Meski Bulan Terbelah Dua dan Matahari Membeku, Kami Masih Punya Fiddlehead
“When moon cracks in two, sun freezes to blue / winter burns up dry, fireclouds for a sky / night's without its stars / know you'll still have, still have my heart.” —Heart to Heart, Fiddlehead
Pada Minggu yang benderang di 2002, ayah menyiram saya dengan segelas kopi hitam panas. Ibu yang ketika itu sedang menyetrika pakaian dan berjarak hanya selemparan kelereng dari tempat saya duduk, langsung memandu saya ke kamar mandi dan membasuh wajah saya dengan air dari sumur.
Noda bekas siraman kopi itu masih bertahan di tembok rumah kami hingga beberapa tahun setelahnya. Meski kemudian nodanya hilang karena pemilik baru rumah itu memugarnya, rasa sakit dan trauma menginap di ingatan saya bertahun-tahun.
Sejak saya kanak, ayah saya memang seorang yang mudah meledak-ledak. Jika melewati satu hari tanpa melakukan laku abusif terhadap saya dan ibu, ia seperti pemadat yang kehabisan bahan. Dari situ saya curiga, kalau memang manusia tercipta dari gumpalan tanah, saya menduga ayah saya justru tercipta dari bubuk mesiu.
Ayah tidak hanya pernah melempar saya dengan kopi panas. Sekali waktu ia pernah menyeret saya dari tengah lapangan, ketika saya dan teman-teman tengah bermain sepakbola sore hari sepulang sekolah. Alhasil, kaki saya terluka parah karena terkena batu tajam saat ia seret.
Selain itu, yang paling saya ingat tentu ketika ia melempar saya ke kolam ikan lele di belakang rumah tanpa saya tahu alasan apa yang melatari itu. Saya tidak ingat sebanyak apa air lumpur yang masuk ke mulut dan hidung saya, tapi baunya kekal.
Ayah dan ibu akhirnya bercerai di tahun 2006 tepat ketika saya baru lulus Sekolah Dasar. Saat itu adik saya baru berusia 2 tahun. Ibu sudah tidak tahan dengan hari-hari penuh kekerasan yang ia alami bersama saya. Ibulah yang kemudian membesarkan serta menafkahi saya dan adik dengan tangannya sendiri.
Fiddlehead dan Makna Paternal
Empat belas tahun pasca kejadian penyiraman kopi panas itu, saya menemukan Fiddlehead dari laman rekomendasi Bandcamp.
Ketika tahu bahwa band ini adalah supergrup yang beranggotakan dua orang personil band hardcore Have Heart yang saya idolakan—yakni Patrick Flynn (yang kemudian saya sebut Pat) dan Shawn Costa—saya lantas mendengar materi keseluruhan debut album Springtime and Blind yang dirilis Run for Cover Records pada 2018 silam.
Setelah satu-dua-tiga balikan mendengar debut album itu dan membaca keseluruhan liriknya, tak ada hal istimewa yang saya rasakan. Terlebih saat mengetahui kalau album itu semacam sekuel dari gagasan Pat tentang penghormatan terhadap sosok ayah di album The Things We Carry dari Have Heart. Bedanya, kali ini ia mengambil sudut pandang ibunya.
Bertahun-tahun saya mendengar debut album Fiddlehead itu, hanya menyisakan perasaan dongkol saat tahu semua lirik di sekujur album adalah persembahan bagi sosok seorang ayah. Meski dari pengalaman auditif, saya begitu menyukai warna keseluruhan musik Fiddlehead.
Apalagi karena adanya Alex Henery (Basement) dan Alex Dow (Big Contest) pada gitar, serta Nick Hinsch (Nuclear Age) pada bass, yang membuat musik Fiddlehead terdengar berwarna. Di beberapa babakan, bawaan trah hardcore mereka masih terasa energik. Sedangkan pada babakan lain, justru sarat melankoli.
