Merayakan Wong Kalahan ala The Jansen dan Dongker

Merayakan Wong Kalahan ala The Jansen dan Dongker
“Jansen juga a?”
“Dongker juga a?”
Celotehan sentimen tak bertuan itu kini terasa sangat lumrah di berbagai penjuru kolom komentar media sosial ketika ada unggahan yang membahas atau menampilkan dua band itu – baik itu unggahan tentang berita soal kegiatan mereka ataupun sekedar update dari acara-acara yang mengundang mereka untuk bermain.
Bukan tanpa alasan kenapa saya memaparkan fenomena keramaian komentar di kolom media sosial itu sebagai ‘sentimen tak bertuan’. Pasalnya makna yang diutarakan oleh warganet dengan melontarkan komentar itu seringkali memiliki siratan maksud yang ganda – bisa memiliki sentimen bercanda yang positif atau bisa juga memang sentimen nyinyir khas ala warganet.
Mau bagaimana lagi, popularitas The Jansen dan Dongker yang kian hari makin meroket itu memang tak imun akan berbagai komentar dari warganet. Belum lagi mereka punya kontroversinya masing-masing. Seakan setiap berapa bulan sekali selalu ada gibahan bahasan soal ke dua band tersebut. Tidak perlu saya ingatkan lagi lah ya kontroversi apa yang sempat menerpa mereka. Tapi kalau penasaran silahkan klik kata ini dan ini. Hehe.
Tapi yaaa, pada akhirnya harus diakui kalau popularitas ke dua band ‘punk’ itu kini sedang berada di atas angin. Panggungan mereka selalu tumpah ruah akan penonton, merchandise mereka selalu terpantau pandangan saya ketika nongkrong di berbagai tempat. Bahkan yang paling absurd, lagu-lagu mereka sudah diputar secara berkala oleh pedagang minuman es susu artifisial langganan saya di sebelah Balubur Town Square. Anjuy.

Sebagai seorang kawan dari kedua band itu sejak sebelum mereka sepopuler sekarang, saya sempat terheran-heran bagaimana bisa mereka sepopuler itu sekarang. Bagaimana sebuah band asal Bogor yang dulu semua personilnya sempat ada fase naik motor rangkap tiga untuk menuju ke gigs yang mereka hendak bermain dan sebuah band sruntulan bentukan mahasiswa ITB bisa menjadi rockstar macam sekarang yang dipuja-puji oleh banyak kritikus musik sekaligus memenangkan hati para rakyat pendengar musik kasual secara masif?

Setelah saya mengamati mereka dari sudut pandang kawan maupun pendengar musik mereka ternyata ada satu aspek signifikan yang membuat mereka ‘menang telak’ dibandingkan para kolega ‘punk’ mereka yang lain. Bukan. Bukan karena mereka hoki dan cerdas memanfaatkan momentum untuk memutar balik terpaan badai kontroversi yang menghantam mereka – meski sebetulnya harus diakui ini adalah faktor krusial dari titik balik karir musik mereka.

Tapi saya rasa, musik dan narasi lirik yang The Jansen juga Dongker usung bak sebuah katalog hymne untuk merayakan kekalahan – kalah oleh hidup, kalah oleh kondisi, kalah oleh cinta, kalah oleh diri sendiri. Pokoknya k a l a h.

Meski saya bukan kritikus musik ulung, tapi izinkan saya untuk memaparkan sedikit penjelasan untuk memberimu sudut pandang akan paparan di paragraf sebelumnya. Ada dua faktor penguat kenapa musik dari The Jansen dan Dongker begitu diminati oleh para penggemar mereka yang mayoritas berumur belasan tahun sampai paruh awal 20-an.
 
Pendekatan melodi lagu-lagu The Jansen dan Dongker cenderung lebih melankolis dibandingkan rekan-rekan sejawat ‘punk’ mereka yang lain.
Stereotip yang erat akan musik punk rock yang progresi akornya sederhana dan pilihan kunci yang sederhana memang betul adanya – lantaran banyak band predesornya yang memang menggunakan formula itu sebagai proyeksi identitas musiknya. Sebut saja Ramones, Buzzcocks, Undertones atau bahkan yang agak modern macam The Queers juga Shonen Knife.

Tapi dari semua contoh band di atas, tidak semuanya punya sensibilitas melodi yang melankolis. Entah karena musik yang dimainkan terlalu enerjik dan angsty, seringkali band-band punk rock yang sebetulnya punya progresi musik yang catchy malah kelewat marah dan memudarkan sensibilitas melodi di musiknya.

