Menjadi Jurnalis Musik, Masihkah Asyik?

Menjadi Jurnalis Musik, Masihkah Asyik?

Jika suatu waktu kamu mendatangi acara musik di ibu kota, lalu kamu melihat pria berperawakan kurus, memakai jaket dan topi bucket, barangkali kamu bertemu orang yang akan saya ceritakan ini. Namanya Eno Suratno Wongsodimedjo

Orang biasa memanggilnya Eno. Dia kini bekerja di salah satu media online di Jakarta bernama Kureta.id. Di media itu, Eno bekerja sebagai wartawan hiburan yang ia impikan.

Bagi Eno, bisa sampai di pekerjaan ini merupakan sebuah berkah tiada tara. Sebab, cerita Eno menjadi jurnalis musik cukup berbeda dari yang lain yang lahir dari pers kampus atau pengasuh webzine.

Sebuah agadium menyebut: jika kamu gandrung musik tapi tidak sanggup menjadi anak band, menjadi jurnalis musik bisa jadi salah satu titik damainya. Adagium ini juga berlaku untuk Eno. Di masa lalu, ia sempat membuat Eno's Project, sebuah proyek yang ia kerjakan pada medio tahun 2013-2014. Dari kurun waktu tersebut, proyek ini baru berhasil menghasilkan dua buah single berjudul ‘Kesendirian’ dan ‘Menarilah’.

“Ternyata tidak semua harus dan bisa jadi anak band,” kata saya kepada Eno, yang tentu saja jadi juga dialamatkan untuk diri saya sendiri.

Setelah mimpi jadi musisi kandas, pria 36 tahun itu kemudian fokus menjadi karyawan di PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI. Saat bekerja di perusahaan tersebut, ia bertanggung jawab atas jalannya operasional krl di Jabodetabek. Di tahun 2018, tahun kelima bekerja, ia merasa muak dengan praktik yang terjadi di kantor.

“Gue melihat teman-teman seangkatan gue kariernya cepet banget naik. Sedangkan karier gue stuck di situ saja. Setelah gue telusuri, yang naik itu anaknya si ini, keponakannya si itu, dan saudaranya si ono,” ujar Eno.

Darah mudanya mendidih. Tak butuh waktu lama, ia memantapkan diri untuk meninggalkan pekerjaannya tersebut. Usai resign, Eno lantas membuat usaha distro, tapi sayang usahanya bubar di tengah jalan.

Sebagai anak muda yang punya jiwa bergejolak, ia tak mengenal kata ‘takut’ dalam hidupnya. Dengan kemampuan menulis yang ia miliki, Eno akhirnya melamar ke salah satu media online yang berkantor di Bali sebagai kontributor.

Tak lama berselang, Eno melihat pengumumuman di akun Twitter jurnalis musik Rio Tantomo yang menyebut jika Amvibe.id, tempat Rio bekerja, tengah membutuhkan penulis musik. Eno kemudian melamar dan langsung diterima.

Di Amvibe itulah ia kecintaannya terhadap jurnalisme musik makin besar, menggila dan menjadi-jadi.

Sayangnya, Eno hanya dua kali menulis di Amvibe.id yang sempat vakum setelah ia memutuskan bergabung. Setelah itu, ia kemudian bergabung ke Tagar.id. Di tahun 2021, ia memutuskan untuk pindah dan berkarier menjadi jurnalis Kureta.id hingga sekarang.

Begitulah secarik kisah hidup Eno. Dengan menjadi jurnalis musik, ia merasa hidupnya penuh gairah dengan mendatangi konser gratis atau dekat dengan musisi yang diidolai.

“Dukanya ya jadi wartawan duitnya dikit, gak terlalu oke untuk dijadikan penghasilan. Selain itu, apalagi ya, oh itu, kulit buluk karena kebanyakan di lapangan,” ujar Eno terkekeh.

Selain Eno, saya juga meminta testimoni dari Shindu Alpito dan Herlambang Jaluardi untuk memberikan gambaran bagaimana jurnalisme musik bermimpi dan bekerja. Shindu, saat ini bekerja di Medcom.id dan mengasuh program Shindu’s Scoop. Sedangkan Herlambang, saat ini menjadi jurnalis Harian Kompas. Ia rutin menulis musik dan terkadang menulis otomotif di koran tersebut.

