Bayangkan: pesawat tertunda, waktu mepet, dan konser Sigur Rós di Singapura tinggal hitungan jam. Itulah yang saya alami saat menuju Esplanade Theatre untuk menyaksikan Sigur Rós tour yang sangat dinantikan. Dengan napas terengah dan hati berdebar, saya akhirnya tiba tepat waktu untuk menyaksikan penampilan magis mereka.
Pada 25 dan 26 Februari 2025, Sigur Rós menggelar konser orkestra di Esplanade Theatre, Singapura, berkolaborasi dengan Resound Collective. Konser ini merupakan bagian dari Sigur Rós tour Asia yang menampilkan aransemen orkestra dari lagu-lagu ikonik mereka, termasuk "Hoppípolla", "Blóðberg", dan "Starálfur". stg.ticketmaster.sg+6Circular Connection+6Resound Collective+6
Pertunjukan dibuka dengan "Blóðberg", menciptakan suasana magis yang langsung memikat penonton. Kemudian, "Ekki múkk" dari album Valtari mengalun, membawa emosi mendalam yang membuat banyak penonton terharu.
Saat intro piano "Hoppípolla" mulai dimainkan, seluruh teater terdiam dalam kekaguman. Versi orkestra dari lagu ini menambahkan lapisan emosi yang mendalam, membuatnya menjadi sorotan utama dalam konser Sigur Rós Singapore.
Tiket untuk konser Sigur Rós di Singapura dijual mulai dari SGD$128 hingga SGD$258 melalui Ticketmaster.sg. Konser ini merupakan bagian dari Sigur Rós tour dunia yang juga mencakup pertunjukan di berbagai kota besar dengan kolaborasi orkestra lokal. morethangoodhooks.com+4Circular Connection+4esplanade.com+4
Konser Sigur Rós di Singapura bukan sekadar pertunjukan musik; ini adalah perjalanan emosional yang menyentuh hati. Bagi para penggemar, terutama yang berusia 18–25 tahun, menyaksikan Sigur Rós tour secara langsung adalah pengalaman yang tak boleh dilewatkan.
Dika Novi Trianjoko
Mengunjungi Orkestra Sigur Rós di Singapura
Boarding pesawat tertunda hingga setengah jam, dan kabut kepanikan mulai menjalari kepala. Pesawat yang saya tumpangi diperkirakan baru akan tiba di Singapura pukul 18.20 waktu setempat, sementara konser Sigur Rós dijadwalkan mulai pukul 19.30. Saya pun segera memutar otak, mencari jalur tercepat menuju venue—Esplanade Theatre—dari Bandara Changi, dengan cara apa pun, bahkan jika harus menyewa helikopter pribadi.
Saya hanya berandai-andai. Karena ini adalah pengalaman pertama saya ke luar negeri, imajinasi saya dipenuhi bayangan kerumitan: ribetnya melewati gerbang imigrasi, jauhnya berjalan kaki di Bandara Changi, kemungkinan tersesat naik bus ke kota, dan sebagainya dan sebagainya. Kepanikan mulai mengambil alih. Napas yang makin pendek membuat pikiran semakin kusut.
Akhirnya pesawat lepas landas di jam 14.35 WIB. Selama perjalanan saya tak bisa tenang, sembari terus-terusan mengawasi jam di handphone dan sesekali membolak-balik halaman buku yang saya bawa. Setelah perjalanan panjang, waktu menunjukan pukul 17.45, sementara pesawat masih berpusing di atas laut Singapura. Saya hampir menyerah dan berserah diri melewatkan setengah set pertunjukan mereka.
Rupanya pesawat mendarat di bandara pukul 18.10. Dengan sisa tenaga, saya buru-buru menuju gerbang imigrasi, lalu berlari kecil menyeberang ke halte terdekat. Napas sudah ngos-ngosan, sementara bus yang saya tunggu baru akan datang 15 menit lagi—padahal konser tinggal satu jam lagi dimulai. Di tengah rasa lapar dan haus, saya coba menghubungi Damar, personel band post-rock Niskala sekaligus kawan lama yang juga nonton konser itu. Saya cuma ingin memastikan gerbang venue masih dibuka. Sayangnya, dia sendiri baru akan sampai di lokasi 20 menit lagi. Setelah itu, komunikasi terputus. Saya cuma bisa berharap: semoga Sigur Rós baik hati dan ngaret sedikit.
