Pada malam Agustus 2022, saya, Galih, bertemu dengan beberapa tokoh penting seni di Surabaya, termasuk Reno Surya dari Kolektif Bojakrama, Pingki Ayako, seorang aktivis perempuan, dan Kharis Junandharu, salah satu anggota duo Silampukau, di Pecinan Tambak Bayan. Saat itu, Silampukau baru saja merilis album "Dosa, Kota, & Kenangan", di tengah perjuangan warga melawan kapitalisme yang merampas ruang hidup mereka. Malam itu, saya sadar bahwa hubungan emosional antara Silampukau dan Surabaya jauh lebih dalam dari sekadar romantisasi lirik.
Dua tahun setelah perbincangan itu, saya kembali menghubungi Kharis Junandharu. Kami membahas masalah besar yang dihadapi seniman di Surabaya: sewa venue. Kharis menyebutkan bahwa biaya sewa gedung pertunjukan di Surabaya sangat mahal, bahkan mencapai Rp 50 juta untuk 24 jam.
Kharis Junandharu, yang sangat berpengalaman dalam industri musik, mengatakan bahwa harga ini tidak masuk akal bagi musisi lokal. “Bayangkan saja, untuk sewa tempat seperti Balai Budaya dengan kapasitas hampir 1000 orang, kita harus mengeluarkan biaya besar. Lalu, bagaimana dengan sewa sound, lighting, dan kru? Semua itu di luar biaya gedung,” ujar Kharis.
Menurut Kharis, masalahnya tidak hanya pada harga sewa yang tinggi, tetapi juga pada bagaimana pemerintah Surabaya menggunakan benchmarking dari venue-venue swasta. Kharis mencurigai bahwa pemerintah menggunakan referensi harga dari hotel-hotel besar, seperti Hotel Majapahit yang sewanya bisa mencapai Rp 80 juta. Ini jelas tidak adil, karena gedung pertunjukan seperti Balai Budaya seharusnya menjadi fasilitas milik masyarakat, bukan alat kapitalis.
Dari hitungan kasar yang dibuat Kharis Junandharu, total biaya produksi acara musik di Surabaya bisa mencapai Rp 140 juta. Ini termasuk sewa gedung, sound system, lighting, upah kru, dan musisi. Harga tiket untuk menutup semua biaya ini diperkirakan mencapai Rp 200 ribu hingga Rp 350 ribu per orang. Ini menjadi beban berat bagi penonton, terutama dari kalangan anak muda berusia 18-25 tahun.
Kharis menekankan bahwa jika tarif sewa gedung pertunjukan bisa diturunkan, ekosistem seni di Surabaya akan lebih hidup. “Seni pertunjukan ini sangat luas. Penghuni ekosistemnya bukan hanya musisi, tetapi juga kru, penyedia venue, dan banyak lagi. Jika biaya sewa rendah, seni pertunjukan bisa hidup setiap hari, bukan hanya tiga kali setahun seperti sekarang,” tambahnya.
Kharis Junandharu berharap agar pemerintah Surabaya lebih bijak dalam menentukan harga sewa gedung. Jika biaya sewa bisa diturunkan hingga Rp 5 juta untuk 24 jam, pertunjukan musik akan lebih terjangkau bagi semua kalangan. Hal ini juga akan membuka peluang lebih besar bagi musisi muda yang ingin tampil di kota ini.
Bagi Kharis, solusi ini tidak hanya akan menguntungkan musisi, tetapi juga masyarakat Surabaya. Dengan banyaknya pertunjukan seni, perekonomian lokal juga akan terdongkrak, terutama bagi industri kecil yang terkait dengan acara-acara seni.
Kharis Junandharu mengajak semua pihak untuk bergerak bersama dalam menyuarakan aspirasi ini. Jika tarif sewa venue bisa lebih terjangkau, ekosistem seni di Surabaya akan semakin hidup dan memberikan ruang bagi para musisi untuk berkembang.
Dengan demikian, Kharis Junandharu berharap ada perubahan besar yang bisa membawa manfaat tidak hanya bagi musisi, tetapi juga seluruh warga kota Surabaya yang mencintai seni dan budaya.