Shindu:

Apa momen yang membuatmu memutuskan jadi jurnalis musik?

Bisa dibilang fase ‘memutuskan’ menjadi jurnalis musik kurang tepat buat gue. Karena awalnya lebih pengin jadi fotografer. Tetapi, momen dan situasi yang ada pada saat itu memungkinkan untuk bekerja sebagai jurnalis. Beruntungnya, memang dari SMA punya ketertarikan di bidang jurnalistik, suka menulis, dan tentu saja musik. Singkatnya, gue menjalani profesi ini karena punya momen dan kesempatan, di samping ketertarikan.

Dulu sebelum terjun menjadi jurnalis musik, apa yang terbayang dan kamu pikirkan soal profesi ini?

Sebelum berprofesi sebagai jurnalis musik, lebih dulu punya gambaran soal profesi jurnalis pada umumnya, lagi-lagi lebih membayangkan sbg fotojurnalis (memutar berkali-kali video liputan James Nachtwey). Tetapi gambaran jurnalis musik secara spesifik baru didapat saat magang di Rolling Stone Indonesia tahun 2012. Di sana pandangan terbuka lebar. Melihat Mas Wendi Putranto pergi ke UK untuk datang ke festival, juga membayangkan enaknya kerja di kantor media yang bawahnya bar, wawancara musisi setengah teler, dan selingkaran kehidupan liar. Dari situ merasa profesi jurnalis musik adalah hal paling masuk akal di kepala gue dan alam bawah sadar menuntun ke arah sana.

Di titik sudah menjadi jurnalis, sesuaikah yang kamu impikan dengan realitanya?

Secara umum iya, secara khusus belum. Gue jadi jurnalis di era disrupsi dari media konvensional-digital ke digital sepenuhnya. Pola kerja, platform, distribusi, sampai ke hal-hal teknis berbeda dari bayangan manis di kepala. Tetapi justru di situ menariknya mencari titik tengah antara mimpi dan realita.

Herlambang:

Apa momen yang membuatmu memutuskan jadi jurnalis musik?

Musik adalah hal yang paling menyenangkan dalam hidupku. Menjadi jurnalis musik adalah upaya untuk mendekatkan diri dengan episentrumnya, merasakan langsung denyutnya dari dekat. Hak istimewa sebagai jurnalis memungkinkan untuk dekat dengan pelaku-pelakunya, yang mungkin tak terjangkau oleh orang awam.

Dulu sebelum terjun menjadi jurnalis musik, apa yang terbayang dan kamu pikirkan soal profesi ini?

Mendatangi konser idola, bertemu di belakang panggung, bisa (sok) akrab dengan mereka, mengetahui kisah-kisah di balik proses kreasi karya favorit.

Di titik sudah menjadi jurnalis, sesuaikah yang kamu impikan dengan realitanya?

Sesuai. Tapi ternyata musik lebih dari sekadar lagu bagus, tingkah-polah idola, dan keseruan konser. Musik adalah kehidupan itu sendiri. Yang didapat setelah jadi jurnalis musik adalah kompleksitas itu. Musik dan lagu adalah rekaman sebuah jaman, ingatan kolektif generasi. Apa pun genrenya, musik selalu beresonansi dengan situasi sosial dan politik. Keduanya saling memengaruhi.

Dekat dan Membangun Minat

Menurut Aris Setiawan profesi sebagai jurnalis seni, khususnya musik, pada eranya adalah sebuah dambaan. Apalagi bagi orang-orang yang menyukai musik. Dengan privilege sebagai jurnalis, mereka dapat mengikuti dan meliput musisi atau kelompok musik idolanya dengan leluasa, bertemu, dan mewawancarainya. Artinya jurnalis musik memiliki akses langsung kepada musisi atau kelompok musik, mendekatkan diri, berkenalan, bahkan akhirnya berkorespondensi. Alasan hampir naif yang dapat kita jumpai pada diri William Miller di film Almost Famous yang ngotot ingin menjadi jurnalis musik.