Sejujurnya, kekhawatiran saya sebenarnya bukan soal nyasar di Singapura, salah naik bus ke kota, atau bahkan potensi batal menikmati konser paling mahal yang pernah saya nekat beli tiketnya. Kekhawatiran saya justru ada di tempat lain—dan, dalam kondisi seperti itu, mungkin terasa agak tidak pada tempatnya. Saya cemas kalau-kalau konser malam nanti justru melenceng dari bayangan saya selama ini tentang Sigur Rós. Kalau ternyata ekspektasi saya terlalu tinggi, bagaimana?
Ini bagian yang paling sulit dijelaskan. Sebab, dalam benak saya, Sigur Rós bukan sekadar band—bahkan melampaui apa yang biasanya kita sebut sebagai grup musik. Ia entitas asing yang tak ternamai. Emosi dari sebuah film. Tangis haru dalam sebuah perayaan. Ekspresi puncak suka dan duka dari rentetan doa. Dengan segala daya magisnya, Sigur Rós, bagi saya secara personal, adalah sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekumpulan lagu dalam beberapa album di satu rentang waktu.
Mereka seolah seperti sekelompok malaikat yang jatuh dari antah berantah. Saya bisa mulai dari keberanian mereka ‘bersabda’ setelah album Ágætis Byrjun—yang oleh banyak orang dikenal sebagai album bayi—selesai direkam pada 1999. Jonsi, vokalis sekaligus gitaris mereka, pernah menulis di situs resmi Sigur Rós: “We are simply gonna change music forever, and the way people think about music. And don’t think we can’t do it, we will.”
Bak sihir simalakama, pernyataan itu ternyata bukan omong kosong. Setelah albumnya dirilis, Sigur Rós langsung jadi fenomena. Semua orang terkesima. Firman Jonsi, rupanya, benar-benar diamini oleh dunia.
Totalitas berkarya membuat Sigur Rós punya daya sihir tersendiri. Dan sihir itu bekerja diam-diam—mengaburkan asal-usul mereka, siapa mereka, jenis musik apa yang mereka mainkan, hingga bahasa asing apa yang mereka gunakan. Musik Sigur Rós lahir dan beredar tanpa perlu mereka jelaskan. Mereka membiarkan pendengarnya yang menciptakan narasi, dengan kisah-kisah personal masing-masing.
Lagu-lagu mereka bukan seperti lagu yang biasa kita dengar atau bayangkan. Rata-rata berdurasi 5 hingga 10 menit, banyak diwarnai instrumen orkestra seperti cello, biola, dan berbagai string lainnya. Struktur lagunya cenderung membangun perlahan, meledak di akhir, sunyi dan bising silih berganti dalam berbagai babak. Musik mereka mengawang, kental akan nuansa klasik, dibalut vokal falsetto dan lirik dalam bahasa “Hopelandic” yang jadi ciri khas. Orang-orang menyebutnya post-rock, sementara penulis musik Aris Setyawan pernah menyebut Sigur Rós sebagai “versi lebih ramah dari post-rock”. Tapi buat saya, Sigur Rós melampaui semua kategori itu—melampaui apa pun yang dimaksud orang saat menyebut istilah “post-rock.”
Perjumpaan saya dengan Sigur Rós pun terjadi tanpa rencana. Sama sekali bukan hal yang sengaja saya cari—mungkin justru waktu yang mempertemukan kami. Saat itu, di sebuah sore di kota Malang, saya sedang babak belur dihantam penolakan demi penolakan asmara. Saya mempertanyakan arah hidup; merasa salah jurusan kuliah, stagnan secara karier, dan kehilangan semangat hidup.