Baru ketika supergrup post-hardcore asal Boston, Massachusetts, ini merilis debut album kedua mereka yakni Between the Richness pada Mei 2021, saya bisa menikmati karya Pat itu. Alasannya sederhana, ia tidak hanya menulis lirik yang ditunjukkan pada sosok mendiang ayahnya saja. Di album kedua mereka, Pat juga menulis lagu untuk anaknya. Karena ini adalah album pertama yang ia tulis bagi band proyekannya setelah menjadi ayah.
Pada penghujung bulan Juni 2023 ketika saya sudah menetap di Tangerang Selatan dan bekerja di Jakarta, saya mendapati kabar bahwa Fiddlehead bakal menggelar rangkaian tur Jepang-Asia Tenggara-Australia. Selain itu, mereka juga baru merilis album penuh ketiga bertajuk Death is Nothing to Us yang kemudian dirilis pada 18 Agustus 2023. Tepat dua hari sebelum mereka menggelar penampilan di Toba Dream, Jakarta.
Ridho: “Down University” dan Perjuangan di Dasar Jurang Akademik
Fakta bahwa album Springtime and Blind adalah ode untuk sosok ayah, membuat Ridho tidak kecantol sama sekali dengan album itu. “Secara emosional, aku nggak pernah merasa dekat dengan ayahku. Beliau bisa dibilang absent father,” kata Ridho tanpa sedikit pun keraguan.
Alih-alih terkoneksi dengan debut Fiddlehead itu, Ridho justru merasa lebih dekat dengan album The Things We Carry (2006, Bridge Nine Records) dari legiun hardcore Pat sebelumnya, Have Heart.
Di lirik “The Unbreakable” misalnya, Ridho memaknai pronoun “He” yang dimaksud Pat sebagai sosok ayah, menjadi “She” yang mengacu pada sosok ibunya Ridho sendiri. Bagi Ridho, ibunya adalah seorang breadwinner yang mati-matian banting tulang untuk kehidupan anak-anaknya.
Persis seperti yang ditulis Pat dalam lirik lagu “The Unbreakable”: he's the band thats playing while the ship sinks (ia [ibu bagi Ridho] adalah band yang masih bertahan dan bernyanyi ketika kapal karam). Di mana ketika membaca itu, sebagian dari kalian pasti teringat 8 orang pemain band orkestra yang masih bertahan di dek kapal Titanic, meski kapal itu bakal karam dalam hitungan menit. Ridho juga mengutip lirik lagu itu di laman Motto dan Persembahan skripsinya sebagai persembahan untuk ibunya.
Ridho menjalani rutinitas harian sebagai staf editor Whiteboard Journal dan bermain musik di unit elektronik bernama F00RY. Sudah sejak jauh hari, ia pun mengantisipasi kedatangan Fiddlehead yang bakal menggelar tur ke Indonesia.
“Sejujurnya aku berusaha menahan diri supaya nggak nangis sepanjang hari Minggu [20/08/23] lalu. Pertama, karena itu pekan yang cukup sibuk karena workloads kantor. Kedua, ada dua panggung di mana aku harus manggung dengan F00RY. Jumat di LBH Jakarta, dan Sabtu di Bandung,” urai Ridho.
Pada Minggu pagi, 20 Agustus 2023 itu, Ridho memutuskan kembali ke Jakarta untuk menonton Fiddlehead. Band yang ia tunggu sejak pertengahan 2021. “Yang jelas, seharian deg-degan, nervous, dan merinding ketika akhirnya menyaksikan mereka di atas panggung,” imbuhnya.
Sepanjang penampilan Fiddlehead, Ridho berada di barisan depan. Energinya menolak tandas. Berkali-kali ia menyanyi bersama dan melompat ke kerumunan. Sesekali merangkul Pat serta kawan di kanan-kirinya. Puncaknya, ia naik ke atas panggung dan merebut mic Pat saat Fiddlehead membawakan “Down University” di babakan encore.
