Menjerat Mimpi Tak Tahu Diri Monyet Primitif


Primitive Monkey Noose: “kami satu-satunya di dunia ini”

Rasanya baru kemarin Denny Sumaryono meninggalkan tanah asalnya, Surabaya dan membulatkan tekad pergi ke rantau jauh bernama Kalimantan Selatan.

“Semua keputusan itu diambil setelah ibuku meninggal,” ujar Denny yang di masa lalu melakoni hidup sebagai seorang punk rock.

Kepindahan ini, pikir Denny hendak dibarengi konsekuensi tak lagi bermusik. Impian Denny menjadi rockstar telah kubur di halaman belakang rumah. Namun sejauh-jauhnya kau pergi, musik akan terus mengejarmu, kata seorang hipster. Denny kini meyakini kalimat hipster itu. Konsekuensi itu tak benar-benar terjadi.

Di tengah kesibukan sebagai karyawan di salah satu perusahaan di Batulicin, Denny menemukan teman-temannya pada 2021. Satu ide dengan satu tujuan yang sama: membawakan lagu-lagu sendiri. Setahun bandnya terbentuk, mimpi bermusik Denny hidup kembali. Ia merilis mini album bersama bandnya pada 2022. 

Tak berhenti di mini album, band Denny ini melahirkan full album setahun setelahnya. Mimpi yang hidup ini lantas menerebos pintu-pintu lain. Band Denny dkk. membawanya berkunjung kembali ke Pulau Jawa sebagai salah satu penampil di Jakarta. Mereka juga mengunjungi kota-kota sekitar. Denny kini tahu perasaan yang dirasakan personel The Beatles harus berkelana dengan mobil sesak sambil memboyong alat-alat musik di bangku belakang. 

Cerita Denny setali tiga uang dengan Richie Petroza. Pada era 2000an, Richie adalah anak Pekanbaru yang kuliah di Yogyakarta. Di kota pelajar ini ia menghabiskan waktunya untuk musik dan membentuk banyak band. Salah satunya adalah Got Me Blind. Pada 2009, dalam kondisi hidup yang belum jelas, ia mendapatkan pekerjaan di Batulicin, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. 

Ia bimbang. Bagaimana mungkin orang yang berkutat di scene musik selama bertahun-tahun harus meninggalkan dunia yang ia cintai, lalu masuk ke semesta korporat yang sarat birokrasi. Beberapa teman dekat meledek tawaran pekerjaan itu. Kata mereka, nanti kalau sudah di korporat, menjadi anak band cuma sebatas khayalan siang bolong. Tapi pilihan harus tetap diambil. Ia memutuskan tetap berangkat ke Tanah Borneo. 

“Aku di saat itu sudah masuk fase dewasa. Hidup adalah pilihan,” kata Richie.

Berbeda dengan Denny, Richie masih membawa semangat bermusiknya. Mimpi tak boleh boleh padam. Kata orang, idealisme dalam musik sama seperti iman; bisa terus dirawat asal diusahakan.

Pada tahun-tahun awal Richie menjadi pekerja kelas putih, ia tak juga menemukan teman-teman band yang cocok dan sejalan. Suatu waktu, ia menemukan realitas bahwa teman-teman di band sebelumnya hanya ingin menyanyikan lagu-lagu orang. Di waktu lain pula, ia mendapati fakta jika ia mesti membayar rekan-rekan sebandnya jika ingin latihan. Padahal ia bukan musisi solo yang bertanggung-jawab membayar semua ongkos.

Tapi ia tak patah arang. Waktu jua yang mempertemukan Richie dengan beberapa teman. Richie butuh waktu 10 tahun menemukan teman-teman sejiwa sebelum mengikat diri di sebuah band bernama Primitive Monkey Noose yang kemudian melahirkan cerita di bawah ini.

Musik Membawa ke Tempat yang Tak Terduga

Saya menemui Richie Petroza di malam penghujung Agustus. Di depan Galeri Nasional, Jakarta Pusat, kami berbincang sambil melihat jalanan macet yang celaka. Saya memesan dua kopi renceng penjual kopi keliling lantas mendengar keresahan Richie hingga mimpi band yang tengah ia perjuangkan ini.

Kedatangannya Richie Jakarta saat ini bermuara pada pertengahan 2022 saat ia melontarkan komentar tegas dalam sebuah wawancara di Synchronize Radio. Kala itu, Richie berbicara dengan semangat menggebu seperti tukang obat di tengah pasar.

“Undang kami ke Jakarta, akan kami tunjukkan musik yang yang berbeda. Kami beritahu bagaimana musik lokal sesungguhnya,” ujar Richie, yang selanjutnya akan kita tahu sebagai vokalis Primitive Monkey Noose yang disingkat PMN.

Richie yang membuat dua penyiar geleng-geleng kepala itu menyebut jika orang-orang Jakarta mesti membuka mata terhadap banyak band potensial dari daerah. Musik Indonesia, lanjut Richie, tak hanya berkutat di Jakarta, Bandung dan Jogjakarta, melainkan tersebar di segala penjuru negeri.

Komentar membikin PMN diajak bermain di Synchronize Festival 2022. Namun, karena Muram rekan sekampung mereka harus bermain di festival yang sama serta mengingat besarnya ongkos transportasi, pihak Synchronize Festival  meminta mereka bersabar barang setahun. Dalam proses penantian itu, Primitive Monkey Noose tetap berkarya di tanah kelahirannya, Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan hingga merilis album kedua bertajuk Waja Sampai Kaputing pada 25 Agustus 2023 yang dirilis oleh label rekaman Demajors.