Seorang yang saya kenal dari kawan memutar Sigur Rós saat saya berkunjung ke coffee shop tempatnya bekerja. Di tengah percakapan intim bersama sahabat, tiba-tiba suara piano mengalun dari pengeras suara. Saya masih ingat momennya: refrain intro yang diulang-ulang, biola menyusul masuk bersamaan dengan suara drum yang konstan, vokal melantun dengan bahasa asing di telinga. Selama 4 menit selanjutnya saya menghentikan obrolan, sebelum kemudian klimaks lagu ini datang di bagian akhir dan itu adalah 5 menit paling menggetarkan selama hidup saya mendengarkan musik. “Hoppípolla” adalah fragmen pertama saya bersentuhan dengan karya mereka.
Sigur Rós vakum dari industri paska merilis Kveikur pada 2013. Mereka kembali sembilan tahun kemudian dengan album ATTA yang teksturnya berbeda dari album-album sebelumnya–kali ini sepenuhnya orkestra. Tur ini mungkin bagian dari rangkaian perjalanan band mempromosikan album itu, mungkin juga bukan. Sebab kali ini mereka memboyong kelompok orkestra di setiap negara yang mereka kunjungi, sebuah perpaduan paripurna untuk menikmati pertunjukan mereka sekalipun harus bertandang ke negeri tetangga.
Saya bukan tipe orang yang rutin memburu konser. Dompet saya kurang ramah. Namun ketika mendengar mereka akan menghelat tour orkestra di Singapura dan tak akan mungkin singgah di sini, rasanya ada yang harus dilakukan dengan segera. Saya belum menyiapkan apapun, termasuk passport hingga awal Februari, juga keputusan untuk membeli tiket baru terjadi setelah saya merinci biaya yang harus dikeluarkan. Maka dari itu, saya mendapat jadwal pesawat yang mepet, hotel yang cenderung mahal, tiket konser paling murah untuk duduk di seat paling belakang.
Selama di dalam bus, saya menahan kantuk kelelahan dengan keras sembari sesekali memeriksa google maps guna mengantisipasi salah jalur. Setelah 50 menit, perjalanan sampai di Temasek blvd, mendekati venue. Namun bus hanya berputar-putar di sekitaran taman seakan menolak bertolak menuju halte yang saya tuju. Dengan kalang kabut saya bertanya kepada supir:
Apakah bus ini akan menuju halte Esplanade?”
“Ya, setelah ini belok ke kanan dan menuju Esplanade”.
Otak saya terasa plong, terhindar dari keterlambatan dan segalanya masih berada di jalur rencana.
Kepanikan reda, tapi saya masih agak panik. Bagaimana jika konser ini menjadi momen anti-klimaks dari hubungan emosional saya dengan Sigur Rós? Bagaimana jika konsernya tak lebih baik dari konser MONO di Joyland tahun lalu? Mengingat Jonsi pernah berujar dalam wawancaranya bersama The Guardian, “Kami nggak pernah serius-serius banget,” boleh jadi, konser kali ini terasa hambar saja sebab mereka tak pernah serius-serius amat.
Realisme Magis dari Dekat: Dua Jam paling Mengharukan dalam Hidup
Pukul 19.20, sepuluh menit sebelum konser dimulai saya tiba di Esplanade Theatre. Sesampainya di dalam, saya kaget, ternyata panitia tidak menyediakan reklame penanda Sigur Rós, juga tidak tersedia tiket cetak fisik dan hanya cukup scan barcode. Belakangan ini terkonfirmasi oleh kenalan yang duduk di sebelah saya. Pada helatan Cold Play tahun lalu, suasananya juga seperti ini, seperti tidak berada di venue konser pada umumnya di Indonesia.
Setelah saya melewati gerbang pemeriksaan tiket, saya bertemu dengan Damar. Kami sempat berbincang sebentar sebelum masuk teater. Dengan antusiasme yang cukup aneh saya pamit memutuskan untuk masuk duluan. Saya mampir toilet terlebih dahulu, lalu makan sisa roti dan minum sebentar di area luar pintu. Rasanya segalanya harus dipersiapkan karena saya ogah kenyamanan menonton terganggu hal-hal lain.