Jika Ridho mementahkan album Springtime and Blind sejak awal mendengarnya, lain hal dengan album Between the Richness. Ia langsung jatuh cinta saat kali pertama mendengar album kedua Fiddlehead itu.
“Ketika akhirnya mencari tahu dan membaca liriknya, duarr, ini dia. Nuansa yang kutangkap saat itu adalah penerimaan, kebangkitan, dan bagaimana Fiddlehead menyalurkan rasa cintanya—pada dunia, kehidupan, dan orang-orang terdekatnya—melalui karya yang sentimentil, tapi jauh dari kesan “cengeng”,“ ungkap Ridho.
Dalam wawancara Pat dengan Stereogum, ia menyebut bahwa awal mula penulisan Between the Richness tepat dua pekan setelah anak pertamanya lahir. Yang menarik, nama anak pertama Pat bernama Richard, yang juga mirip dengan nama mendiang ayahnya sendiri. Maka dari itu, Between the Richness seperti satu babakan ode yang ditulis untuk dua orang Richard.
“Down University” menjadi lagu di album Between the Richness yang terasa begitu personal bagi Ridho, sekaligus jadi jari tengah pada sesuatu yang selama ini menjadi keresahannya juga: soal karut-marut dunia pendidikan.
“Aku menemukan “Down University” sejalan dengan tracklist yang mereka buat di album tersebut. Saat itu, aku masih berstatus mahasiswa semester 12 akhir, merasa nggak sempat menyentuh skripsi dan tinggal selangkah lagi jatuh ke jurang menyerah,” kenang Ridho di balasan pesan.
Pengalaman menyimak “Down University” terasa begitu katarsis dan sinematik bagi Ridho. Sampai-sampai ia merasa lagu itu seperti tengah bicara langsung padanya. Bait pertamanya, “You try, yet you feel unsure of yourself and lie on the failure floor. Don’t you feel so down?” Ridho anggap seperti wahyu yang entah bagaimana bisa sampai kepadanya. “Umat yang tersesat—kala itu,” seloroh Ridho.
Ridho menduga sebenarnya intensi Pat di lagu itu berbeda dengan yang ia maknai. Ia merasa lagu itu sebenarnya dimaksudkan untuk mengafirmasi atau meyakinkan orang-orang (secara empatik) bahwa, “there’s nothing to stress for.” Tapi, di kepala Ridho saat itu, gagasan besar “Down University” seakan berbicara soal pendidikan kaum tertindas dari pemikirannya Paulo Freire.
Ridho yang mulanya hampir pasrah, seakan ditampar fakta bahwa tidak hanya ia yang merasakan stress karena beban akademik. Ia sadar sekolah dalam masyarakat borjuis hanyalah “pabrik skill set”. Dari tahun ke tahun, institusi pendidikan hanya melahirkan sumber daya manusia (SDM) untuk memenuhi kebutuhan pekerja di berbagai lini industri.
Tapi ada orang-orang terdekat hingga dosennya, yang mengharapkan ia bisa menyelesaikan kuliahnya. Setidaknya, Ridho meyakini bahwa “Down University” adalah cerminan realitas Pat sebagai guru selama bertahun-tahun mengampu siswa-siswanya.
Di tahun 2022, Ridho berhasil menuntaskan kuliahnya. Ia akan selalu mengingat bahwa “Down University” adalah karib yang menemaninya selama ini, terutama dalam upaya menapaki jalan makadam akademia.
“Terima kasih sudah menjadi pemercik api semangat di hati orang-orang yang semangatnya hampir padam, termasuk aku. Kalau kalian [Fiddlehead] ada waktu senggang, mari kutraktir tongseng favorit yang kutemukan dan sering kumakan semasa kuliah,” tutup Ridho di pesan balasan.
Poppy: Fiddlehead dan Rekonsiliasi dengan Sosok Ayah
“Beberapa tahun yang lalu, ayahku tuh minta maaf ke aku karena udah terlalu keras dan susah kontrol emosi ketika aku kecil,” kisah Poppy, seorang digital communication specialist di kantor business consultant yang bermukim di Bandung, ketika membicarakan album Springtime and Blind milik Fiddlehead, serta kaitannya dengan pengalaman personal yang belakangan ia alami.