 Untuk contoh kasus Dongker dan The Jansen sendiri, lagu-lagu yang melambungkan nama mereka seperti yang tertuang di rilisannya masing-masing kala itu terkesan menyiratkan nuansa miris, melankolis—ah kalau boleh agak sedikit lebay, ada torehan kesedihan di akor-akor yang mereka mainkan di lagu-lagunya.

Kalau boleh beropini agak sotoy, sepertinya nada-nada itulah yang sukses menghipnotis banyak pendengar musik lokal untuk lebih intens mendengarkan karya-karya mereka dan juga mendongkrak reputasi ke dua band itu guna semakin populer.
Selain aspek musikalitasnya, rasanya ada satu aspek penunjang yang dianggap lebih signifikan bagi reputasi The Jansen dan Dongker hari ini. Aspek itu adalah...
Lirik-lirik yang mereka utarakan di banyak lagunya bak mewakili kehidupan para pendengar wong kalahan
Seperti yang sudah dipaparkan di atas tadi, lirik-lirik dari The Jansen dan Dongker punya narasi yang kurang lebih sama di beberapa lagunya – yakni merasa dikecewakan oleh berbagai hal di lingkup kehidupan personal.

Ambil contoh di lagu “Bertaruh Pada Api” milik Dongker. Meski beberapa waktu lalu lagu itu dianggap banyak netizen sebagai lagu ‘perjuangan’ akan melawan sistem politik praktis (baca: pemerintahan), sebetulnya makna yang lebih tersirat di lagunya dirasa seputar cinta.
“Percuma
Diriku akan selalu ingin memelukmu
Lihatlah aku patah
Dipatahkan oleh siapa?
Oleh rencana
Oleh bencana
Tak terhindarkan”
Pedih, kawan. Pedih anjuy. Gubahan lirik dari Delpi dan kawan-kawan seakan mewakili banyak individu yang sama-sama kalah oleh cinta – entah dalam konteks apa pun walau mungkin tendensi yang ditata oleh Dongker ketika menulis liriknya punya proyeksi maknanya tersendiri.
Juga coba telaah lirik lagu “Kau Pemeran di Sebuah Opera” dari The Jansen yang membawa konteks kalah ke aspek yang lebih personal.
“Birama kehidupanmu sedang kacau
Adakalanya berhenti
Bersandiwara, tak sekali pun ku meragukanmu
Kau pemeran utama di sebuah opera”

Lihat? Tak heran banyak anak-anak remaja tanggung sampai orang dewasa versi beta yang menyukai The Jansen terpancing untuk bernyanyi segenap hati ketika lagu ini diputar atau dimainkan langsung. Liriknya seakan memberikan validasi bagi para wong kalahan bahwa tidak apa-apa menghadapi hidup yang berat dengan sedikit ‘bersandiwara’ dan meredamkan kalutnya pikiran internal bahwa semua akan baik-baik saja.

Mungkin banyak musisi atau band di luar sana yang menggunakan formula musik dan lirik serupa dengan Dongker dan The Jansen seperti yang dipaparkan di atas tadi. Tapi mungkin ada faktor X lainnya yang membuat mereka bisa dielu-elukan di blantika musik lokal oleh banyak pendengar musik hari ini.

Bisa jadi memang karena momentum kemunculan mereka di waktu yang tepat. Bisa jadi persona mereka yang sangat ‘orang biasa’ sehingga banyak pendengar musik bisa terkoneksi lebih dalam dengan para pendengarnya. Atau bisa faktor X lainnya yang mungkin tak kasat mata yang sebetulnya memang menjadi kunci kepopuleran mereka.

Tapi dari pengamatan sejauh ini, toh apa yang mereka karyakan lewat musiknya dengan formula-kulikan-level-permukaan tadi memang sejauh ini menjadi penunjang popularitas mereka. Suka atau tidak, sekarang mereka sedang memetik hasil kerja keras dari proses bermain musik bertahun-tahun lamanya. Menariknya mungkin karena banyaknya wong kalahan yang relate dengan musik yang dimainkan oleh The Jansen dan Dongker, sepertinya mental pendengar musik hari ini sudah sedikit bergeser.

Mungkin ada betulnya kebanyakan pendengar musik lokal memang suka dengan lagu-lagu mendayu-dayu dan berkutat seputar romansa, tapi dengan hadirnya The Jansen dan Dongker yang membalut perasaan melankolis dengan gaya sruntulan musik ala mereka, kini pendengar musik pun punya alternatif lain untuk mengamplifikasi perasaan gundah dan ‘kalah’ yang mereka punya dengan suntikan agresi dan energi yang sedikit berlebih.

Juga maaf kalau terdengar konyol, tapi rasanya musik dari The Jansen dan Dongker seakan mencanangkan sebuah manifesto bahwa it’s okay to be kalah—ah kalau mau lebih berani, make kalah great again?