Saya pun duduk di nomor kursi sesuai tiket. Tak lama kemudian para punggawa orkestra memasuki panggung, disusul personil Sigur Rós bersama riuh rendah tepuk tangan penonton. Tiba-tiba ruangan jadi gelap. Perlahan, lampu-lampu kuning di tengah panggung mulai menyala mengitari isi panggung.
Tanpa babibu, lagu pertama dimainkan. “Blóðberg”, trek nomor dua dalam album terbaru dipilih sebagai pembuka. Tatkala gesekan biola bersahutan dengan vokal Jonsi, saya sontak merinding. Saya masih kesulitan percaya bisa melihat mereka secara langsung dengan format orkestra dan duduk bersama ribuan orang lainnya di teater megah. Ada semacam kegelisahan seperti berada dalam sebuah ruangan besar gelap di bawah tanah dengan dengungan mengawang seolah ada gemerlap cahaya diluar sana siap menerobos masuk.
Nomor pertama selesai dimainkan dan panggung kembali temaram. Tak lama berselang, sorot lampu berubah menjadi hijau. Saya menebak mereka akan memainkan lagu dari album Valtari. Benar saja, “Ekki múkk” dilantunkan. Seketika saya berucap, “Lost, i’ve lost my way” dari penggalan film pendek besutan Nick Abraham dalam kompilasi “Valtari mystery film experiment” yang Sigur Rós gagas. Sepanjang 8 menit, saya hanya bisa membayangkan film tersebut dan mengakhirinya dengan tangis tak terbendung. Saya menerjemahkan ruang hampa di akhir lagu sebagai tempat kesedihan berada. Seseorang di sebelah saya menawarkan tisu, lantas saya mengusap air mata seraya mengingat-ngingat yang lara.
Tujuh lagu selanjutnya dimainkan dengan apik oleh Jonsi dan kawan-kawan. Akhirnya mereka memainkan tembang dari album yang melejitkan namanya, “Starálfur” dari album bayi. Pada sayatan violin pertama, seluruh ruangan dipenuhi mega tepuk tangan dan teriakan. Vokal Jonsi mengudara, semuanya terdiam, membiarkan sihir bekerja. Bagian chorus pertama dan klimaks dari lagu telah datang, dan saya kembali terisak.
Rasanya tak ada kegiatan lain selain meratap dan mengeluarkan air mata untuk merespon lagu-lagu mereka. Jika para pegiat post-rock kerap menggunakan teori tentang “The Medium is the message,” gagasan Marshall McLuhan guna mengamini komposisi musik post-rock. Maka bagi saya, isak tangis adalah message utama dari lagu-lagu Sigur Rós.
Tanpa terasa, babak pertama dari rangkaian orkestra ini telah usai. Panggung kembali hening dan kosong. Tak ada sepatah katapun yang diucapkan para personil Sigur Rós di depan venue. Para penonton berhamburan keluar dan saya kebingungan melihatnya. Apakah konser sudah usai atau terdapat waktu Ishoma. Belakangan saya diberitahu oleh seorang penulis, Titah A.W., yang juga hadir di malam itu bahwa dalam gelaran orkestra, selalu akan ada jeda dan pembabakan seperti ini. Orang-orang menuju toilet, ada yang sekadar keluar mencari angin segar. Sementara saya memilih mengusap mata dan bersiap mengarungi badai tangisan selanjutnya.
Setelah 20 menit masa istirahat, Sigur Rós dan para punggawa orkestra kembali ke panggung, bersiap untuk pembabakan selanjutnya. Dalam babak kedua ini mereka tampaknya ingin menghadirkan sesuatu yang lebih megah. Lagu-lagu yang dihadirkan adalah yang mempunyai klimaks panjang menggelegar. “Untitled #3 – Samskeyti” misalnya, lagu dari album ( ) ini terdiri dari tiga chord piano repetitif sampai akhir. Namun yang menjadi berkesan adalah satu-persatu masuknya instrumen biola, selo, perlahan membentuk lanskap melankolia nan megah hingga akhir lagu. Resound Collective, kelompok orkestra yang mengiringi Sigur Rós malam itu, berhasil menyusun tiap fragmen lagu ini dengan mengagumkan. Saat nada repetitif tadi menemukan klimaksnya di sepertiga lagu, saya memejamkan mata lalu tersedu-sedan, bersama sisa-sisa piano solo yang pelan-pelan menghilang.