Sejak kecil, ayahnya selalu memarahi Poppy, menghukum, mempermalukan di depan umum, hingga melarang ia main dengan teman sepulang sekolah atau akhir pekan. Namun Poppy merasa beruntung, ketika akhirnya sang ayah menyadari dan memohon maaf atas semua hal buruk di masa lalu.
“Lewat album Springtime and Blind, kerasa banget betapa Pat sayang dan hormat sama ayahnya. Tiap dengar album ini pun mudah untuk mengingat sosok ayahmu sendiri,” imbuh Poppy. “Dan bikin merasa beruntung kalau hubunganku sama ayahku sekarang tuh baik. Merasa beruntung juga kalau ayahku adalah salah satu orang yang mau menyadari kekurangannya sebagai orang tua dan ia berupaya untuk memperbaiki semua itu.”
Sebetulnya, Poppy baru mendengar Fiddlehead pertama kali justru di tahun 2022. Ia menemukan Fiddlehead dari daftar Discover Weekly di akun Spotify miliknya. Lagu “The Years” langsung nyangkut di telinga Poppy. Butuh waktu separuh windu bagi Poppy untuk menemukan Fiddlehead, yang kemudian berpengaruh penting bagi dirinya hingga saat ini.
Di sela penampilan Fiddlehead, Pat bercerita soalnya kakeknya yang seorang peminum berat alkohol. Alih-alih meneruskan tradisi serta hubungan beracun antar generasi, ayah dari Pat justru memutus rantai itu. “Dan growing up, wasnt easy for his dad. Tapi, ayah Pat justru nggak jatuh ke lubang yang sama,” kenang Poppy dari perkataan Pat di atas panggung Toba Dream saat itu.
Dari kisah hubungan Pat dengan ayahnya, jelas mudah bagi Poppy untuk merasa terhubung dengan album Springtime and Blind. Setelah upaya sang ayah yang memohon maaf atas kesalahan di masa lalu, menurut Poppy, kini ayahnya terus berupaya untuk menjadi ayah yang lebih baik. Ayahnya jadi tidak mudah marah dan sekeras dahulu. Bahkan ayahnya lebih terbuka pada apa yang Poppy sampaikan maupun inginkan.
Selain album Springtime and Blind, ada pengalaman menarik tentang satu lagu lain dari Fiddlehead yang memicu perhatian Poppy. Sebelum menyaksikan secara langsung Fiddlehead membawakan lagu ini di penampilan tur Indonesia mereka, sejujurnya Poppy tak menemukan hal istimewa. Namun setelah menikmati lagu ini di setlist Fiddlehead secara langsung, Poppy baru merasa begitu takjub. Lagu yang dimaksud ini adalah “Heart to Heart”.
“Kayak tiap Pat nyanyi when daylight is too dark and night's last way too long, look into your heart and find me. Gimana, ya, itu. Beneran ia tuh kayak lagi ngomong ke kita semua gitu,” takjub Poppy di pesan suara. Seperti halnya judul lagu itu, Poppy merasa kalau Pat seperti sedang berbicara dari hati ke hati ke setiap audiens yang menonton Fiddlehead malam itu.
Perlu diketahui bahwa Pat menulis lirik “Heart to Heart” sebagai persembahan untuk kedua anaknya, selain memang bentuk percakapan imajiner dengan mendiang sang Ayah.
“Lirik lagu ini saya tulis sebagai surat kepada anak-anak saya tentang cara mereka berkomunikasi dengan saya, setelah saya akhirnya beralih ke apa pun yang terjadi setelah kematian, dan sebuah percakapan khayalan dengan ayah saya sendiri yang kini telah meninggal 11 tahun lalu,” menukil pernyataan Pat di Stereogum.
