengan musisi Fukuyama Masaharu.
Secara karier, Hara terhitung sangat sukses. Selain aktif tur Jepang-Korea dengan KARA, ia juga memiliki proyek menyanyi solo, akting, dan memandu acara. Namun jalan yang ditempuh Hara jauh dari kata mulus. Setelah debut bersama KARA di 2008, Hara yang masih remaja mendapat ejekan dan pelecehan seksual karena foto lamanya dengan pacarnya muncul lagi di media sosial. Dua tahun setelahnya, Hara mengakui melakukan operasi plastik dan merapikan giginya atas perintah agensinya. Pengakuannya menimbulkan reaksi negatif di media sosial.
Reaksi negatif tersebut berlipat ganda setelah ia melaporkan mantan pacarnya, Choi Jong Boom. Pada 13 September 2018 dini hari, Choi merangsek masuk ke rumah Hara dalam keadaan mabuk lalu menganiaya Hara. Choi pula yang menelepon polisi untuk melaporkan Hara karena menganiaya dirinya. Hara kemudian melaporkan balik Choi karena penganiayaannya mengakibatkan pendarahan uterus dan vagina, leher terkilir, memar dan keseleo di kaki dan lengan kanan. Ia juga melaporkan Choi atas ancaman merilis video seks yang direkam tanpa persetujuannya. Video itu direkam dengan tujuan mengakhiri karier Hara.
Meledaknya insiden ini membuat ujaran kebencian yang diterima Hara meningkat pesat. Tekanan ini membuatnya melakukan percobaan bunuh diri pada 26 Mei 2019. Beruntung manajernya menemukan Hara dan melarikannya ke rumah sakit. Nyawa Hara bisa diselamatkan dan setelah sadar, ia meminta maaf kepada para fans karena membuat mereka khawatir.
Percobaan bunuh diri ini tak membuat perundungan yang diterima Hara berkurang. Para pembenci semakin keras mengkritik dan mengejeknya. Namun, perundungan itu tak membuat Hara berhenti berkarya; ia mengeluarkan single berbahasa Jepang Midnight Queen.
Sayang, beberapa minggu setelah lagunya dirilis, Sulli, salah satu teman baiknya, dikabarkan bunuh diri. Berita ini sangat memukul Hara. Enam minggu kemudian Hara ditemukan meninggal di apartemennya. Usianya baru 28 tahun.
Kematian Hara dan Sulli yang terjadi dalam rentang waktu yang sangat dekat menimbulkan diskusi panas. Fans meluapkan rasa sedih, frustrasi, dan kemarahan mereka di internet. Jari orang-orang saling tunjuk satu sama lain: fans menyalahkan pembenci, media, dan industri K-pop yang terlalu keras dan tidak melindungi artis mereka, perempuan Korea menyalahkan polisi dan pemerintah karena tidak melindungi Hara dan mereka lewat hukuman keras terhadap pelaku kekerasan berbasis gender.
Di tengah perdebatan daring soal siapa yang bertanggung jawab, kakak Hara yang bernama Goo Ho In menempuh jalur hukum untuk mengubah undang-undang pewarisan harta anak. Revisi hukum yang ia sebut sebagai ‘Goo Hara Act’ merupakan hasil dari konflik pewarisan yang melibatkan ibunya. Sang ibu memang meninggalkan Hara dan Ho In ketika masih kecil. Kali ini, Ho In mencegah ibunya mendapatkan harta warisan. Selain itu, Ho In juga menuntut hukuman yang lebih berat terhadap Choi karena membuat adiknya mengambil keputusan ekstrem.
Kesedihan akan kematian Hara juga disuarakan oleh Kang Ji Young, mantan anggota KARA. “Hatiku hancur. Kematiannya bukanlah hal yang bisa dilupakan dan aku terus merindukannya. Kami [anggota KARA] membicarakan soal hal ini dan kami percaya hal terbaik yang bisa kami lakukan untuknya adalah hidup sebaik mungkin,” ucapnya. “Sangat menyakitkan karena aku merasa tidak bisa menolongnya.”
Cha In Ha, 2019
Kurang dari satu bulan kemudian, aktor dan mantan penyanyi K-pop Cha In Ha ditemukan meninggal di rumahnya. Nama Cha In Ha memang tidak sebesar Jonghyun, Sulli, maupun Hara. Namun, kematiannya menggegerkan fans dan industri yang masih berduka.
Agensi Cha, Fantagio, menyembunyikan penyebab kematian Cha. Fantagio hanya menyatakan prosesi pemakaman akan diadakan secara privat dan agar media tidak berspekulasi negatif terhadap kematiannya.
Cha, yang di saat kematiannya berusia 27 tahun, pertama kali debut di dunia hiburan sebagai bagian dari boy group SURPRISE U. Grup ini hanya menelurkan dua album sebelum Cha memutuskan untuk fokus pada akting. Ia berperan dalam beberapa drama terkenal seperti Clean With Passion For Now (2018), The Banker (2019), dan Love With Flaws (2019).