Setelah beberapa lagu di babak kedua dimainkan, Jonsi tampak seperti sedang mengalami kelelahan. Ia sempat kedapatan terbatuk saat menyanyikan salah satu lagu dari album “ATTA”. Pentonon tak menghiraukan dan terus terbuai dalam alunan vokal Jonsi. Saya mafhum sebab selain faktor usia, di bulan Februari saja mereka menjalani tour Asia di tiga negara dengan masing-masing menggelar dua kali pertunjukan di kota yang sama.
Tiba saatnya, “Hoppípolla” dimainkan. Untuk alasan inilah saya berada di sini, bernostalgia dengan fragmen pertemuan pertama kami sembari menikmati versi orkestra secara langsung. Saya hampir hafal semua detailnya, intro piano ikonik yang diulang-ulang, lalu pada detik ke 14 nada piano naik diiringi gesekan violin membangun mood mengharu-biru. Floor tom dipukul pada detik 33, glockenspiel berdenting ritmis dibalik riuh orkestrasi dan alunan vokal Jonsi. Khusus malam itu, chorus terakhir yang menjadi titik monumental lagu ini dihadirkan bersama dengan tiupan terompet, tuba, dan trombon seraya memberikan harmoni kemewahan maha agung untuk Hoppípolla.
“Hoppípolla” tentu berakhir dengan mega tepuk tangan dan aplaus dari yang datang, bukan hanya karena lagu ini lagu luar biasa, namun pula ini lagu paling fenomenal Sigur Rós yang mereka dengarkan live bersama orkestra dan hasilnya sama sekali melampaui ekspektasi.
Seakan mereka ingin menyampaikan pesan sederhana tentang harapan yang selalu bisa digenggam meski seberapa buruk dunia ini berjalan. Pertunjukan malam itu diakhiri dengan lagu Avalon. Setelah itu, tiga personil Sigur Rós meninggalkan panggung tanpa berkata apa-apa menyisakan punggawa orkestra di atas panggung dengan diiringi tepuk tangan sepanjang lima hingga sepuluh menit. Tentu kami yang hadir berharap encore. Jonsi dkk. sadar betul malam itu mereka dieluh-eluhkan sebegitu lamanya. Mereka kembali ke atas panggung, penonton bersorak, namun ternyata mereka hanya ingin membalas antusiasme pembeli tiket dengan berterima kasih saja tanpa menambah satu tembang lagi.
Melihat sekumpulan dukun orkestra ini, saya jadi teringat suatu novel. Seratus Tahun Kesunyian, karya Gabriel Garcia Marquez. Di antara sekian banyak karakter dalam novel itu, ada suatu kelompok yang mustahil dilupakan para pembaca: Rombongan Gipsi. Orang-orang Macondo, pusat semesta dalam novel itu, mengenal para gipsi sebagai pembawa benda-benda ajaib kepada para penduduk desa mereka yang terpencil.
Di dalam novel itu, seorang tokoh gipsi bernama Malquiades berkata “Setiap benda punya nyawa,” kata si gipsi dalam logatnya yang kasar. “Aku hanya membangunkan jiwa-jiwa mereka.” Dan persis seperti itu, jiwa-jiwa dari seluruh alat musik yang beroperasi di panggung Sigur Rós malam itu seperti dibangunkan oleh setiap personil. Menjampi-jampi seluruh ruangan teater dan membuat penonton terkesima.
Malam itu saya seperti berada di tempat dan waktu yang sempurna untuk mengenang segala kesedihan dan haru bahagia dalam perjalanan 29 tahun hidup. Dan mereka ini, Sigur Rós bersama paket orkestra, adalah sebuah latar tangis yang piawai.