Poppy tidak akan pernah lupa setiap menit yang ia lalui ketika menyaksikan Fiddlehead secara langsung. Berada di barisan depan pada paruh kedua penampilan, Poppy tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk merebut mic, menggamit tangan Pat, dan menyanyi bersama di beberapa lagu yang dibawakan.
“Pat kayak the way he carried the show, itu bikin penampilannya kerasa personal dan intim. Padahal lagunya kan banyak yang teriak-teriak. He made me feel appreciated, respected, and safe,” Poppy mengakui soal impresi apa yang ia rasakan saat menyaksikan Fiddlehead.
Poppy menduga kenapa Pat bisa bikin penampilan Fiddlehead menjadi seintim dan personal itu, tak terlepas dari profesi dia sebagai seorang guru. Pat seakan terus mengamati setiap kepala yang menyaksikannya malam itu. Poppy sendiri tidak pernah merasakan atmosfer yang seperti itu ketika mendatangi konser atau penampilan band tertentu.
Biasanya, jika Poppy pergi ke show itu cukup ingin senang-senang, menyaksikan visual keseluruhan, teriak-teriak, cathartic, terus ya sudah. Namun dari pengalaman menyaksikan Fiddlehead kemarin, Poppy memborong perasaan haru sebagai seorang fans.
Setelah penampilan usai, Poppy mendatangi Pat yang saat itu sedang dikerubungi oleh banyak orang. Ada yang mengantri bubuhan tanda tangan Pat di vinyl album Fiddlehead mereka, sebagian lain mengambil foto bersama Pat maupun semua personil Fiddlehead.
“Nah pas after show, dia tuh bilang gini ke aku: kamu berada di front-row sepanjang penampilan. Padahal udah kena tendang, ketiban-tiban orang. Tapi ia bilang kau tetap di sana and that inspired me to keep going,” kata Poppy menirukan apa yang Pat katakan padanya seusai penampilan Fiddlehead.
Poppy sebenarnya punya sosok favorit di Fiddlehead selain Pat. Bahkan Poppy justru lebih awal menyukai band sebelumnya si personil ini sebelum turut bergabung ke supergrup Fiddlehead. Sosok yang dimaksud adalah Alex Hennery yang sebelumnya merupakan pemain gitar sekaligus vokal latar untuk Basement.
“Aku suka banget sama desain-desain album dan merchandise-nya Fiddlehead. Terutama kayak desain-desain kaos. Terus juga suka banget sama sampulnya Between the Richness. Pas tau ternyata Alex Hennery yang desain itu semua tuh langsung kayak UWAAAH,” akui Poppy.
Selama ini Alex Hennery memang yang menakhodai estetika visual Fiddlehead. Dari mulai desain sampul album, hingga semua desain merchandise. Alex Hennery juga seorang fotografer yang menjadi bagian dari tim dokumentasi band hardcore asal Baltimore, Maryland, Amerika Serikat, yakni Turnstile.
Sejak kuartal awal tahun ini, Poppy sudah menunggu kedatangan Fiddlehead dalam rangkaian tur ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Di sela rutinitas pekerjaan Poppy, Fiddlehead menjadi soundtrack utama hidupnya selama beberapa bulan terakhir.
Tidak hanya di rutinitas harian ketika bekerja atau menikmati waktu luang saja, Fiddlehead juga kerap jadi soundtrack tunggal bagi Poppy selama berkendara. Sekali waktu Poppy dan keluarga pulang ke kampung halaman ayahnya. Di momen itu, ia dan ayahnya bergantian menyetir. Ketika giliran Poppy tiba, Fiddlehead menjadi satu-satunya yang diputar. Delapan jam nyetir, artinya selama delapan jam juga Poppy mendengar Fiddlehead sepanjang perjalanan.
Sebelum menutup ceritanya di pesan suara, Poppy menyampaikan terima kasih untuk Fiddlehead karena telah berbagi musik dengan dunia dan telah menyertakannya di dalam perjalanan tur. Poppy tidak akan pernah melupakan pelajaran tentang menghadapi kehilangan orang yang dicintai, hingga bersiap menyambut kehidupan baru dari Fiddlehead.