“Jurnalis-jurnalis itu layak berbangga diri, dapat masuk dan hadir di panggung-panggung hiburan besar, menempati tempat dan ruang khusus, dan tentu saja hampir semuanya gratis. Itulah yang menyebabkan profesi ini begitu digilai oleh sebagian besar pecinta musik,” tulis Aris Setiawan.

Maka tak mengejutkan jika Eno harus meninggalkan pekerjaan lamanya yang mungkin secara finansial lebih aman.

Selain itu, jurnalis musik bisa menulis kritik konstruktif atau sekadar opini yang rada bitchy dan bitter memandang industri. Idhar Resmadi dalam Jurnalisme Musik Dan Selingkar Wilayahnya (2017) memberi contoh di tahun 1970an terjadi konfilik panas antara musisi rock dan dangdut.

Konflik ini bermula saat Majalah Aktuil mengutip pernyataan Benny Soebardja, pentolan grup hard rock Giant Step yang menyebut dangdut sebagai ‘musik tai anjing’. Menurut Benny, dangdut tak ubahnya musik ecek-ecek kelas bawah, tak seperti rock yang dia bilang simbol musik-musik gedongan.

Pernyataan Benny yang dikutip Aktuil membuat Rhoma Irama murka. Si Raja Dangdut membalas pernyataan Benny dengan menyebut musik rock sebagai ‘terompet setan’.

Konflik tersebut mereda setelah didamaikan oleh Japto Soerjosoemarno. Dan Berpuluh-puluh tahun kemudian, Rhoma menjelaskan konflik tersebut strategi dagang yang dibikin supaya majalahnya laris. Sebatas gimmick, bro.

"Sebenarnya, waktu itu kita sudah tahu kalau ini strategi dagang dari majalah, menghadirkan berita heboh, agar laku dipasaran," ungkap Rhoma.

Selain itu, di periode yang tak berjauhan, penulis Remy Sylado juga pernah membuat kuping para musisi pop panas lantaran artikel berjudul Musik Pop Indonesia: Satu Kebebalan Sang Mengapa. Tulisan Remy yang dimuat di jurnal Prisma pada Juni 1977 itu, seakan menelanjangi bagaimana industri pop Indonesia bekerja kala itu.

“Dan barangkali ini celakanya: pop sudah diterima sebagai suatu aib. Orang tak suka lama-lama menyiapkan hati pada diskusi pop, lantaran khawatir kehilangan penghargaan umum terhadap kesungguhannya berpikir,” tulis Remy.

Galak benar opininya, bwang.

Sampai di sini, sudah terbayang bagaimana serunya menjadi jurnalis musik kan? Tak perlu jadi pemuka agama atau pengamat politik agar opinimu didengar. Cukup jadi jurnalis musik.

Eh tapi itu dulu, kalau sekarang gimana? Masih berpengaruh gak sih opini media musik?

Pertanyaan masih relevankah jurnalis musik hari ini, sama membingungkannya dengan kenapa bisnis media musik yang mati. Soleh Solihun dalam penelitiannya menyebut, di Indonesia satu-satunya majalah musik yang pernah bertahan lama, hanyalah Aktuil.

“Dari tahun 1967 hingga 1981. Itu pun hanya mengalami masa jaya pada kurun waktu 1970 – 1975. Setelah Aktuil, belum ada majalah musik yang bisa menyamai kesuksesan itu,” tulis Soleh.

Selepas masa jaya lima tahun tersebut, perjalanan Aktuil akhirnya hanya menunggu mati. Di era 1990-an, semangat menghidupkan media musik juga coba dibangun oleh tabloid Citra Musik. Menyusul di era 2000-an hadir tabloid Mumu, majalah NewsMusik, juga tabloid Rock dan Ripple. Majalah musik lain yang bisa berusia panjang hanyalah Trax yang terbit pada 2002 dan berhenti terbit di 2016. Menyusul Rolling Stone yang hadir ke Indonesia pada 2005 dan tutup di akhir 2017.