Kematian Cha yang mendadak serta berdekatan dengan kematian Hara dan Sulli mempertegas kritik terhadap industri K-pop. Lee Hak Joon, jurnalis yang meliput industri musik Korea Selatan, mengatakan kematian artis K-pop bisa terjadi secepat dan semendadak naiknya karier mereka. “Pekerjaan membuat mereka sangat rawan dengan tekanan psikologis—mereka diawasi di media sosial setiap jamnya, dan berita bohong soal kehidupan pribadi mereka menyebar dengan sangat cepat.” ucapnya ke The New York Times.
Hingga saat ini tidak ada penjelasan tentang mengapa aktor muda ini memilih untuk memutuskan hidupnya.
Kim Jeong-Hwan, 2020
Kim Jeong-Hwan atau yang lebih dikenal sebagai Yohan dikenal sebagai idola yang memiliki kepribadian ceria. Ia memulai debut di usia 21 tahun bersama band No Other Man (NOM) yang menelurkan lima single sebelum bubar pada 2016. Bubarnya NOM tidak membuat Yohan mundur dari dunia hiburan. Setelah keluar dari JM Star Entertainment, ia bergabung dengan TST yang diasuh oleh KJ Music Entertainment.
Meskipun berada di pasar hiburan yang sangat tersaturasi, TST memiliki fans yang cukup besar. Beberapa lagu hits mereka adalah Paradise, Mind Control, dan Wake Up. Namun lead rapper mereka, Wooyoung, dikabarkan tidak mengikuti promosi Wake Up karena masalah kesehatan. Beberapa fans menduga masalah kesehatan yang dideritanya adalah depresi.
Yohan mati mendadak beberapa bulan setelah grupnya mengeluarkan single baru yang mengguncang para fans. KJ Music Entertainment yang pertama kali mengabarkan kabar kematian Yohan pada 16 Juni 2020 meminta fans dan media untuk tidak berspekulasi tentang penyebab kematian. Agensi juga menyatakan keluarga yang sedang berduka tidak ingin penyebab kematian Yohan dipublikasikan.
Catatan Akhir
Industri hiburan Korea Selatan adalah industri hiburan paling mematikan. Dalam jangka waktu dua dekade, berbagai idola, aktor, dan figur publik lainnya dikabarkan meninggal dunia karena bunuh diri, kecelakaan, dan berbagai penyebab lainnya.
Banyak jari menunjuk ke berbagai permasalahan yang menyebabkan tingginya kematian para artis: dari sistem pelatihan idola yang sangat ketat dan menghancurkan fisik dan mental, alienasi yang disebabkan oleh kontrol agensi, tuntutan untuk memenuhi standar yang teramat tinggi, stigma terhadap kesehatan mental, komentar jahat yang dilayangkan oleh pengguna anonim, ketidakpedulian agensi dan pemerintah terhadap para idola dan aktor, masalah ekonomi yang diakibatkan oleh agensi yang tidak membayar mereka, serta misogini dianggap sebagai pelaku utama penyebab kejatuhan mereka.
Berbagai diskusi, kritikan, dan bahkan usaha untuk memperbaiki kondisi industri terus dilayangkan, tapi kurang memiliki efek yang diinginkan. Tahun lalu aktris Song Yoo-jung dikabarkan meninggal. Agensinya, Sublime Artist Agency, tidak merilis alasan kenapa aktris muda tersebut meninggal. Tapi kematiannya dianggap memiliki keterkaitan dengan tekanan luar biasa yang dibebankan agensi dan media terhadap aktor dan idola muda.
Misogini terutama memainkan peran besar dalam permasalahan kesehatan mental dan penyebab bunuh diri aktris dan idola perempuan. Sulli dan Hara ditekan habis-habisan karena tidak mengikuti ekspektasi patriarkis dan keselamatannya diancam oleh pacar dan masyarakat.
Kasus Hara terutama membawa perempuan Korea Selatan turun ke jalan menuntut agar undang-undang melawan molka. Protes ini semakin kencang setelah skandal Burning Sun yang melibatkan Seungri BIGBANG dan Joong Joon-young meluap ke media. Hara yang notabene korban molka sampai mengontak jurnalis Kang Kyung-yoon yang melaporkan kasus ini. “Goo Hara menelepon saya setelah membaca artikel saya. Dia bilang dia mau menolong… Dia juga menderita kasus molka [dari mantan pacarnya].” ucapnya.
Angka bunuh diri paling tinggi sedunia ditemukan di Korea Selatan, tulis OECD. Pandemi memperparah tingkat bunuh diri, yang mayoritas kasusnya dilakukan perempuan muda. Washington Post melaporkan orang-orang yang dilarikan ke UGD karena percobaan bunuh diri naik 10% di paruh waktu 2020. Sepertiganya dilakukan oleh perempuan. Selain pandemi, beberapa ahli merujuk kematian selebritis sebagai pemicu orang untuk mengakhiri hidup.
Hal ini tidak mengejutkan mengingat dunia hiburan merupakan refleksi dari kondisi masyarakat. Selama aktor, idola, dan selebritis lainnya tidak mendapatkan pertolongan yang memadai dan tidak dilindungi secara serius, bukan tidak mungkin masyarakat biasa bisa mendapatkan efek yang lebih buruk.