“Nonton Fiddlehead itu seperti diberi tepukan di bahu oleh sosok ayah,” tutup Poppy di ujung pesan suara.
Iqmal dan Wina: Perjalanan 124 Kilometer Demi Fiddlehead
Iqmal dan pacarnya Wina rela menempuh perjalanan sejauh ±124 kilometer dari Cianjur ke Jakarta, untuk menyaksikan penampilan Fiddlehead. Padahal Wina baru sembuh dari sakit tifus ketika itu.
“Benar-benar begitu ditunggu. Karena ini memang kesukaan bersama. Dari awal pertama bikin komitmen hubungan juga, yang bisa mendekatkan saya dengan pacar saya sekarang itu salah satunya adalah Fiddlehead,” kata Iqmal lewat pesan suara yang ia kirim dua hari setelah penampilan Fiddlehad di Toba Dream, Jakarta.
Seperti kebanyakan pendengar Fiddlehead lain, Iqmal juga lebih dulu mengenal Have Heart. Album Songs to Scream at the Sun menjadi alasan kuat baginya mengidolakan Have Heart. Ketika mengetahui kabar bahwa Have Heart bubar di tahun 2009—meski sempat reuni di 2019 dan kemudian bubar lagi—Iqmal begitu kecewa.
Namun, kekecewaan itu tak berlangsung lama. Iqmal lantas menemukan Fiddlehead yang ia anggap sebagai eliksir di hidupnya. Di mana masih ada 2 personil Have Heart yang tergabung di supergrup itu.
Ketika mengetahui kalau Fiddlehead akan menggelar tur Jepang-Asia Tenggara-Australia, Iqmal dan pacarnya rela setengah mampus mengumpulkan uang untuk membeli tiket Fiddlead. Padahal, baik Iqmal maupun pacarnya sedang tidak punya pemasukan tetap.
Saat pandemi menghantam di kuartal awal 2020, Iqmal resign dari pekerjaan sebelumnya sebagai guru di SMA Terpadu Jabal Noor Cianjur dan pengajar ekstrakurikuler di SMAN 1 Cianjur. Setelah itu, ia bekerja serabutan untuk terus menyambung hidup. Dari mulai membuka warung rumahan, menjual kaos bekas, menerima pesanan jasa gambar untuk berbagai kebutuhan, hingga menjual fermentasi buah-buahan.
Karena tekad yang kuat dan enggan melewatkan kesempatan untuk bertemu dengan Pat dkk., Iqmal dan Wina akhirnya berhasil mengantongi tiket. Keduanya sepakat berangkat memakai motor dari Cianjur sejak pagi hari, ketika Fiddlehead akan tampil pada malam harinya.
Ketika akhirnya bisa secara langsung menyaksikan penampilan Fiddlehead, Iqmal dan Wina tak bisa membendung perasaan haru. Sepanjang Fiddlehead tampil, keduanya berada di barisan depan. Iqmal lusinan kali meloncat ke kerumunan. Ia merangkul dan melakukan fist bump dengan Pat saat set berlangsung. Dan ketika Fiddlehead membawakan lagu “Loverman”, Iqmal mengokupasi panggung seolah itu arena bermain yang hanya diperuntukkan bagi dirinya sendiri.
“Waktu itu saya sedang galau dan kalut. Saya ditinggal menikah oleh kekasih sebelumnya. Pada akhirnya menemukan sosok yang jadi kekasih saya sekarang [Wina]. Sampai akhirnya pas ulang tahunnya, saya bikin mixtape dari album Between the Richness,” kenang Iqmal.
“Loverman” menjadi salah satu lagu paling favorit Iqmal dan Wina di album Between the Richness. Lagu itu menjadi semacam soundtrack bagi hubungan mereka. Makanya, dengan Iqmal yang mengokupasi panggung ketika Fiddlehead membawakan lagu itu, ia ingin mempersembahkan “Loverman” secara langsung pada Wina.
