Perubahan iklim telah menjadi isu prioritas keamanan global. Tapi, dampak operasi militer terhadap perubahan iklim justru hampir tak pernah menjadi agenda perbincangan para pemimpin negara. Tidak juga dalam forum G20 dan Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP27) di Bali dan Mesir pekan ini.
Perbincangan dampak operasi militer terhadap perubahan iklim, bisa dikatakan secara serius terakhir kali terjadi saat penyusunan Protokol Kyoto pada 1997. Saat itu muncul usulan memasukkan operasi militer dalam perhitungan total emisi karbon suatu negara. Namun, usulan ini gagal akibat desakan Amerika Serikat (AS).
AS pada akhirnya tak pernah meratifikasi perjanjian tersebut, tapi pengecualian untuk militer dalam perhitungan emisi karbon tetap berlaku bagi negara penandatangan lainnya. Bahkan sampai saat ini pelaporan negara kepada PBB mengecualikan bahan bakar apapun yang dibeli dan digunakan untuk keperluan militer.
Kondisi ini ironis karena negara-negara dengan pengeluaran anggaran militer terbesar adalah penyumbang emisi karbon tertinggi global. AS, Tiongkok, dan Rusia, misalnya. Ketiganya secara berurutan menempati posisi pertama, kedua, dan ketiga dalam jumlah anggaran militer dan tingkat emisi karbon terbesar di dunia.
Penelitian Neta C. Crawford, profesor ilmu politik Boston University, menemukan dalam kurun 2001-2018 militer secara konstan mengonsumsi 77-80 persen dari total konsumsi energi pemerintah AS. Laporan Kongres AS pun menyatakan Departemen Pertahanan AS mengkonsumsi sekitar 117 juta barel minyak bumi pada 2011. Ini menjadikan militer AS satu-satunya konsumen institusional minyak bumi terbesar dunia.
Menurut Neta, konsumsi energi yang besar dalam kurun waktu tersebut disebabkan oleh peningkatan aktivitas militer AS sejak invasi ke Afghanistan pada 2001. Sebagian besar bahan bakar mengalir kejet tempur, seperti bisa terlihat dalam tabel di bawah ini:
(Sumber grafik: Penelitian Neta C Crawford)
Masalahnya, belakangan tak hanya AS yang meningkatkan operasi militernya. Konflik di Laut Cina Selatan dan invasi Rusia ke Ukraina, telah meningkatkan eskalasi keamanan dunia. Anggaran militer negara-negara dunia pun meningkat pesat menembus total US$ 2.000 triliun pada 2021.
(Sumber Grafik: SIPRI)
Jejak Jumbo Emisi Karbon Operasi Militer
Eskalasi tersebut berpeluang meningkatkan jejak emisi karbon operasi militer yang selama ini telah tinggi. Pada 2017 lalu misalnya, laporan Tipping Point North South memperkirakan jejak karbon industri militer dan senjata mencapai 5% dari total emisi gas rumah kaca global.
Sebagian besar jejak emisi karbon tersebut berasal dari bahan bakar pesawat tempur. Laporan tersebut mencatat sebuah pesawat bomber jenis B-2 menghasilkan emisi 1 ton karbon (tCO2) per 45 km jarak penerbangan. Emisi ini semakin meningkat ketika harus melibatkan pesawat tanker bahan bakar dalam misi jarak jauh.
Sebuah misi pada 2017, ketika 2 pesawat B-2 dan 15 pesawat tanker bahan bakar milik AS melakukan perjalanan mengebom ISIS di Libya, terbukti menghasilkan emisi 1000 tCO2 per 45 km jarak penerbangan. Sepanjang 2017, seluruh operasi jet militer AS tercatat menghasilkan emisi 18,4 juta tCO2.
Laporan Conflict and Environment Observatory (CEOBS) dan Scientist for Global Responsibility (SGR) pada November 2022, pun telah mengestimasi tingkat jejak emisi karbon akibat eskalasi operasi militer belakangan ini. Kedua lembaga tersebut memperkirakan jumlahnya mencapai 5,5% dari total emisi gas rumah kaca global.
“Bila institusi militer dunia adalah sebuah negara, maka jejak emisi karbonnya akan terbesar keempat di dunia,” tulis laporan tersebut.
Padahal, seperti tertulis dalam laporan, kedua lembaga menyebut hasil perkiraan jejak karbon tersebut masih memiliki celah akibat kesenjangan data. Misalnya, data jejak karbon Rusia dan Tiongkok yang bersumber dari PBB. Kedua negara menyatakan bertanggung jawab atas masing-masing 108 dan 27,9 juta tCO2. Namun, angka tersebut dianggap tak mencerminkan emisi operasi militer kedua negara yang sebenarnya.
Artinya, kemungkinan jejak emisi karbon akibat operasi militer bisa lebih besar dari itu. Terlebih perang modern sudah tak lagi padat karya alias tak banyak melibatkan tenaga manusia. Sebaliknya, lebih banyak mengandalkan teknologi canggih seperti jet dan drone yang membutuhkan lebih menguras energi.
Perhitungan di atas belum mencakup persiapan perang yang juga mengkonsumsi banyak energi, seperti untuk pendirian kamp militer. AS misalnya, seperti dicatat Neta C. Crawford, memiliki hampir 275 ribu bangunan militer di seluruh dunia. Seluruhnya bertanggung jawab atas 40% dari total emisi langsung gas rumah kaca yang sekitar 30 juta tCO2.
Biaya “Penghijauan” Tak Sebanding
Perjanjian Paris pada 2015 lalu menegaskan kewajiban 20 negara terkaya dunia (Annex II) menyumbangkan US$ 100 miliar per tahun untuk pembiayaan iklim. Dana tersebut juga untuk membantu negara-negara miskin paling terdampak perubahan iklim.
Kenyataannya, sampai sekarang janji tersebut belum sepenuhnya terpenuhi. Berdasarkan laporan Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), sampai 2020 total pembiayaan seluruh negara Annex II hanya sebesar US$ 83,3 miliar.
Angka itu pun tak realistis menurut laporan Climate Finance Shadow Report 2020 dari Oxfam International. Oxfam memperkirakan nilai sumbangan riil pada 2020 hanya sebesar US$ 41,6 miliar atau 27,9 kali lebih rendah dari total anggaran militer negara Annex II senilai US$ 1,159 triliun.
Padahal, negara Annex II yang di dalamnya termasuk AS, Inggris, Prancis, Jepang, dan Jerman, masuk ke dalam 10 besar kekuatan militer terbesar dunia. AS, Inggris, dan Prancis bahkan tercatat berkoalisi dalam sejumlah perang dalam dua dekade ke belakang. Termasuk operasi militer di Timur Tengah untuk menjaga dan menguasai sumber minyak.
Bila perang punya memberi istilah dampak kolateral, maka bisa disimpulkan perubahan iklim adalah dampak yang tak bisa ditawar. Kita pun patut bertanya, apa sesungguhnya hasil dari G20 dan COP27 untuk masalah ini? Benarkah para pemimpin dunia serius menangkal perubahan iklim atau hanya cangkruk sambil meningkatkan anggaran militer?