Cerita Richie berlanjut membahas album Waja Sampai Kaputing. Ia menghela nafas sejenak. Bagi Richie, kehadiran album ini menjadi batu pondasi menjalankan spirit punk rock yang mereka usung. Tujuh lagu yang dimuat dalam album ini, dengan fokus track “Kada Kawa Kawan Ae” mengajak pendengar bernyanyi dan berteriak berteriak. Lagu tersebut makin menegaskan pilihan tema yang mereka usung: lokalitas. Kerja-kerja ini adalah upaya lanjutan dari tema album pertama yaitu Anthem of South Borneo yang dirilis pada 2022 lalu.

Lewat album kedua ini, Primitive Monkey Noose menyajikan musik keras bertempo cepat, bertenaga, lirik yang sekaligus sarkas, tapi tetap menyenangkan untuk didengarkan. Ditambah vokal Richie yang berat, mereka mengidentifikasi diri sebagai band yang tak hanya progresif dalam konteks musik, tapi juga pemikiran. 

Di lagu “Kada Kawa Kawan Ae” misalnya, saya mendengar nasehat khas masyarakat melayu di lirik: 

Lamun handak disayang urang
Babisa-bisa membawa diri
Adat nan baik jangan dibuang
Kada tatinggal sumbayang mengaji

Bagi band ini punk adalah ikhtiar tak kenal lelah, sebuah konsistensi menjaga api semangat. Persis seperti Waja Sampai Kaputing yang diambil dari semangat kebudayaan masyarakat Banjar yang bermakna “terus berusaha sampai akhir hayat”. 

Alih-alih menyuarakan tema-tema agar terdengar punk banget, di tiap nomor dalam album ini, mereka mengajak orang untuk tetap mengingat adat dalam kondisi apapun. Begitu pula dengan track lain di album ini yang mencerminkan rasa cinta mereka terhadap tempat tinggal mereka di pesisir tenggara Kalimantan, keresahan sosial, seni bertahan hidup, dan banyak hal lain soal kehidupan. 

Richie tak bersepakat dengan pengamat dan kritikus menyebut musik mereka masuk dalam ranah celtic punk. Memang jika dikenal sekilas, band yang digawangi oleh Richie Petroza (vokal), Oveck Arsya (gitar), Ridho (gitar), Wan Arif Fadly (panting), Denny Sumaryono (gitar bas), dan Juli Yusman (drum) ini adalah pengikut setia band-band Celtic seperti Dropkicks Murphies atau The Tossers. Tapi menurut Richie, PMN tak punya semangat sama dengan band-band itu.

“Bagaimana mungkin orang-orang Melayu seperti kami ini membawakan tema-tema seperti mereka,” kata Richie. 

Keesokan harinya, 1 September 2023, Primitive Monkey Noose bermain di hari pertama Synchronize Festival 2023 di Gigs Stage. Saya melihat kecemasan di wajah masing-masing personel. Saya setengah bercanda bilang: “Tenang saja, kalaupun jelek, nggak bakal digebukin, kok.”

Humor saya itu tampak sedikit meredakan kecemasan mereka. Jarum jam menunjukan pukul 13.50 WIB. Artinya, 10 menit lagi band ini harus segera tampil. Para penonton mulai berdatangan ke hadapan panggung. “Saya penasaran dengan band ini, band punk kok pake alat musik tradisional,” ujar salah seorang penonton sambil memegang botol anggur.

Alat musik yang dimaksud adalah panting, sebuah instrumen yang sangat mirip dengan gambus yang populer di dunia Melayu.  


Kemayoran lagi panas-panasnya saat mereka membuka penampilan dengan membawakan lagu “Batulicin Youth Crew”. Setelah lagu pertama selesai, para personel PMN telah menunjukkan wajah santai. Penampilan ditandaskan tanpa kendala. Para personel terlihat girang dan asyik mengarungi hingar bingar festival. Malam segera dimulai. Sepanjang menonton mereka tampil, saya mengamati lagu per lagu dan sampai pada kesimpulan: tanpa panting, band ini hanya bapak-bapak biasa yang ngeband.

Menurut saya, panting merupakan alasan mustajab kenapa band ini dilirik. Di dunia Melayu, yang menjadi tanah PMN terbentuk, panting tak sebatas alat musik yang melahirkan bunyi-bunyian. Menelisik ke dalam, panting merupakan refleksi agar orang tak melakukan kejahatan yang mendatangkan musibah. Nilai yang terkandung dalam musik panting umumnya menyajikan cerita sejarah kehidupan, contoh teladan yang baik, kritik sosial atau sindiran yang bersifat membangun, demokratis, dan nilai-nilai budaya masyarakat Banjar. Persis seperti kerja-kerja yang tengah diperjuangkan PMN.

Panting pula yang akhirnya menjadi garis pembeda PMN dengan band-band punk lain Saya menutup obrolan dengan pertanyaan: apa panting dan unsur lokalitas yang kalian angkat jadi ikhtiar agar kalian terlihat berbeda lantas dilirik?

“Tentu saja kami ingin berbeda. Makanya panting menjadi penting. Kalau tak ada yang membedakan, mending kami gak usah diundang ke sini. Kalau band punk banyak. Tapi yang memainkan musik seperti kami, ya kami satu-satunya di dunia ini,” pungkas Richie.

Saya menyerap pernyataan Richie dalam pengaruh alkohol sambil menyadari betapa banyaknya musisi yang tampil di festival ini. Semoga kesombongan dan kepercayaan diri mereka tak hancur berkeping-keping digilas waktu. Kalau band ini amit-amit bubar, saya orang pertama yang akan menertawakan dengan mengirimkan link tulisan ini.

Dan malam di festival makin meriah.