Bagi Wina, selain “Loverman”, masih ada satu lagu Fiddlehead lain yang jadi soundtrack untuk hubungan yang ia semai bersama Iqmal. Lagu itu adalah “Heart to Heart”.
Wina tahu “Heart to Heart” adalah surat cinta yang ditulis Pat untuk anak-anaknya, serta cara berkomunikasi dengan Pat apabila telah mangkat. Begitu pun bagi Wina, lagu itu akan selalu jadi pengingat baginya tentang rasa cinta serta kasih sayang darinya untuk sang ibu, maupun sebaliknya.
“Ibu saya kan jauh. Dia seorang pekerja migran yang sedang bekerja di Inggris. Meskipun komunikasi secara langsung keliatan lebih nggak klop, nggak cocok. Tapi aku tahu dalam hatinya itu, ia sayang banget sama aku,” tutup Wina.
Fiddlehead tak ayal jadi soundtrack di perang keseharian yang Iqmal lalui juga di Cianjur. Di samping rutinitas hariannya sebagai pekerja serabutan, Iqmal juga andil dalam upaya advokasi terhadap warga di beberapa wilayah Cianjur, yang tengah menentang pembangunan geothermal. Beberapa tahun ia sempat tergabung di tim paralegal LBH Cianjur.
Iqmal menganggap Fiddlehead seperti sahabat yang selalu mengulurkan tangan ketika berada di ambang kelelahan. Di malam-malam paling senyap, Fiddlehead seperti penenang di telinga Iqmal dari segala macam rentetan kekalahan.
Perjalanan motor dari Cianjur ke Jakarta tentu menjadi harga yang lebih dari sepadan bagi Iqmal dan Wina, untuk membayar kesempatan menyaksikan Fiddlehead secara langsung.
Riri: “USMA” dan Sepatu Seri Fiddlehead
“Pada musim semi tahun 2019 saya menemukan video seseorang dari penjuru dunia memainkan “USMA” dengan ukulele dan itu membuat saya meleleh. Saya adalah orang tua baru dan merasakan setiap emosi yang mungkin terjadi,” tulis Pat pada satu unggahan di akun Instagramnya.
“USMA” sendiri adalah akronim dari United States Military Academy. Pat memakai itu sebagai salah satu judul lagu di album Springtime and Blind, lantaran mendiang ayahnya dimakamkan di West Point, USMA. Pat juga mengaku kalau lagu ini adalah lagu penghiburan duka maupun semacam requiem di pemakaman ayahnya, dengan memakai sudut pandang sang ibu.
“Saya pergi ke sana [USMA] setiap dua tahun sekali bersama keluarga saya dan sekarang kembali setahun sekali untuk meninggalkan beberapa buket bunga di makamnya,” kenang Pat pada Fred Pessaro dari Revolver Magazine.
Lima tahun berlalu dan Fiddlehead telah menuntaskan rangkaian tur Asia Tenggara di Jakarta, Pat akhirnya bertemu dengan sosok yang memainkan “USMA” dengan ukulele yang ia tonton di 2019 silam.
Sosok di balik video yang memainkan “USMA” dengan ukulele itu bernama Riri. Ia seorang pekerja di perusahaan swasta di Jakarta yang sudah sejak lama memang mengidolakan Fiddlehead.
Memang sejak dari tahun 2019, Riri sudah mendengar Fiddlehead lewat album Springtime and Blind. Pacarnya lah yang saat itu pertama kali merekomendasikan lagu “USMA”. Tanpa perlu waktu lama, ia langsung menyukai lagu itu. Dari situ, Riri kemudian merekam sebuah ketika dirinya memainkan “USMA” dengan ukulele.
Riri tidak pernah menyangka seorang Pat bakal menonton video itu. Yang lebih tidak ia sangka lagi adalah Pat mengunggah videonya dengan foto mereka berdua yang diambil seusai Fiddlehead tampil di Jakarta.