Semua tinggal kenangan.

Setelah media cetak mati, media musik dalam format online dan media yang dibiayai rokok bermunculan seperti Djarumcoklat.com atau Supermusic.id.  Beberapa menyambut baik. Masih ada saja media musik sudah untung, kata mereka.  Toh berdasarkan pengalaman kita tahu, bisnis media musik di Indonesia seakan datang dan pergi begitu saja.

Beberapa yang lain mengeluhkan begitu dangkalannya tulisan musik yang hanya copy-paste dari press release. Alih-alih memberikan tulisan bernas, artikel musik cuma seperti membuang garam ke lautan.

Saya jadi teringat pernyataan Rio Tantomo. Menurut ia, supaya media musik tetap dilirik, jurnalisnya hendaklah memasukkan opini pribadinya. Tak sebatas menulis ulang press release saja. Tapi, adakah pertimbangan lain yang hendaknya membuat kita berpikir ulang? Jawabannya: Ada.Bisnis media online seperti sekarang masing-masing jurnalis dikejar kuota yang harus dipenuhi. Beberapa teman di lapangan menyebut dalam sehari mereka ditargetkan menulis 8 hingga 20 artikel—luar biasa.

Dengan beban kerja sebanyak itu, agak ruwet jika harus ditambah dengan tulisan musik panjang atau review.

Selain itu, muncul pula tantangan lain bagi jurnalis musik sejak munculnya sosial media. Di masa sebelum sosial media hadir, para musisi membutuhkan jurnalis sebagai media tak sebatas mempromosikan karya saja, tapi bisa mengulas atau menelisik karya si musisi lebih dalam. Hari ini, jika kerja jurnalis hanya sebatas mempromosikan karya bukankah musisi bisa langsung mempromosikan sendiri di Instagram atau TikTok mereka?

Meski masih banyak musisi yang masih mengundang jurnalis saat mereka baru keluar karya, tapi itu semata-mata untuk mempromosikan karya.

Belum lagi, kita patut berbahagia lantaran dalam beberapa tahun terakhir, bermunculan pembahasan musik lewat medium yang berbeda. Ngobryls misalnya, menjadikan YouTube sebagai ruang untuk mengulas karya musisi lain. Atau Pretentious Reports yang terbit di Kumparan+ yang mengeksplorasi laporan musik dalam bentuk ngeyel. Selain itu, bermunculan pula podcast yang mengulas hal serupa di Spotify.

Langkah-langkah ini merupakan pilihan logis seiring dunia yang bergerak maju, ketimbang mempertahankan jurnalisme yang sibuk mempertahankan ide-ide lama yang usang dan menjadi badut angkuh yang pekerjaannya memoles nostalgia, tanpa ada keinginan untuk beradaptasi.

Toh, agak sebal rasanya jika terus mendengar penulis musik yang terus mendambakan betapa besarnya kerja-kerja jurnalistiknya di masa lalu atau betapa tulisannya berpengaruh besar, dst.

Jika hal seperti itu terus terjadi, maka bersiaplah jurnalisme musik akan ditinggalkan pembacanya, alih-alih mendapat pembaca baru.

Lantas bagaimana agar jurnalisme musik ada dagingnya? Pertanyaan itu acap keluar dari mulut jurnalis, khususnya jurnalis musik muda, termasuk saya. Sebagian tak tahu, sebagian tak peduli. Tapi setelah melihat ternyata banyak medium dan ruang yang ditawarkan lewat platform-platform digital, menurut saya, kematian media musik cetak bukan berarti jurnalisme musik ikut mati pula. Kita bisa sedikit lega hendaknya.

Walau harus diakui, kegelapan masih menyelubungi industri media dan profesi jurnalis. Meski demikian, saya masih menaruh keyakinan jika menjadi jurnalis musik tetaplah pekerjaan keren dan menyenangkan. Meski angan-angan terkadang memunggungi kenyataan hihihi.

Kapan hari, keponakan saya yang baru berumur 7 tahun bilang dia pengin jadi jurnalis seperti Om-nya ini. Saya mengernyitkan dahi. Ndredeg.