Ada satu kisah menarik lain terkait Fiddlehead yang Riri anggap sebagai anugerah seumur hidup. Momen ini bermula ketika Fiddlehead baru saja merilis album kedua mereka Between the Richness di bulan Mei 2021.
Berselang dua bulan dari momen perilisan itu, Fiddlehead mengadakan ajang adu konten bernama #FiddleheadHype bagi pendengarnya di seluruh dunia. Mereka yang ingin mengikuti ajang itu, bebas mengunggah konten apapun sekreatif mungkin. Hadiahnya tidak main-main: 15 pasang sepatu Vans seri spesial Fiddlehead bagi 15 orang beruntung.
Riri kemudian membuat cover version dari lagu “Down University” di album Between the Richness pada ajang #FiddleheadHype. Alasan kenapa ia memilih lagu itu, karena bagi Riri “Down University” seperti pengingat selama masa kuliah yang ia mesti tempuh selama 7 tahun. Siapa yang menyangka jika ternyata Riri menjadi pemenang dari ajang konten itu.
“Jadi first winner. Pemenang pertama yang diumumin. Waktu mereka ke sini [tampil di Jakarta], aku tunjukkin sepatunya ke mereka. Kebetulan saat itu aku pake dan mereka kayak kaget gitu, terutama Alex Hennery,” urai Riri begitu haru.
Ucapan Pat soal hadiah sepatu itu kian melambungkan Riri: “even if you win or not, we will still give you these shoes.” Bahkan di penghujung obrolan, Pat juga menyebut kalau salah satu alasan Fiddlehead melangsungkan tur ke Indonesia juga karena ingin menemui sosok Riri. Seperti setangkup es krim di depan pendiang, seketika Riri meleleh mendengar itu.
Riri tidak segan mengakui bagaimana seorang Pat adalah inspirasi terbesar baginya. Bertahun-tahun mendengar Fiddlehead, Riri merasakan energi positif yang diamplifikasi Pat lewat semua karya Fiddlehead.
“Waktu Pat baru sampe venue dan turun dari van (hi ace), dia notice aku. Kebetulan aku emang nungguin mereka datang. Dia bilang: meet me at the backstage after the set,” kenang Riri yang lagi-lagi membuatnya meleleh.
***
Beberapa tahun lalu saya pernah menulis surat yang saya tunjukkan untuk sosok masa kecil saya. Saya melakukan itu sebagai bentuk terapi yang disarankan oleh konselor yang menangani saya, terutama ketika saya mengalami depresi di tahun 2021.
Dari pengalaman menulis surat untuk sosok saya di masa kecil itu, setidaknya itu menjadi awal bagaimana saya berusaha untuk berdamai dengan masa lalu serta trauma yang saya bawa ke hari ini.
Fiddlehead punya peran penting dalam momen-momen itu. Mendengar Fiddlehead rasanya begitu terapeutik. Seperti halnya bagaimana kelima kawan saya yang punya cerita ajaib masing-masing dari pengalaman mereka mendengar Fiddlehead. Saya pun merasakan hal serupa.
Meski saya tidak sempat berfoto bareng bersama Pat maupun personil Fiddlehead lain, itu tak masalah. Sebuah kehormatan bagi saya bisa melihat Pat bernyanyi di hadapan mata saya.
Di perjalanan pulang seusai penampilan Fiddlehead, saya senyum-senyum sendiri di atas motor yang saya pacu di jalanan Doktor Saharjo. Saya teringat soal topi bertuliskan inisial F yang dipakai Pat sepanjang tampil. Pat meminta jika topi itu terjatuh ketika set berlangsung, tolong lemparkan kembali ke panggung. Topi itu adalah pengingat bagi Pat bahwa ia punya anak perempuan bernama Fiona yang setiap waktu ia rindukan ketika berjauhan.
Datang kembali satu juta kali lagi, Fiddlehead!